30. Pertemuan tak terduga

763 59 0
                                    

Gilang terdiam memandang ke luar jendela kamarnya. Pagi ini hujan turun dengan derasnya seakan mengetahui bagaimana perasaan Gilang. Perkataan Bram memang benar, dia harus menjadi  sukses agar membantu lebih banyak Ibu dan adik-adiknya. Selama ini Gilang tak pernah memikirkan bagaimana masa depannya akan dituju. Tapi setelah ucapan Bram kemarin dia jadi sadar, dia harus lebih kuat dan menjadi orang yang memiliki kedudukan untuk dihormati orang-orang.

Dunia ini kejam. Gilang pernah merasakannya, bahkan sejak kecil. Gelar memang tak menjamin sebuah kesuksesan, tapi dengan gelar setidaknya membuka pola pikir kita untuk lebih maju. Gilang sudah memutuskan dia akan pergi ke Perancis untuk melanjutkan pendidikannya dan meneruskan perusahaan Bram di sana. Ini sebuah demi Ibu dan adik-adik, yeah demi mereka.

Tok tok

Pintu kamar terbuka menampakkan Yuki yang membawa nampan berisi makanan dan segelas air putih.
"Aku bawain kamu ini," ucapnya sambil menunjukan nampan yang di tangannya. Gilang tersenyum melihatnya, lalu membiarkan Yuki masuk ke dalam kamarnya.

"Kamar kamu rapi banget," kagum Yuki saat melihat kamar Gilang yang bersih dan tertata rapi.

Gilang tersenyum mendengar kekaguman Yuki pada kamarnya, lalu melihat makanan apa yang di bawa Yuki dan menyuapkannya kedalam mulutnya.
"Kamu kenapa bisa sampai bawa makanan kesini buat aku?"tanya Gilang saat makanan di dalam mulutnya telah berhasil dia cerna.

"Aku khawatir sama kamu. Waktu malam kamu cuman makan sedikit, dan pagi ini kamu nggak makan sama sekali. Aku takut nanti kamu sakit," khawatir Yuki.

"Aku nggak papa Yuki. Cuman ada beberapa hal yang lagi aku pikirin,"jawab Gilang.

"Apa yang kamu pikirin?"

"Masa depan aku," jawab Gilang.
"Aku dulu mungkin nggak terlalu mikirin ini, tapi semakin kesini aku harus mulai menyusun masa depan aku. Om Bram bilang sama aku, ada perusahaan di Perancis yang harus diurus, dan dia kasih percayaan aku buat ngurus itu," lanjutnya bercerita.

Yuki hanya terdiam mendengar ucapan Gilang dan tak menanggapi apapun.

"Sebentar lagi aku akan tamat sekolah, dan aku akan melanjutkan pendidikan ke salah satu universitas di Perancis," ungkap Gilang.

"Kapan?

"Mungkin sekitar sebulan lagi."

"Selamat."

"Selamat?"

"Kamu diberi kesempatan yang besar oleh Om Bram. Dan aku bersyukur kamu tidak melewatkan kesempatan itu begitu saja. Untuk kedepannya kamu pasti akan berjuang lebih keras lagi. Tetap semangat ya Gilang. Kamu boleh istirahat, tapi jangan berfikir untuk menyerah. Kamu menyimpan tanggung jawab yang besar dibanding adik-adik yang lain. Aku harap perjuangan kamu menghasilkan harapan seperti yang kamu mau," ucap Yuki dengan senyumnya.

"Aku beruntung bisa kenal kamu."

"Aku yang nggak beruntung kenal kamu."

"Kenapa?"

"Soal kamu bau. Belum mandi," ejek Yuki diakhiri dengan tawa yang keras.

"Enak aja, walaupun belum mandi aku wangi ya!" seru Gilang tak terima dengan perkataan Yuki.

"Bercanda Gilang," kata Yuki mengakhiri tawanya. Tatapan matanya kembali mengelilingi kamar pria itu. Kamar Gilang bisa dibilang sangat rapi untuk seorang pria. Banyak buku yang tersusun rapi di dalam sebuah lemari. Tatapannya terfokus pada salah satu bingkai foto di meja samping lemari itu.

"Ini siapa?"

Gilang terdiam ketika menatap sebuah bingkai foto di tangan Yuki. Dia mengambil bingkai itu, lalu memperhatikan dengan sendu sepasang pria yang ada di dalam foto itu. "Dia sahabatku, Liam," jawabnya.

LABIRINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang