(15)

14.9K 1K 8
                                    

Sha terdiam mendengarnya. Ia tak menyangka Gibran memikirkan hubungan mereka sedalam ini.

"Aku tak tahu harus bagaimana, sayang. Aku minta maaf telah membuatmu merasa buruk. Aku ingin sekali membahagiakanmu tapi.. aku tak tahu bagaimana caranya jika kau sendiri menganggapku sumber kesakitan."

Jantungnya seperti teremas pilu. Pria malang ini sebegitu mengharapkannya.

"Tak apa. Aku tahu diri, sayang."

Sha menghela nafasnya pelan melihat pria itu memakan makanan sisanya. Hatinya merasa goyah. Bisakah ia menerima Gibran sebagai suaminya? Salah satu sahabat terbaik yang telah memperkosanya. Ia tak menampik fakta jika sekarang hatinya mulai luluh pada pria ini. Namun, hanya sebatas kepedulian. Ia akan mencoba memperlakukan Gibran dengan baik seperti dahulu.

***

"Apa kau tahu kabar Viona, sayang?" tanyanya memasang jam tangan hendak berangkat bekerja.

Sha menggeleng cepat. Ia tak tahu kabar sahabatnya setelah menikah dengan Gibran. Ia masih belum siap menemui sahabatnya itu.

"Bagaimana kabar Viona?"

"Kupikir dia baik."

"Bagaimana kau tahu?"

Pria itu tersenyum misterius, "Rahasia."

"Gibran.. aku serius."

"Kau akan mengetahuinya sebentar lagi."

"Jangan merahasiakan apapun padaku kita kan sahabat Bran.." sekejab ia tersadar apa yang selalu ia ucapkan dahulu. Sahabat? Hatinya teriris pilu melihat kenyataan di hadapannya.

Pria itu terlihat tak masalah dengan itu, "Kita sudah sah menikah." Menyadarkan kenyataan yang sebenarnya.

Sha tak menjawab. Ia memutuskan membawakan tas kerja untuk pria itu. Gibran menghela nafasnya diam-diam. Ia sadar ia telah menghancurkan hubungan persahabatan diantara mereka. Tapi, ia akan selalu membuktikan jika ia adalah suami yang terbaik.

"Aku akan pulang cepat."

"Ya," jawabnya singkat.

"Aku pergi dulu, sayang."

Sha mengangguk mengantar pria itu di depan pintu. Ia menatap punggung tegap itu menjauh. Namun sebelum Sha berbalik pria itu lari menghampirinya.

"Ada apa? Ada yang ketinggalan?"

"Ya," pria itu menatapnya sendu sebelum mencuri ciuman kecil di keningnya.

"Jaga dirimu dan anak kita. Beritahu aku jika kau ingin apa-apa. Pakailah lift jangan menggunakan tangga jika ingin pergi. Aku benar-benar mencintaimu, sayang."

Sha terdiam mematung merasakan perlakuan pria itu. Tapi, untuk kali ini ia tak bisa menolak.

"Jangan khawatirkan aku. Aku baik-baik saja."

***

Sha berjalan menenteng rantang makanan. Menganggukan kepalanya kepada orang-orang yang menyapanya. Para karyawan sudah mengenal dirinya maka dari itu ia tak lagi canggung.

Begitu masuk ia dihadapkan dengan Gibran yang membanting gagang telepon lalu mengomel-omel tidak jelas.

"Dasar tidak becus!" pria itu memiliki sifat tempramental yang buruk.

Sha berdehem kecil.

"Say.. sayang.." raut wajah pria itu seketika berubah melihat istrinya datang ke kantor.

"Aku membawakan makanan kesukaanmu."

Pria itu tiba-tiba menghamburkan pelukannya ke dalam tubuh istrinya. Sha sedikit kehilangan keseimbangan jika punggungnya tak ditahan oleh tangan besar pria itu.

"Terimakasih.. terimakasih.."

Sha bisa mendengar suara bergetar pria itu. Ada apa?

"Kau kenapa, Bran?"

"Aku bahagia dikunjungi oleh istriku."

Setelah seharian frustasi memikirkan kerjaannya yang hancur karena kecerobohannya. Kehadiran istrinya menjadi obat segalanya.

"Ada apa denganmu, Bran? Hei.. tatap mataku!"

Mata pria itu terlihat merah menahan marah. Ia tahu kebiasaan pria itu.

"Apa kau marah denganku?"

"Bukan."

"Lalu?"

"Aku marah dengan diriku sendiri yang tak becus mengurus pekerjaan. Banyak klien yang protes padaku."

Sha menghela nafasnya pelan, "Mari makan dulu!"

Pria itu menurut mendudukan dirinya di samping istrinya.

"Kemarikan tanganmu!"

Pria itu tiba-tiba menyembunyikannya. Sha menghela nafas pelan. Kebiasaan buruk pria itu ketika marah adalah memukul-mukul barang yang tak bersalah sampai tangannya berdarah.

"Kau tidak bisa menyembunyikannya lagi dariku."

"Ini hanya luka kecil. Aku bisa mengatasinya."

"Sini!" wanita itu tak menghiraukannya meraih tangan pria itu lembut.

"Akan aku obati sendiri nanti setelah makan tenang saja. Sekarang aku sudah lapar sekali."

"Baiklah, akan kusuapi kau."

"Tidak.. tidak perlu.." pria itu sebenarnya ingin jual mahal.

"Baiklah kalau begitu."

"Eh.. bukan begitu maksudku. Tidak perlu bertanya suapi saja aku."

Sha berdehem kecil, "Aku akan membantu pekerjaanmu sebisaku jangan lagi melarangku!"

"Tapi.."

Sha menyumpali mulut pria itu dengan suapan penuh.

"Aku asisten pribadimu sekarang."

ONE HERZ ✓ (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang