(18)

13.2K 973 12
                                    

Sha menghela nafas panjang menatap pemandangan balkon apartemen. Merenungi akibat yang akan terjadi setelah semua tahu jika ia dengan Gibran sudah menikah bahkan akan memiliki anak. Bagaimana caranya agar orang tuanya tak kecewa padanya?

"Tak ada yang perlu dikhawatirkan, sayang," ucap pria itu sontak mengejutkannya.

Gibran seakan tahu apa yang sedang dia pikirkan.

"Takkan ada lagi yang akan memandangmu rendah. Takkan ada lagi yang berani bicara buruk tentangmu."

Sha terdiam. Kemarin, pria itu rela menjatuhkan harga dirinya demi membelanya di depan para karyawan.

"Aku yang sangat mencintaimu. Aku yang tergila-gila padamu. Aku yang memaksamu terikat padaku. Tak ada yang salah menikah dengan sahabat sendiri," kata pria itu kemarin yang berhasil membuat seluruh tubuhnya seperti tersiram air es.

Ia baru menyadari pria itu benar-benar tulus mencintainya. Bukan pria egois yang ia kira selama ini. Walaupun pria itu salah, tapi mungkin ia juga salah karena tak bisa merasakan perasaan Gibran selama ini. Pria itu berulangkali melamarnya bahkan mengungkapkan cinta padanya namun ia hanya menganggapnya sebuah lelucon.

Gibran tiba-tiba memeluknya erat dari belakang. Menyembunyikan wajahnya di ceruk lehernya. Sha masih tak bergeming. Nafasnya tertahan merasakan perlakuan pria itu padanya. Ia bisa merasakan hangatnya pria itu sebenarnya. Tak ada lagi pria menyebalkan. Tak ada lagi pria yang suka bercanda. Tak ada lagi sahabatnya Gibran. Yang ada adalah sosok pria yang kini menjadi suaminya. Sosok pria yang sudah seharusnya menjadi junjungannya. Bukan menjadi musuh dalam hidupnya.

"Hmm.. dingin.. ayo masuk!" gumamnya mencari kehangatan di lipatan leher istrinya.

Sha menggeleng pelan, "Aku masih ingin disini."

"Aku akan menemanimu."

Gibran mengeratkan pelukannya pada istrinya. Meletakkan dagunya di bahu wanita itu. Sha sama sekali tidak masalah. Biarkan pria itu melakukannya. Sedangkan Gibran tersenyum istrinya tak menolaknya.

"Malam ini tidakkah indah untuk kencan berdua?"

"Kurasa begitu."

"Lihat! Bintang-bintang itu!"

"Hmm?" Sha mencari-cari bintang di langit.

"Tidak ada bintang, Bran."

"Seperti perasaanmu padaku. Tidak ada," ujarnya sedikit menyakiti hatinya.

Sha tak bergeming. Semakin membuat pria itu patah tak mendengar sedikitpun bantahan.

"Mungkin menikah denganku bukan pilihanmu, sayang. Tapi, percayalah itu semua takdir. Takdir hidup kita."

"Jika anak kita lahir nanti. Kumohon jangan pernah membencinya! Aku yang salah bukan anak kita."

Sha menggeleng membantah, "Aku tak pernah membenci anak ini."

"Tapi, kau seperti tak menerimanya sebagai anakmu."

"Awalnya mungkin begitu. Tapi bagaimanapun juga ini anak yang akan lahir dari rahimku. Artinya, anak ini tetap anakku."

"Anak kita," ujarnya menekankan.

"Baiklah, anak kita."

"Anak kita, Sha. Ingat! Anak kita."

Sha mengiyakan dalam hati. Ia mengerti pria itu ingin dirinya mengakui anak ini.

"Anak kita sepertinya ingin masuk ke dalam. Udara semakin dingin," ujar pria itu melihat istrinya sedikit menggigil.

"Tapi, aku ingin masih disini."

"Besok saja, sayang. Sekarang masuk! Kau harus beristirahat."

Kali ini Sha tak menolak. Tubuhnya memang sudah sangat lelah.

ONE HERZ ✓ (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang