(7)

15K 1K 8
                                    

"Sha, kau tak usah ke kantor. Pekerjaan sudah ada yang menghandle." Seru seseorang di seberang sana.

"Syukurlah kalau begitu."

"Tapi, apa kau bisa ke apartemenku nanti malam?"

"Ada apa memangnya?"

"Bisa tidak? Ada yang harus aku bicarakan padamu tentang banyak hal, salah satunya tentang rencanaku tentang Viona."

Aku menimbang-nimbang. "Bagaimana ya Bran. Aku harus ijin pada orang tuaku dulu."

"Aku sudah bicara pada orangtuamu. Dan mereka mengijinkannya."

"Bagaimana bisa?" tak bisa dipercaya. Orangtuaku mengijinkannya dengan mudah. Really?

"Pokoknya boleh Sha. Tenang saja. Aku kan pria yang berbudi luhur dan sopan. Jadi mereka bisa mempercayaiku. Well See you, nanti jam tujuh harus sampai. Tepat waktu oke."

Tut!

Belum sempat aku protes telepon sudah dimatikan di seberang sana. Aku menghembuskan nafasku pelan. Masih tak percaya orangtuaku mengijinkannya.

"Dia memang tak bisa dibantah. Dia kan bos," gumamku melanjutkan membuka kardus berisi buku-buku novel dari penerbit Gamepedia.

Melihat dari sampulnya aku teringat aplikasi Wattpad. Well, banyak novel yang terbit dari platform itu. Tak sedikit juga cerita yang difilmkan dan menjadi film yang laku keras.

Mataku terpaku pada judul buku romantis. "Big Boss And Me" karangan It's me Ac. Aku mengendikkan bahu. Dari judulnya aku teringat sosok wanita yang cantik. Mommy nya Gibran - Skyla.

Aku mulai menata buku-buku itu ke rak kosong.

"Hai!" sapa seseorang tepat di telingaku.

Aku berjengkit mengelus dadaku.

"Sha!" rengek seseorang.

Aku mengenalnya sekali siapa lagi kalau bukan Viona.

"Vio. Jangan membuatku jantungan!" Aku mengelus dadaku yang berdegup kencang.

"Kemana saja kalian? Kenapa kau dan Gibran seakan-akan tak perduli lagi denganku. Jarang menemuiku lagi. Aku tahu ya, kalian diam-diam berkencan kan?"

Aku menggeleng jengah.

"Kau sendiri yang bilang. 'jangan urusi aku lagi. Jangan ikut campur, blablabla. Jadi jangan salahkan aku dan Gibran." Tukasku ketus.

Aku berjongkok mengobrak-abrik isi kardus itu lagi seakan tak melihat sahabatku.

"Sha, tapi bukan begini juga caranya."

Aku mengendikkan bahu tak acuh.

"Aku tahu kalian perduli padaku. Tapi, jangan terlalu mengurusi masalah percintaanku. Aku bahagia dengan pilihanku."

Aku tak menanggapinya. Memilih menata buku-buku itu ke rak yang berjejer buku lainnya.

"Sha! Dengar tidak?"

Aku berdehem lirih.

"Aku bahagia Sha. Aku sangat bahagia. Dan aku sangat yakin Kak Bimo itu cinta sejatiku."

Ingin sekali aku memuntahkan isi perutku. Tahu apa dia tentang cinta sejati? Dan laki-laki bernama Bimo itu tak pantas mendapatkan gadis sebaik Viona.

"Terserahmu saja."

"Sha, kau marah padaku?"

Aku berjongkok lagi. Mengambil beberapa buku lalu menatanya. Akhirnya Viona ikut membantuku juga. Dia ikut berjongkok mengambil beberapa buku.

"Sha, aku minta maaf jika ada salah. Jangan mendiamkanku seperti ini." Ujarnya terdengar pilu.

"Sudahlah, sana berkencan saja dengan Bimo!" ujarku dengan nada ketus.

Dia terdiam sejenak. Matanya berkaca-kaca. Aku jadi tak tega. Well, dia perlu ditegasi agar tak lemah. Hatinya terlalu lemah untuk mencintai seseorang. Dengan mudahnya dia mencintai seseorang yang sudah jelas-jelas buruk.

"Kau jahat Sha! Kau berubah."

"Kau yang berubah semenjak kau mencintai pria berengsek itu."

Viona terlihat kembang kempis tak terima. Well, benar kan kataku?

"Kau cemburu kan denganku? Karena aku mendapatkan cinta lebih dulu. Makanya Sha, buka matamu! Buka hatimu agar kau merasakan seseorang mencintaimu dengan tulus. Dia di dekatmu Sha! Dia selalu ada di sampingmu," sentaknya menahan air matanya.

Aku termangu. Apa yang dia katakan?

"Kau memang tidak peka. Aku kadang iri denganmu karena pria itu tergila-gila denganmu. Tidak sepertiku, yang susah mencari pacar. Kau memang bodoh Sha," tukasnya sebelum berbalik lalu berlari kecil keluar dari tokoku.

Aku menatap punggungnya sayu. Hatiku seperti tertikam batu bara. Dia iri denganku karena seorang pria tergila-gila denganku? Siapa yang dimaksud Viona?

"Yang jelas orang itu tidak peka."

Aku jadi teringat kata-kata Gibran tempo hari. Siapa pria yang selalu di dekatku? Hanya Gibran.

Aku menggeleng kecil. Tak mungkin Gibran mencintaiku. Well, kami bersahabat dari kecil. Tak mungkin sekali pria penggombal ulung itu.

Aku menghela nafas pelan. Sudut hatiku merasa bersalah karena telah membuat Viona sedih.

"Maafkan aku."


---------|---------

ONE HERZ ✓ (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang