Semua yang berada di ruang rapat terdiam. Frankie tak mengucapkan sepatah katapun, dia hanya terdiam dengan mata yang terus menatap tayangan video dalam proyektor. Tubuhnya kaku, seolah mati rasa. Matanya memanas, seperti ada yang menghantam dirinya bertubi-tubi.
Tidak ada orang tua yang tak merasa kehilangan ketika anaknya meninggal. Seperti apapun sifatnya, kehilangan pasti terasa dalam perasaan mereka, meski tak terlihat dari ekspresi. Karena pada kenyataannya, rela tidak semudah kata.
"Video ini kami ambil dari kamera CCTV mobil yang menghadap secara langsung tempat terjadinya bunuh diri. Dan baru beberapa saat kami menemukan resep dokter terbaru dua hari sebelum kejadian," Alkan menjelaskan, berbicara pada semua orang.
"Seperti yang kalian tahu mendiang Daniel tidak memiliki satupun teman karena gangguan mentalnya. Seminggu sebelum kejadian perusahaan Wellington mengalami penurunan saham. Daniel menjadi salah satu orang yang berusaha mengembalikan harga saham, dan itu juga bertepatan dengan lomba yang akan dia ikuti. Tekanan dari media, sekolah, dan perusahaan membuat Daniel pada akhirnya memutuskan bunuh diri."
Alkan memperlihatkan video lainnya. "Di sini terlihat bahwa Daniel melukai dirinya sendiri menggunakan alat tajam. Delusinya pun sudah sangat parah, dia sudah tidak bisa membedakan mana yang nyata dan tidak."
"Dan malam sebelum kejadian. Daniel diberitakan dianggap gagal menjadi anak seorang ilmuwan yang namannya sudah sangat besar di seluruh dunia. Media banyak memberitakan tentang dirinya," Alkan memberi jeda pada ucapannya, dia menatap sang kepala keluarga Wellington dengan datar. "Dan pada saat itu juga terlibat perselisihan antara Daniel dengan orangtuanya tentang keputusan perpindahan dia di AIS. Mereka bertengkar, dan Daniel menuju AIS bertepatan dengan delusinya yang sudah menguasai pikiran nya."
"Peristiwa bunuh diri itu terekam dengan kamera, bahwa Daniel sedang dikuasai delusinya. Maka dari itu dia akhirnya melakukan bunuh diri." Penjelasan Alkan menimbulkan suara besar tentang dari berbagai opini.
Frankie masih terdiam. Bukti yang ditunjukkan sudah jelas, bagaimana sang anak melakukan bunuh diri. Rasa bersalah hinggap di dirinya. Dia merasa gagal menjadi seorang orangtua. Bahkan selama ini dia memang belum mengenal anaknya lebih dalam.
Karena menjadi orangtua itu tak mudah.
Dengan sekejap seorang Alkan bisa membalikkan situasi. Dari banyaknya tanggapan kontra mengenai kejadian ini, langsung berubah menjadi positif ketika Alkan turun langsung menyelesaikan masalah.
Semua yang menghadiri rapat menjadi semakin yakin menaruh saham mereka di AIS. Alkanio adalah pria yang pintar dan terampil tentang itu, apalagi Andrew yang menjadi ayah dari pria itu. Pada hari itu, lagi-lagi berita tentang AIS muncul. "Alkanio kembali membuat kenaikan harga saham AIS"
*****
Andrew menatap anaknya dengan tajam. Suasana saat itu sangat menegangkan. Suara angin terdengar seolah mengisi kesunyian yang terjadi. Dua orang pria yang mengalir darah Italia itu saling melemparkan tatapan, seolah akan kalah jika mereka berhenti menatap.
Alkan, pria itu. Membalas tatapan ayahnya dengan tersenyum. Tak ada perasaan takut atau terintimidasi dengan tatapan yang diberikan.
"Kau benar-benar merepotkan ku," Andrew menyudahi tatapannya, dan menduduki salah satu kursi di ruangan itu.
Pria itu masih tersenyum, sambil ikut menduduki kursi di depannya.
"Vuoi uccidermi?" tanyanya dengan senyum seperti biasa.Pria yang sudah berumur itu langsung mengangkat kepalanya. Senyumnya langsung terbit dari sudut bibirnya.
"Kau benar. Rasanya aku sangat ingin membunuh anak sialan seperti mu," katanya masih dengan senyum di bibirnya, "tapi istriku akan sangat terluka jika kehilangan putra sulungnya," lanjutnya sambil menatap mata anaknya dengan tajam."Kau memang seorang yang pengecut, padre¹," Alkan membalik badannya lalu tersenyum sambil menolehkan pandangannya ke belakang.
"Shut your mouth up!"
"Alkan jangan terus menguji kesabaran ayahmu. Tidak kah kau merasa kasihan dengan diriku? Aku sudah sangat lelah menyelesaikan kasus ini," Axton membuka suaranya, "aku tak ingin juga harus mengurus kasus pembunuhan antara ayah dan anak," matanya menatap kedua pria berdarah Italia itu.
Tap
Tap
Suara langkah kaki terdengar cepat mendekati ruangan itu. Pintu langsung terbuka dengan kasar, oleh seorang gadis yang kini sudah dipenuhi keringat.
Gadis berdarah Jepang itu terdiam ketika melihat orang-orang di depannya. Dia jadi merasa kikuk atas tindakan tidak sopan yang dilakukan olehnya.
"Maaf aku mengganggu pembicaraan kalian. Aku akan segera keluar," permintaan maaf Yuki, lalu perlahan melangkahkan kaki keluar dari ruangan itu.
"Ternyata putriku tidak merindukan padrenya," ucapan Andrew menghentikan langkah Yuki. Pria paruh baya itu bangun dari duduknya, lalu berdiri menghadap gadis itu.
Yuki membalikan badannya. Matanya bertatapan langsung dengan mata berwana hijau itu.
"Tidak ingin memeluk padre?" Andrew merentangkan tangannya untuk menerima sebuah pelukan.
Greb
Gadis berdarah Jepang itu langsung masuk dalam pelukan pria yang sudah dia anggap sebagai ayahnya itu. Jika boleh jujur dia sangat merindukan sosok Andrew. Sudah sangat lama dia sudah tidak bertemu dengan pria paruh baya itu.
"Aku sangat merindukan Padre," katanya mempererat pelukan pada ayah kekasihnya itu.
"Padre juga merindukanmu," balas Andrew tak kalah erat memeluk gadis berdarah Jepang, yang sudah dia anggap sebagai anak, lebih dari pada anak kandungnya.
Alkan menatap pemandangan di depannya dengan jengah. Kakinya langsung melangkah, dan memisahkan pelukan kedua orang itu. Hatinya sudah sangat panas jika harus melihat miliknya disentuh orang itu lebih lama lagi.
"Bukankah terlalu lama kalian berpelukan?" Senyumnya berusaha dia pertahankan di sudut bibirnya.
"Kami sedang melepas rindu. Bukankah seharusnya kamu memahami itu?" Andrew membalas dengan senyum yang sama.
Axton hanya menggeleng mendengar sepasang ayah dan anak itu terus beradu mulut. Matanya menatap gadis di depannya. Dia tersenyum ketika tanpa sengaja melakukan kontak mata dengan gadis itu. Axton tentu saja sangat tau dengan siapa dia bertatap. Dia cukup kagum dengan kecantikan yang jauh lebih cantik, dibanding yang sering dia dengar.
"Bukankah ini sudah waktunya pulang? Aku akan pamit lebih dahulu untuk mengistirahatkan tubuhku," pamitnya lalu berjalan menuju pintu, lalu kembali menatap ke belakang dan melemparkan senyum lagi untuk gadis itu. Sekarang dia bisa tenang meninggalkan kedua orang itu.
"Yuki bukankah kamu sudah lama tidak bertemu dengan bunda? Bagaimana jika hari ini kamu berkunjung ke masion?" Andrew mencoba mengajak putrinya.
Yuki mengangguk, setuju. Dia juga sudah sangat merindukan ibu dari kekasihnya itu. "Alkan aku bolehkan main ke mansion hari ini?" tanyanya meminta persetujuan.
Pria itu mengangguk lalu mengusap rambut gadisnya dengan sayang. "Ayo kita na-"
"Yuki bukankah kamu sudah lama tidak menaiki mobil bersama padre? Bagaimana jika kita ke mansion bersama, menggunakan mobil padre," Andrew kembali mengajak. Matanya melirik ke putranya, lalu tersenyum mengejek.
"Alkan aku masih merindukan Padre. tidak apakan jika aku ke mansion bersama dengan padre?" Senyum Yuki mengembang ketika berbicara.
Alkan berusaha mempertahankan senyumnya. Kepalanya manganguk, "kamu hati-hati ya," ucapnya lagi yang dibalas dengan senyuman oleh kekasihnya.
Matanya lalu melihat punggung mereka yang perlahan menghilang, bersama dengan senyumnya yang mulai luntur.
"Quel vecchio deve essere ucciso."
________________,________________
|For you Information 🍁🦋|•Padre¹= Sebutan untuk ayah dalam bahasa Italia.
KAMU SEDANG MEMBACA
LABIRIN
RomanceSemua orang memuja Alkanio. Lelaki berdarah Italia-Indonesia itu, bagaikan seorang dewa yang dilahirkan kembali dalam bentuk manusia. Semua yang ada dalam pria itu sangat sempurna. Jabatannya sebagai pemegang saham terbesar di sekolah, menjadi ketua...