Gibran masih menunggu kepulangan istrinya di rumah baru yang sudah ia beli dari dulu. Namun, karena dari awal istrinya hanya ingin tinggal di apartemen, ia menuruti saja apa kemauannya. Karena hubungannya sudah membaik mereka memutuskan tinggal di rumah yang layak. Sudah seminggu Gibran menunggu ketidakpastian. Tempo hari ia kepergok berbuat nekat dengan mengunjungi rumah Viona. Hah... Kesialannya!
"Apa istriku sudah makan?" siapa sangka ia sekarang jarang makan.
Bukan berlebihan tapi memang begitu efek dari Sha yang jauh darinya. Itulah mengapa ia memilih tinggal di Indonesia agar bisa selalu berdekatan dengan istrinya.
Pria itu memejamkan matanya yang perih. Ia sangat merindukan istrinya. Ia tahu ia pantas dihukum. Sudah baik Sha tidak meninggalkan dirinya untuk selamanya.
"Takkan terjadi... Jika dia pergi aku akan menjemput kemanapun dia pergi." Pria itu terkekeh pelan.
Oh astaga.. apa ia harus memeriksakan kondisi mentalnya?
Tapi tidak.. seperti yang ia katakan sebelumnya, ia gila karena Sha tapi juga tetap waras karena Sha.
***
"Gibran.." Sha melemas ketika melihat suaminya tidur di lantai.
"Gibran.." wanita itu mengangkat kepala suaminya ke atas pahanya.
Tangannya menepuk-nepuk pipi pria itu, "Bangun kau kenapa?"
"Sayang.." panggil pria itu dengan tenggorokan kering.
"Iya.. aku sudah pulang. Tunggu.. ada apa denganmu? Jangan bilang magmu kambuh?"
Pria itu tersenyum menyentuh wajah istrinya dengan lembut. Lebih bersinar dan cantik. Ia sangat merindukan wanita itu.
"Cium aku.." pintanya dengan suara serak.
Sha mengecup bibir pria itu berkali-kali, "Kumohon jangan begini Gibran.. aku takut."
Wanita itu mengotak-atik ponselnya menghubungi supir di bawah, "Ya.. tolong ya pak segera kesini! Terimakasih."
"Cium lagi.. aku rindu.."
Mata Sha berkaca-kaca. Kenapa pria itu sampai seperti ini? Kenapa?
"Cium.."
Sha kembali mencium suaminya.
"Permisi non.."
"Kita bawa ke rumah sakit, pak."
***
Pria itu memeluk perut istrinya erat seakan melepas rindu dengan wanita ini.
"Padahal hanya seminggu, Gibran.."
"Itu seperti sepuluh tahun untukku."
"Jangan seperti ini lagi okay? Kau harus selalu makan atau penyakit mag mu akan kambuh lagi."
"Hmm.. istriku juga harus selalu bersamaku agar aku selalu makan."
"Gibran.. aku.. minta maaf. Aku sangat menyesal."
"Tidak ada yang perlu dimaafkan."
"Tapi ini salahku kau harus begini." Ia tak menyangka pria itu akan tersiksa.
"Semua dimulai dari kesalahanku. Bisakah kita melupakannya sejenak? Aku ingin bermesraan denganmu," pria itu bersender ke dashboard ranjang.
Kemudian menarik pinggul istrinya untuk duduk di pinggir brankar.
"Bercumbu disini sepertinya menarik.." pria itu tersenyum di sela-sela ciuman.
Sha membalas ciuman suaminya. Namun kesadarannya masih terjaga. Ia menahan suaminya agar tak berbuat lebih.
"Cukup Bran.."
"Lagi.." rengeknya manja.
"Di rumah saja. Sekarang kita makan dulu.."
"Aku mau pulang sekarang, honey." Pria itu bergelayut manja di pundak istrinya. Sesekali menggigitnya kecil.
"Nanti jika dokter sudah mengijinkannya. Hmm.. buka mulutmu!"
"Aku ingin makan dengan cara lain."
"Hmm?"
"Sayang.. buka mulutmu dulu!"
"Aku tak suka makanan rumah sakit Bran.. kau tahu itu."
"Aku juga tak mau jika kau tak mau," ujarnya merajuk.
Astaga.. pria itu kenapa jadi suka merajuk?
"Baiklah.."
Sha terpaksa menyuapkan makanan hambar itu kemulutnya. Pria itu dengan semangat menangkupkan pipi istrinya lalu mencium bibir itu. Memakan makanan dari mulut istrinya ternyata lebih nikmat.
"Bran!" pekik Sha terkejut.
Pria itu menyengir kecil, "Aku suka. Lagi.. aaa.."
Sha menggeleng kepalanya jengah, "Jika bukan karena aku bersalah padamu, aku tak mau dengan gaya makan seperti ini."
Pria itu tertawa kecil, "Tapi aku ingin ini menjadi kebiasaan."
"Astaga?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
ONE HERZ ✓ (COMPLETED)
Short Story(Follow sebelum baca) Bagaimana jika salah satu sahabat terbaikmu memperkosamu? Apa yang akan kamu lakukan? --- "Jadilah istriku!" "Jangan gila Bran!" --- Cover by pinterest Buku keempat Big Boss and Me #2 in puisi