Vinka berdiri mematung. Wajahnya nampak pucat pasi melihat pemandangan yang disajikan di hadapannya. Seumur hidupnya dan selama dia mengabdi pada keluarga Sokolov, tak pernah sekalipun wanita itu melihat pemandangan seaneh ini.
Edzsel berjalan menuju ruang makan, dengan Renggana di dalam gendongannya. Gadis itu benar-benar dibopong selayaknya anak yang sedang bertengger di lengan sang ayah. Tidak ada raut tak nyaman yang ditunjukkan Edzsel, pemuda itu justru terlihat sangat senang dengan semua ini.
Apakah Tuan Muda sudah sembuh?
Pertanyaan itu nyatanya hanya bisa mencapai kerongkongan Vinka tanpa mampu diutarakan.
Terlalu janggal rasanya melihat Edzsel melakukan kontak fisik dengan manusia,- terutama perempuan.
Pria itu begitu lembut memperlakukan Renggana. Bahkan ketika ia mendudukkan gadisnya di atas kursi makan, Edzsel terus memastikan bahwa gadis itu merasa nyaman.
"Aku ingin memberikan seluruh makanan di muka bumi ini untukmu, Sayang. Tapi dokter bilang kau hanya boleh makan bubur sementara ini." pemuda itu duduk di samping Renggana. Menikmati raut wajah yang begitu kelam itu. Sesekali tangannya menyibakkan rambut Renggana yang jatuh menutupi wajahnya.
"Iya."
Setelah pelayan selesai menghidangkan sarapan untuk keduanya, mereka pun dengan sadar diri segera pergi meninggalkan pos tugasnya. Sebab sorot mata Edzsel mengisyaratkan kepada mereka semua untuk menjauhi ruang makan. Kecuali Vinka.
"Aku suapi, ayo buka mulutmu."
"Aku bisa makan sendiri, Ed."
"Aku tahu. Tapi aku ingin menyuapimu, Sayang. Ayo buka mulutmu."
"A-aku malu Ed."
Renggana masih menunduk sambil memilin jarinya. Mencoba mengalihkan pandangan mata kemana pun asalkan bukan pada Edzsel. Mata itu terlalu dalam untuk keberaniannya yang dangkal.
"Aku akan mengantarkanmu pulang setelah kau makan, Nana."
Raut wajah Renggana berubah seketika. Senang. Lega. Karena pada akhirnya Edzsel mau mengalah. Dia menoleh cepat untuk menatap pemuda itu.
"Benar---kah?" suara Renggana hilang. Dia tercekat. Harapan gadis itu lenyap. Karena bukan sebuah kepastian yang dia dapatkan, melainkan pandangan yang sangat dingin dari pemuda yang sedang menatapnya jenuh.
Edzsel bahkan sudah berhenti memainkan rambut Renggana.
Dia hanya duduk dan melihat gadisnya. Benar-benar diam dan tak bersuara.
"Apa sudah selesai, Rob?"
Rob?
Kedua netra Renggana sontak mengitari seluruh ruangan dan berusaha menemukan orang yang baru saja disebut oleh Edzsel. Dia terkejut ketika mendapati pria bertubuh kekar sedang berdiri tegap di pojokan ruangan.
Sejak kapan dia ada di situ?
"Ayo pergi, Sayang."
Edzsel bangkit. Kembali membawa Renggana dalam gendongannya. Memperlakukan gadis kurus itu bagaikan putri raja.
"Mau kemana kita?!" teriakan Renggana bahkan tidak mengusik Edzsel sedikit pun.
"Diam dulu, Sayang. Jika kau bergerak terus, nanti bisa jatuh loh."
"Edzsel ... kau mau membawaku kemana?" suara gadis itu bergetar. Ketakutan menyergapnya secara brutal, tatkala kaki pria yang sedang menggendongnya itu semakin masuk ke dalam lorong yang nampak tak berujung.
Ingatan-ingatan tentang penyekapan yang pernah dilakukan Hadyan terputar secepat kilat di dalam otaknya.
Gadis itu spontan meronta ingin bebas. Mendorong bahu Edzsel dan berteriak-teriak minta dilepaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Don't Escape: Look At Me, Your Devil Angel
Mystery / Thriller"Merindukanku, sayang?" Suara itu. Senyuman iblis itu. Wajah yang tersenyum seolah tak berdosa yang pria itu tunjukkan membuat hati Renggana mendadak berubah menjadi remah roti yang siap hancur kapan saja. "Ba-bagaimana kau bisa ada disini?" "Itukah...