(9)

16.2K 1.1K 10
                                    

"Ya. Kau menolak pesonaku. Padahal di luar sana banyak perempuan yang mati-matian mengejarku."

Aku tertawa kecil, "Kau salah Bran. Sebenarnya aku terpesona padamu. But, aku tak pernah memperlihatkannya padamu."

Raut wajahnya seketika berubah. Binar matanya terlihat jelas. Senyumannya mengembang.

"Sungguh?"

Aku mengangguk. Pria itu lucu sekali. "Aku tak berbohong."

"Kau menyukaiku?"

"Siapa yang tidak?"

Dia mengulum senyumnya. Menegakkan tubuhnya salah tingkah. Pria itu kenapa sih?

"Waktu yang tepat untuk membicarakan tentang Kita," ujarnya menatapku dengan tatapan penuh harap.

"Well, kita akan membahas tentang rencanamu itu kan?"

Dia mendengus, "Tidak jadi. Ayo bicarakan tentang kita. Hubungan kita selanjutnya."

"Apa maksudmu?"

"Kau menyukaiku kan? Ayo kita persiapkan pernikahan kita."

Aku tergelak keras mendengarnya, "Jangan bercanda! Aku menyukaimu karena kau sahabatku, Bran. Tidak mungkin dua sahabat menikah. Kau kan juga sedang suka dengan seseorang. Maka perjuangkanlah!"

Raut wajahnya terlihat berubah. Sama seperti dulu waktu aku menolaknya menjadi temanku.

Dia mengeraskan rahangnya. Menatap tajam ke dalam bola mataku. Seketika tubuhku terasa menggigil. Raut wajah yang biasanya bersahabat kini sudah tertelan lubang hitam tak terlihat. Aku tak mengerti situasi macam ini. Kenapa dia terlihat marah? Apa yang salah?

"Lupakan!" ucapnya dingin seraya bangkit dari duduknya.

"Kau kenapa, Bran?"

"Tak apa."

Aku memilih untuk diam. Nada bicaranya terkesan dingin. Suasana hatinya mungkin sedang buruk. Dan aku tak tahu apa penyebabnya. Mungkinkah karena aku menyinggung tentang seseorang itu? Wanita yang beruntung itu? Mungkin saja iya.

Aku mendengar helaan nafas panjang yang menusuk. Pria itu mengacak-acak rambut lebatnya frustasi. Ada apa dengannya?

"Sekarang waktunya kau mengenal diriku. Malam ini," ucapnya misterius. Binar matanya menandakan sesuatu yang tidak baik.

Aku menelan ludahnya kasar. Jantungku bertalu-talu. Menatapnya menyelidik. Apa maksudnya?

"Apa maksudmu?"

"Kau penasaran kan dengan isi celana dalamku? Akan kutunjukkan."

Aku terperangah mendengarnya, "Sinting! Kau sinting hah?!"

"Well, kau tadi membawa-bawa barang rahasiaku sampai keluar apartemen tanpa tahu malu. Jadi, apa salahku?" pria itu mengendikan bahunya tak acuh. Mendudukan dirinya disampingku.

Aku menatapnya tak terima, "Karena aku jengkel padamu Bran. Kau membuat kekacauan di apartemen dan aku juga yang harus membersihkannya."

"Aku tak menyuruhmu membersihkannya."

"Lalu kau ingin aku menunggumu di tengah lautan sampah begitu?"

Pria itu menatapnya dengan binar geli. Bibirnya berkedut menahan tawanya. Syukurlah, suasana hatinya berubah.

"Sekarang ku tugaskan kau untuk belajar menjadi calon istriku. Bersihkan apartemenku setiap hari!" titahnya serius.

"Aku bukan pembantumu! Dan please, aku bukan calon istrimu."

Pria itu mengendikan bahunya.

"Tak ada yang bilang kau pembantuku," sahutnya dengan nada dingin.

Pria itu melepaskan jasnya. Mata elangnya tak lepas dariku. Aku menatapnya nanar.

"Mau apa kau?" ujarku gugup melihat pria itu melepaskan dua kancing kemeja teratas.

Memperlihatkan sedikit dada bidangnya. Jantungku bertalu-talu. Gibran bukanlah pria berengsek. Aku percaya itu. Well, aku juga wanita biasa.

Pria itu tak menjawab. Mendekatkan dirinya padaku. Aku memundurkan posisi duduk takut. Dia melirik pahaku.

"Apa yang kau lihat?" sentakku menutup pahaku dengan tangan yang berbalut dress panjang. Kurang ajar!

Tanpa diduga pria itu merebahkan begitu saja kepalanya di atas pahaku. Aku sedikit terperanjat.

"Bisakah kau tenang?"

Seketika wajahku memanas. Posisi kami intim sekali. Tubuhku tak bisa bergerak.

"Gibran.."

Pria itu berdehem. Menutup matanya dengan tenang.

"Aku tidak nyaman," cicitku entah dia mendengar atau tidak.

Pria itu menghembuskan nafasnya kasar. Meraih sebelah tanganku lalu meletakannya di atas kepalanya.

"Usap!"

Aku meneguk ludahku kasar. Rambut pria itu sangat lebat. "Jangan seperti anak kecil!"

"Jangan membantah!" titahnya tegas.

Aku menghela nafas pelan. Dengan terpaksa mengusap rambut pria ini canggung.

"Kau kenapa sih Bran?" dia aneh sekali.

Aku merasa seperti dia memiliki kepribadian dua. Entahlah, hanya perasaanku saja. Atau memang sifat pria itu mudah sekali berubah-ubah?

"Aku rindu Mommyku," ujarnya dengan suara serak.

"Setiap malam aku tak bisa tidur nyenyak. Aku merindukannya. Mommy ku selalu mengelus rambutku seperti ini sebelum aku tidur. Rasa-rasanya aku seperti di dekatnya kalau berada di pangkuanmu. Aku nyaman."

Kuhentikan tanganku sejenak. Pria itu memang.. anak mama sekali.

"Teruskan sampai aku tertidur!"

"Jadi, aku pulang larut malam begitu?"

"Menginaplah disini!"

"Tidak Bran.. aku harus pul—"

"Malam ini saja kumohon. Aku kesepian."

Tak terasa nafasku tertahan. Hatiku mencelos mendengar kalimat terakhir. Pria itu kesepian tanpa kehadiran keluarganya. Kuputuskan mengangguk pelan. Aku kasihan padanya.

"Tidurlah bersamaku, Sha."

ONE HERZ ✓ (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang