(5)

18.6K 1.1K 7
                                    

Aku memicing tajam melihat berkas di hadapanku. Dari Neraca sampai Laporan Keuangan semua acak-acakan. Aku memijit keningku frustasi.

"Siapa yang membuatnya?"

"Siapa lagi kalau bukan si Tua Bangka, sekertarisku."

"Gibran.." aku memperingatinya agar tak asal bicara.

"Jangan suka mengolok orang lain."

Dia mengendikan bahunya. Mengetikkan sesuatu di laptopnya.

"Tapi memang Pak Gatot yang membuatnya."

"Aku akan memperbaikinya. Dimana penanya?"

Dia meraba-raba kantong di dadanya. Lalu mengeluarkan pena kesayangannya. Pena pemberianku saat dia ulang tahunnya yang ke-18. Oh, lucunya. Aku jadi tersentuh. Tapi tidak jadi, aku mendelik melihat ujungnya seperti digigit sesuatu.

"Gibran! Kebiasaanmu jorok sekali!"

Dia terkekeh geli. "Aku juga sering menciumnya. Atau menggunakannya untuk membersihkan kotoran gigi. Sesekali menggigitnya karena gemas sekali."

Aku meringis jijik. Meletakannya di atas meja. Mengusap-usap tangan ke bajuku.

"iuuuh!" aku menyercitkan hidungku.

Dia semakin tertawa.

"Kau menghina hadiahku, Bran. Tega sekali."

"Bukan begitu. Aku tak sadar saat melakukannya."

"Aku takkan memberimu hadiah lagi saat ulang tahun nanti."

"Ampun.. ampun.. aku hanya bercanda, Sha!"

Aku mendengus geli. Mencoba kembali fokus dengan berkas di depanku.

"Punya pena lain?"

Dia menggeleng. "Kau jijik padaku ya?"

"Jelaas.." desisku kesal.

Dia mengambil pena itu lalu mengusap-usapnya pada jasnya. Aku tertawa geli.

"Sudah, sudah sini. Kau beneran tak punya pena lain?"

Dia memberikannya padaku. "Well, penaku selalu hilang entah kemana. Dan penamu adalah pena terawet sepanjang hidupku."

Aku tertawa kecil. "Really?"

Dia mengangguk lalu kembali fokus pada laptopnya. Suara ketikan dan detak jam mengisi keheningan ruang. Aku sesekali melirik pria di depanku. Dia terlihat serius sekali. Alisnya tertaut lucu. Kadang raut wajahnya garang. Berubah-ubah seperti suasana hatinya.

Tanganku terus menyalin laporan ini. Mencoret-coretnya lalu menuliskan nominal yang benar. Menghitungnya ulang lalu menjumlah dari atas. Aku mengangguk puas, saldonya seimbang.

"Ayo kita pulang!"

Aku melirik jam dinding. Tak terasa sudah pukul lima sore. Masih banyak yang belum kuhitung.

"Sebentar lagi, Bran."

"Sudahlah, besok lagi saja. Aku harus memulangkanmu tepat waktu. Nanti Papa Fadhlan dan Mama Difha mengomeliku."

Dia sangat dekat orangtuaku. Sampai memanggil mereka Papa dan Mama, sama sepertiku.

"Besok?" tanyaku. Artinya aku harus kesini lagi begitu?

"Jangan bilang kau tak mau."

"Pekerjaanku menumpuk, Bran."

"Biar Pak Sabar saja yang mengerjakannya. Pekerjaanmu kan tidak terlalu banyak."

"Pekerjaanku adalah tanggungjawabku, aku tak bisa menyuruh orang lain mengerjakannya, Bran."

"Sungguh tidak ingin membantuku? Pak Gatot mengambil cuti tiga hari." Dia menatapku dengan sorot mata pengharapan.

ONE HERZ ✓ (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang