(13)

14.6K 991 5
                                    

Sha menutup matanya lelah setelah seharian membersihkan apartemen super besar ini. Bersandar pada sofa yang sangat nyaman. Pria itu bisa saja membeli penthouse mewah jika mau. Tapi ia tahu pria itu lebih mementingkan kesederhanaan yang berguna daripada kemewahan. Lebih mementingkan fungsinya daripada gengsi.

Ting.

Notifikasi pesan masuk dari Gibran. Masih menamainya 'Gibran Tengil'. Jujur, ia masih sangat kecewa dengan mantan sahabat terbaiknya itu. Bukan hanya kecewa tapi marah dengan sikap buruk pria itu. Ia tak pernah menyangka dibalik sikap menyenangkan itu ada sesosok yang sangat kejam. Ia masih belum bisa memaafkan pria itu.

Walau kini sudah menjadi suaminya sekaligus ayah dari anak ini tetap saja ia tetap tak terima. Ia masih marah. Ia kehilangan mahkotanya, harga dirinya, bahkan sahabat terbaiknya.

Tempo hari pria itu memberi alasan kepada orangtuanya jika dua hari Sha tinggal di apartemen baru hadiah sebagai sahabat terbaik sampai lupa untuk pulang. Sahabat terbaik? Sha tersenyum miris. Bad friend forever lebih tepatnya. Namun, alasan yang sedikit masuk akal. Dua hari mengurus apartemen barunya tanpa menghubungi siapapun. Dan bisa-bisanya orangtunya bisa percaya dengan omongan pria itu tanpa membantah sedikitpun.

Gibran Tengil

Sudah makan siang, sayang?

Aku akan membawakan makanan yang kau mau

Me

Tidak

Seketika dering telepon berbunyi. Sha menghela nafas pelan menolak mengangkatnya.

Gibran Tengil

Aku ingin bicara serius

Entah kenapa pria itu kini berubah mode serius. Ia sedikit merasa tak nyaman dengan Gibran yang serius.

Gibran Tengil

Jawab atau ada salah satu orangku yang akan kesana

Sha terpaksa menjawab telepon dari pria itu lagi.

"Apa?"

"Berbicaralah dengan nada yang baik. Bagaimanapun sampai kapanpun kau adalah istriku."

Sha mengerutkan keningnya samar. Pria itu kenapa tiba-tiba mencecarnya, "Kenapa kau?"

"Aku melihatmu membersihkan seluruh ruangan. Aku tak mau lagi kau yang melakukannya lagi," ujar pria itu terdengar rendah.

Sha mengerutkan keningnya heran melirik pojok apartemen. Tentu saja pria itu tahu. Dia memasang CCTV lebih di setiap sudut ruangan. Ia baru menyadarinya.

"Bukankah kau pernah bilang jika aku harus membersihkan apartemen agar menjadi istri yang baik?"

Hening.

"Itu dulu. Aku tak mau kau melakukannya lagi. Pikirkanlah anak kita dan kesehatanmu. Jangan sampai kelelahan!"

"Artinya kau ingin aku menjadi istri yang buruk?"

"Bukan begitu. Kau pasti mengerti maksudku."

"Aku akan membawakanmu sup Ibu Hamil."

"Aku tidak mau."

"Kenapa?"

"Aku sedang tak berselera makan."

"Aku akan segera pulang."

"Apa?"

Tut.

Telepon sudah terlanjur dimatikan. Pria itu memang aneh. Sha menghela nafas kasar. Tak selang beberapa puluh menit suara ketukan pintu apartemen terdengar. Ia tak tahu itu siapa. Yang jelas bukan Gibran karena pria itu punya kartu akses masuk sendiri.

Sha mengintip sedikit dari lubang pintu. Menghela nafas pelan melihat siapa yang ada di balik pintu.

Ceklek.

"Terimakasih."

"Kenapa tidak membuka sendiri?"

"Kedua tanganku penuh. Aku tak bisa membukanya."

Sha menatap kedua kantung yang berisi sedikit barang. Tidak sampai memenuhi tangan pria itu. Well, sebenarnya pria itu hanya ingin istrinya menyambut kepulangannya.

"Aku membawakanmu sup ibu hamil dan bubur kesukaanmu."

Sha menggeleng, "Aku tidak mau. Aku tidak berselera."

"Harus dimakan!"

"Tidak Bran. Jangan memaksa!"

Pria itu menatap istrinya dingin, "Kau harus makan aku tak mau anak kita kekurangan nutrisi."

"Tapi, aku sedang tak ingin makan. Aku hanya ingin istirahat. Aku akan memakannya nanti," ujarnya sebelum berlalu.

Ia lelah jiwa dan raganya dan tak suka dipaksa.

ONE HERZ ✓ (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang