16

6.7K 981 60
                                    

Sepanjang perjalanan dari hotel menuju ke rumah, Angi selalu berada dalam pelukan Papanya, Dimas Bimantara. Dalam hati Dimas, ia mengutuk apa yang Joe akan coba lakukan kepada putrinya. Menjaga Angi selama lebih dari tiga puluh tahun membuat Dimas menjadi begitu over protective. Ia tidak peduli ketika istrinya sibuk mencarikan calon suami untuk Angi. Baginya kebahagiaan Angi adalah yang utama, mau ia menikah atau tidak itu hak Angi untuk memilih. Buat apa menikah namun berakhir dengan perceraian apalagi kehidupannya yang tidak bahagia setelahnya. Lagipula Dimas juga menyadari jika hingga detik ini tidak ada laki-laki yang lebih baik daripada almarhum Raja dan pantas mendampingi Angi untuk menjadi pasangannya, apalagi laki-laki seperti yang ia temui di hotel tadi. Tampan juga tidak, apalagi memiliki moral yang baik.

"Thank you, Pa," kata Angi di sela-sela isakan tangisnya.

Dimas Bimantara hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Ia sedang menata hatinya untuk mewawancarai putri semata wayangnya, namun yang jelas bukan saat ini ketika Angi terlihat terguncang dan shock dengan keadaan yang ada. Bahkan ketika sampai di rumah, Dimas Bimantara langsung mengantarkan Angi menuju ke kamarnya. Saat ia keluar dari kamar sang putri, segera ia meminta istrinya untuk pulang ke rumah, karena mereka harus membicarakan masalah ini berdua secara serius. Ia tidak mau keluarga besar istrinya salah kaprah dengan berita yang beredar kali ini.

***

Angi terbangun dari tidurnya ketika mendengar suara kedua orangtuanya sedang beradu pendapat dari ruang keluarga di lantai satu. Segera ia bangkit berdiri dan keluar dari kamar. Sayup-sayup ia mendengar namanya di ungkit oleh orang tuanya.

"Stop untuk memaksa Angi menikah!" Suara Dimas Bimantara terdengar tegas. Bahkan kini ia bangkit berdiri dari sofa yang di duduki.

"Kamu gimana sih, Mas? Kamu bilang takut nggak bisa menjaga Angi sampai tua? Kalo begitu ya Angi harus menikah biar ada yang jaga dia."

"Kita bisa sewa bodyguard untuk dia. Kamu mau tau apa yang terjadi tadi?"

Angi mengintip dari depan kamarnya yang berada di lantai dua.

"Memang tadi siang kenapa?"

"Angi hampir di perkosa oleh laki-laki yang kamu bilang itu pacarnya."

Angi melihat Mamanya shock bahkan kini diam tidak bereaksi apapun, sedangkan sebutir air mata membahasi pipi Angi. Ia segera mengusap air mata tersebut dengan tangannya dan berbalik badan untuk masuk kembali ke kamarnya. Suara Mama dan Papanya masih bisa ia dengar walau kepalanya sudah ditutup menggunakan bantal.

"Aku nggak mau tau. Jangan sampai dia sampai di tempat ini apalagi menemui Angi. Sudah cukup ini pertama dan terakhir kali aku membahas dirinya."

Diwaktu yang sama dan tempat yang berbeda, Joe sedang duduk sambil memutar sebuah gelas kosong. Sudah tidak terhitung berapa banyak botol bir yang ia habiskan sejak Angi pergi dari dari kamarnya bersama Papanya. Joe sudah berusaha menelepon Angi namun yang ada nomer telepon dirinya justru di blokir. Padahal untuk mendapatkan nomer telepon Angi, ia harus memaksa El untuk memberikannya. Mengingat ia berada di tempat yang bukan tempatnya, maka ia harus menjaga perilakunya, walaupun yang ia inginkan kini adalah segera menginjak gas mobilnya dan melajukan mobilnya hingga kekuatan maksimum.

***

Joe membuka matanya ketika merasakan sinar matahari yang menyilaukan mengenai matanya. Segera ia beringsut untuk bangun dari tidurnya yang ternyata gagal membuatnya melupakan masalah kemarin.

"Guten Morgen, Sir*," kata Allan sambil berdiri di samping ranjang Joe. (*Selamat pagi, tuan)

Joe hanya menganggukkan kepalanya dan tersenyum kecil untuk membalas sapaan Allan. Sejujurnya kali ini kepalanya seperti baru saja dipukul dengan martil.

Ich Liebe Dich (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang