(17)

13.5K 999 9
                                    

"Memecat Pak Gatot?!" ujar Sha terkejut.

"Bukan, hanya memberikan cuti beberapa minggu untuk pulang kampung."

Sha menghela nafasnya lega, "Kukira."

"Sudah ada istriku yang mengurus pekerjaanku jauh lebih baik dari Pak Gatot."

"Jadi apa pekerjaanku hari ini?"

Pria itu tersenyum menepuk-nepuk pahanya, "Duduklah disini!"

"What?!"

"Pertama-tama duduklah di pangkuanku, sayang."

"Bran.. jangan bercanda!"

"Aku tak suka bercanda," ujarnya serius. Ia tak pernah suka bercanda.

"Tapi..."

"Bukankah tidak ada kata penolakan di kontrak kerja kita?"

Sha menelan ludahnya kasar. Pria itu sangat pandai menjebak dirinya.

"Tapi, bagaimana caranya aku bekerja?"

"Kau adalah asisten pribadiku. Jadi, uruslah aku dahulu!"

Sha terpaksa mengikuti kemauan pria itu. Ada-ada saja pria itu. Pekerjaan macam apa ini. Wanita itu mendudukan diri dengan canggung.

"Lalu apa?" kini ia menghadap ke laptop.

Pria itu tiba-tiba mendekap tubuhnya dari belakang. Sha sedikit tersentak. Jantungnya berdegup kencang. Posisi mereka sangatlah intim.

"Lalu ketik sesuai perintahku!" bisiknya berhasil membuat Sha bergidik.

"Apa.. apa kau tak pegal, Bran? Aku bisa duduk sendiri tanpa kau pangku, " ujarnya sedikit gelisah.

"Jangan membantah, okay?"

Sha mulai mengetikan apa yang dikatakan pria itu. Gibran hanya bicara dan memainkan kancing kemejanya dari belakang. Mengusap bagian perutnya berulang-ulang. Membuat Sha semakin tak nyaman. Namun, belum ada satu jam pria itu memintanya berhenti.

"Kenapa berhenti?"

Pria itu berdehem tak nyaman. Wanita itu tak sadar membangunkan sesuatu yang ada pada dirinya.

"Istirahatkan jemarimu dulu! Lalu buatkan aku kopi dan biskuit kesukaanku."

Sha mendengus malas, "Tapi, aku baru mengetik beberapa menit, Bran. Belum pegal sama sekali."

"Ingat?"

"Oke, aku takkan menolak permintaanmu."

"Bagus! Juga bawakan aku jus buah dan biskuit ibu hamil."

"Kau juga mau memakannya?"

"Tentu tidak. Itu untukmu, sayang," ujarnya perhatian.

Sha berdehem mengiyakan. Beberapa menit kemudian Sha kembali dengan pesanan yang sesuai perintah pria itu. Namun, yang berbeda ia terlihat lesu. Sama sekali tak luput dari perhatian Gibran.

"Kenapa, sayang?"

Sha menggeleng, "Tidak ada."

"Kenapa dengan wajahmu?"

"Tidak apa."

Pria itu mengeraskan rahangnya, "Aku akan mencari tahu sendiri."

"Tunggu!" cekalnya.

"Baiklah, aku.. aku hanya."

"Hanya?"

"Hanya sedikit tersinggung dengan salah satu karyawanmu."

"Siapa? Apa yang dia perbuat?"

"Aku hanya tak suka saat dia membicarakanku kepada orang lain. Katanya aku terlalu mengejar-ngejarmu sampai rela melemparkan tubuhku padamu."

Pria itu mengepalkan tangannya menahan amarah, "Siapa?!"

"Dia sudah kupecat, Bran. Maaf sudah memanfaatkan posisiku disini."

"Siapa dia?" pria itu sama sekali tak keberatan. Malahan, dia senang karena istrinya tegas dan mengerti posisinya.

"Dia Sarah. Wanita yang pernah kuceritakan waktu itu. Yang tiba-tiba menangis tak jelas setelah melihatku di apartemenmu."

"Aku tak mengenalnya."

"Nanti akan aku beri fotonya."

"Sekarang aku mau melihatnya."

"Nanti saja."

"Sekarang!"

Sha menelan ludahnya kasar. Ia mengenal pria itu. Pembalas dendam yang mengerikan.

"Hanya memberinya sedikit perhitungan," desis pria itu.

"Tapi, Bran.. dia sudah kupecat jadi tidak perlu lagi memberinya perhitungan."

"Tenang saja anak buahku yang akan mengurusnya."

"Bran.."

"Aku juga akan mengumumkan pernikahan kita sekarang."

"Jangan!"

"Kenapa huh? Malu mengakuinya?"

"Bukan begitu, Bran.. kau tahu sendiri apa alasanku. Bagaimana jika ayah dan ibuku mengetahuinya?"

"Sampai kapan menutupinya? Aku akan tetap mengumumkannya. Tak ada yang boleh mengataimu lagi. Tak ada yang boleh memandangmu rendah. Aku tak mau orang-orang salah paham."

Sha menelan ludahnya kasar. Apa ini keputusan yang terbaik?

ONE HERZ ✓ (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang