(3)

20.6K 1.2K 23
                                    

Aku kembali menatap pria di depanku. Dia memandang ke luar jendela. Melipat tangannya di depan dada. Raut wajahnya terlihat tenang. Seakan hujan lebat disertai angin kencang dan petir adalah jiwanya.

"Kau yakin Bran?"

"Aku yakin seratus persen, Sha. Vio pasti akan cepat move on. Lagipula Bimo bukanlah laki-laki yang terlalu istimewa. Cara pengalihan mungkin bisa membantu Viona. Sakit hati itu temporer. Tapi pemahaman, pelajaran yang diperoleh bisa abadi." Dia mengutip kata-kata penulis idolaku.

"Kau sepertinya berpengalaman soal cinta."

Raut wajahnya tak menunjukan ekspresi.

"Tidak juga. Aku juga belajar darinya."

"Wow, siapa gerangan yang kau cintai sebenarnya. Aku jadi penasaran. Sepertinya dia perempuan hebat."

Dia tersenyum manis. Aku terkekeh. Lihatlah, sahabatku yang satu ini dia sedang jatuh cinta. Perempuan itu pastilah orang yang istimewa.

"Kau benar."

Dia menatapku intens. Aku membalas tatapannya yang sulit ditebak.

"Kau tak ingin cepat melamarnya? Jangan sampai kau terlambat, Bran. Kau tahu, terkadang wanita lebih memilih dicintai daripada mencintai. Mungkin saja, dia juga memiliki perasaan yang sama sepertimu. Tapi, karena kau terlihat tak mencintainya dia lebih memilih orang yang mencintainya sepenuh hati. Cinta juga perlu diungkapkan. Dan diimplementasikan melalui tindakan."

Dia terus menatapku dengan tatapan sulit diartikan, "I love you."

Aku terkekeh geli. Dia bertindak cepat juga.

"Ya seperti itu, Bran. Tapi lebih baik kau mengatakan pada keluarganya. Tunjukan keseriusanmu."

"Aku sudah melamar pada keluarganya. Tapi, dia—" ucapannya terpotong bertepatan dengan guntur yang menggelegar. Ditambah teriakan nyaring dari kamar Viona.

"Viona." Aku menatap Gibran bertanya-tanya.

Lantas kami langsung bergegas menuju kamar perempuan itu.

"Aaaaaaa!" Suaranya semakin jelas.

"Aku takut Sha." Serunya tertahan.


***

Aku keluar dari kamar Viona dengan mata lelah. Kelelahan menenangkan sahabatku semalam. Dia menangis histeris seakan meluapkan seluruh emosinya. Kepalaku pusing karena hari-hari yang kulalui diisi dengan suara tangisan. Lebih baik jika tangisan bayi. Ini orang dewasa berumur dua puluh tahun.

Walau begitu aku tetap akan terus berusaha membuat hatinya lebih baik. Walau dia terus menolak dan malah mengusirku dan Gibran. Tapi perjuangan kami belum padam. Dia sahabatku sekaligus keluargaku. Aku tak bisa meninggalkannya dalam lautan duka lara.

Aku memijit keningku. Sudah tiga hari dia terjebak dalam lautan duka. Dia terus menolak makan dan minum. Tapi, beruntung saat kami meninggalkan senampan makanan. Makanan itu akan habis. Jadi, aku masih bisa bernafas lega. Dia masih mengingat perutnya.

Aku melangkah gontai menuruni tangga. Ingin mencari makanan yang bisa dimakan.

Ting! Tung!

Suara bel berbunyi. Aku mengerutkan dahiku. Ini masih jam delapan pagi. Tidak mungkin Gibran yang datang. Karena aku tahu dua jam lalu dia bergegas ke kantor untuk mengurus sesuatu yang mendesak.

Suara siulan burung kenari seperti menyambutku ketika membuka pintu rumah.

Wajah pria berbadan tinggi terpampang di balik pintu. Wajahku pias tak percaya.

ONE HERZ ✓ (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang