"Asal kau tahu, aku tak pernah ingin hanya menjadi sahabatmu, Sha. Aku selalu ingin menjadi kekasihmu," bisiknya mesra ketika wanita yang sudah sah menjadi istrinya tertidur pulas.
Mereka memutuskan untuk tinggal di apartemen baru karena permintaan Sha yang tak ingin tinggal di apartemen lama pria itu. Merasa buruk saat berada di sana. Kelebatan memori buruk selalu menghantuinya.
Sha sedikit terusik tak nyaman. Memperbaiki posisi tubuhnya membelakangi pria itu.
"Sha.. aku bukan orang yang pintar mengungkapkan perasaanku. Tapi, aku selalu memperlihatkannya padamu, sayang. Dan dengan bodohnya berharap tinggi kau juga membalas perasaanku."
Pria itu tersenyum miris, "Tapi, sekarang harapan besar sudah di depan mata. Kau mengandung anakku. Buah hati kita.. kau benar.. aku... Aku memang gila. Aku gila karenamu tapi aku tetap waras juga karenamu."
"Aku tahu kau belum tidur. Aku tahu kau mendengar semua celotehanku dari tadi," bisik pria itu mengusap lengan istrinya lembut.
"Jaga batasanmu, Bran! Kita sudah sepakat tak ada kontak kulit," gumam wanita itu tanpa membuka matanya.
"Kenapa?" ia belum tahu alasannya.
"Aku merasa buruk pada setiap sentuhanmu."
Pria itu menatapnya sendu, "Maaf."
Sha mendengus, "Maafmu tak berarti apapun. Kau melakukannya dengan sengaja! Sengaja Bran!"
Pria itu mengakui kesalahannya. Tapi tetap saja ada sedikit rasa penyesalan melihat dampak yang ia perbuat. Ia tak bermaksud membuat wanita itu trauma.
"Tidurlah lagi! Maaf menganggu tidurmu. Aku akan tidur di bawah."
Memang itu tempat tidur pria itu.
"Selamat malam."
Tak ada sahutan. Hatinya mencelos pedih. Tidak ada lagi Sha nya yang ia kenal. Sha - nya yang riang, murah, ceria, menyenangkan kini sudah hilang. Dan ia sadar ialah penyebab wanita kecil itu hancur.
***
"Aku harus pulang."
"Akan aku antar."
Sha melirik sinis pria itu, "Tentu saja. Kau yang harus menjelaskan pada orangtuaku alasan kenapa aku tak pulang selama dua hari ini."
"Baiklah.."
Dua hari lalu mereka memutuskan menikah di KUA. Tak ada satupun yang mereka undang karena memang permintaan Sha begitu. Pria itu memang sangat keberatan. Tapi, ia tahu cepat atau lambat keluarga mereka akan mengetahuinya. Walau mereka menutupnya sekuat mungkin. Ia yakin itu.
"Tunggu apa lagi? Ayo!"
Wanita itu berjalan mendahuluinya. Gibran menatap punggung bosnya. Bos kecilnya. Bos hatinya. Bos segalanya. Terlepas apa yang telah ia perbuat ia tak menyangkal hatinya kini sepenuhnya milik wanita itu. Tumbuh semakin kuat. Mimpinya dari dulu akhirnya menjadi kenyataan. Walau cara meraihnya sama sekali tak dibenarkan. Wanita itu salah jika menganggap hal ini obsesi semata. Rasa ini lebih dari itu.
"Kau dengar tidak?"
"Iya sayang.." demi apapun hanya istrinya lah yang bisa memerintahnya.
Ia sekaranc bertekad mengambil hati istrinya. Tapi, kali ini biarlah ia melakukannya dengan cara yang benar menurut versinya.
"Ingin membawa sesuatu dari sini?" tanya Gibran.
"Tidak. Tapi kusarankan bawalah akal sehatmu. Aku tak ingin kau melakukan hal gila pada orang lain."
Pria itu menghela nafas pelan, "Aku tak segila itu, Sha."
Sha mendengus malas, "Jangan bilang kita sudah menikah! Ingat itu!"
Sebenarnya, ada rasa kecewa di hati ketika mendengarnya. Rasanya seperti hubungan pernikahan ini tak dianggap penting. Hanya sebatas formalitas semata. Tapi memang begitu kan kenyataannya? Ia masih belum bisa menerimanya. Tak akan pernah bisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
ONE HERZ ✓ (COMPLETED)
Short Story(Follow sebelum baca) Bagaimana jika salah satu sahabat terbaikmu memperkosamu? Apa yang akan kamu lakukan? --- "Jadilah istriku!" "Jangan gila Bran!" --- Cover by pinterest Buku keempat Big Boss and Me #2 in puisi