(8)

15.7K 1.1K 8
                                    

Aku memencet bel apartemen. Well, aku sudah sering ke apartemen Gibran. Sehingga aku memiliki akses masuk.

Lima menit lalu. Pria itu menelepon agar menunggunya saja dalam. Karena dia belum selesai meeting.

"Menyebalkan sekali." Gerutuku membuka pintu apartemen itu.

Gelap.

Aku meraba-raba tembok mencari saklar lampu.

Jreng!

Aku menganga lebar. Lihatlah apartemen pria itu. Sangat-sangat berantakan. Kertas-kertas berserakan dimana-mana. Tisu kotor pun memenuhi lantai. Piring dan gelas kotor ditumpuk begitu saja di wastafel. Underware di letakan begitu saja di sofa. Entah itu kotor atau bersih.

Aku memijit keningku frustasi.

"Gibran...." geramku ingin sekali mencekik lehernya.

Ingin sekali melemparkan celana dalam itu ke mukanya. Pasti seru sekali.

Jadi pria itu ingin aku kesini untuk membereskan kekacauan ini? Kau pikir aku pembantu?!

Aku menghela nafas mencoba tersenyum. Ku renggangkan otot-otot tanganku. Melemaskan otot leherku. Melakukan pemanasan sebelum merapikan kekacauan ini.

"Tolong jaga Gibran."

Aku selalu teringat permintaan aunty Skyla. Gibran itu anak yang manja pada Mamanya. Tak heran pria itu sangat membutuhkan tangan Mamanya.

Dia tinggal jauh dari keluarganya sejak umur 17 tahun. Well, katanya dia ingin hidup mandiri dan berprestasi di negeri Mamanya.

Di umur 18 tahun Gibran mendirikan cabang perusahaan Harisson di Indonesia dan mengelolanya sendiri tanpa campur tangan Papanya.

Aku tak menepis jika dia memang hebat. Pria itu hebat sekali. Well, dia memang sahabatku. Aku bangga padanya.

Tujuh menit berlalu. Aku mencuci piring terakhir. Menggosok dengan spons hingga mengkilat.

Ting! Tong!

Aku tersenyum tipis. Akhirnya Tuan Muda sudah sampai. Well, niatku masih belum berubah. Aku jengkel sekali dengannya.

Ting! Tong!

Aku segera mengambil underware-nya. Menjipitnya jijik. Akan ku lempar barang jorok ini tepat di wajah tampanmu.

Ceklek!

Aku membukanya perlahan.

"Selamat malam Gi.." sapa seorang wanita cantik.

Dia terlihat terkejut melihatku. Perempuan itu memegang sekotak makanan. Aku pernah melihat wanita itu. Ah! Ya dia salah satu karyawan pria itu yang pernah kupergoki memandang Gibran sampai terjatuh.

"Shahinaz!" gumamnya menutup mulutnya dengan tangannya.

Wow, dia mengenaliku padahal aku tak pernah sekalipun memperkenalkan diri.

Dia terlihat terkejut sekali. Apa aku mengejutkannya?

"Ah ya ada apa kesini?"

Dia melirik barang yang ada di genggamanku. Aku melotot setelah menyadarinya.

"Ada yang bisa kubantu?" tawarku canggung menyembunyikan barang itu ke belakang tubuhku.

Matanya terlihat berkaca-kaca.

Aku tak mengerti situasi ini.

"Siapa namamu biar aku—" ucapanku terpotong begitu saja.

Dia berlari menjauh. Terdengar isakan yang cukup jelas. Apa dia menangis? Apa aku bersalah? Apa dia ketakutan?

Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal.

"Dia kenapa?"

Mengerutkan keningku heran.

"Kau sedang melihat apa?" bisik seseorang di telingaku.

Aku terperanjat sontak melemparkan barang itu ke arahnya.

"Astaga Gibran!" sentakku nanar.

Aku tertawa kecil. Sesuai rencanaku. Barang itu terlempar tepat di wajahnya.

"Sha! Kau mesum sekali."

Aku melotot tak terima.

"Kenapa membawa-bawa barang rahasiaku. Ah, aku tahu kau pasti penasaran dengan isi celana dalamk—" aku mencubit tangannya kecil.

"Kau jorok sekali! Makanya aku melemparkannya padamu."

Dia terkekeh geli menggenggam barang rahasianya itu. Sebelah tangannya menenteng kantung plastik.

"Shuut!" dia menunjuk telunjuknya di depan depan mulut.

"Ini rahasia kita." Bisiknya menggelikan.

"Apa sih Bran!"

Dia menggelikan sekali.

Pria itu merubah wajahnya menjadi serius.

"Kau sedang melihat apa tadi?"

"Tadi ada perempuan yang sepertinya mencarimu. Setahuku dia salah satu karyawanmu. Dia pergi begitu saja tanpa mengucapkan sesuatu."

Pria itu mengangguk.

"Oke, tidak penting. Masuklah, kita akan membicarakan hal yang romantis."

Aku tertawa geli. Dia mendorong bahuku ke dalam.

"Well, romantisme adalah hidupmu, Bran. Aku tak heran lagi."

Dia menanggapi dengan tersenyum manis. Ck! Ck! Dia manis sekali. Pantas saja banyak yang menyukainya.

"Aku memang tampan sekali. Tak heran banyak yang menyukaiku. Tapi ada satu perempuan yang menolak pesonaku."

Pria itu menghempaskan tubuhnya ke sofa. Aku mendudukan diri di sebelahnya. Dia menyerahkan kantung plastik itu padaku.

"Apa ini?"

"Martabak manis kesukaanmu. Aku mengantrinya hampir satu jam. Hufft! Mereka tak menerima black card ku."

Aku tertawa kecil.

"Terimakasih Gibran.. kau baik sekali."

"You're welcome, darling."

Aku membuka kotak martabak itu dengan mata berbinar. Mencium aroma yang membuatku hampir meleleh.

"Kau tak menanyakan siapa perempuan itu?" tanyanya mencomot satu martabak itu.

Menyodorkannya ke mulutku. Aku membuka mulutku. Dia manis sekali menyuapiku. Tapi sikap manisnya luntur seketika. Pria itu memakan sisa gigitanku dengan satu suapan. Well, entah kenapa aku mulai terbiasa dengan tingkahnya.

"Memangnya siapa?" tanyaku mengambil martabak terbesar.

Sebelum masuk, pria itu menahan tanganku. Memakan martabak itu dengan satu lahap di tanganku. Aku bisa merasakan giginya yang mengenai jemariku.

"Gibran!" ujarku sebal.

"Orang itu kau!"

Aku hampir tersedak karena penuturannya.

"Aku?"

---------|---------

ONE HERZ ✓ (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang