70

6.4K 940 38
                                    

Angi memilih duduk di pinggiran ranjang sambil menatap Joe yang sedang berjalan mondar mandir di hadapannya. Sejak tadi Angi memilih diam karena Joe yang sudah mengoceh tentang perilaku kedua orangtuanya yang menurutnya seakan menganggapnya sebagai laki-laki tidak bertanggung jawab. Angi tidak bisa menyalahkan Joe jika pada akhirnya ia tersinggung dengan pemikiran kedua orangtuanya yang sedikit takut jika Joe akan lalai akan tanggung jawab serta tugasnya sebagai seorang suami dan kepala keluarga. Di lain sisi juga Angi tidak bisa menyalahkan kedua orangtuanya karena ia yang notabennya adalah seorang anak tunggal tentunya tidak akan dilepaskan semudah itu oleh orangtuanya. Sampai detik ini saja, sang Mama masih terus membujuknya agar tinggal di Indonesia walau Angi sudah terang-terangan menolak usul itu karena ia akan tinggal mengikuti suaminya di Jerman. Jika pada akhirnya tidak serumah lalu harus terpisah jarak dan waktu buat apa menikah, pikir Angi.

"Aku nggak tau gimana orangtua kamu bisa berpikir seperti itu? Padahal mereka tau demi kamu aku sudah rela berjuang sampai di titik ini. Kenapa mereka masih tidak bisa mempercayai aku?"

Angi memilih diam dan menghela napas panjang. Lebih baik diam agar semua cepat berakhir pikir Angi. Joe yang sedang meledak ledak ini tentunya sedang tidak bisa ia ajak berdiskusi serta berbicara dengan baik. Biarlah Joe menumpahkan semua yang ia rasakan terlebih dahulu hingga puas baru Angi akan menanggapi nanti.

"Ngi? Kamu jangan diam saja."

Dengan berat hati, akhirnya Angi membuka mulutnya.

"Joe, aku dengerin kamu sampai kamu selesai dulu. Nanti akan aku tanggapi kalo kamu sudah selesai."

"Kamu beneran dengerin?"

"Iya, Joe. Kamu kira dari tadi aku ngapain duduk di sini sambil lihat kamu mondar mandir di depan aku?"

Joe menelan salivanya ketika mendengar jawaban Angi yang terdengar sabar dalam menghadapi situasi ini.

"Aku sudah selesai."

Angi hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

"Okay, kalo begitu duduk sini di sebelah aku." Angi menepuk pelan sisi ranjang sebelahnya dan meminta Joe untuk duduk di sana.

Setelah Joe duduk di sebelahnya, Angi segera merubah posisi duduknya untuk menghadap ke arah Angi.

"Joe?"

"Hmm?"

"Aku paham kenapa kamu merasa seperti ini. Tapi di sisi lain aku juga bisa memahami kenapa Mama sama Papa sampai berpikir seperti ini."

Joe masih diam sambil menatap Angi yang ternyata juga fokus menatap matanya.

"Di mana-mana begitulah orangtua ketika anak gadisnya menikah apalagi aku ini anak mereka satu-satunya. Mereka takut aku memiliki kehidupan di bawah standart yang telah mereka berikan selama ini. Mereka memiliki ketakutan bahwa aku akan hidup menderita ketika jauh dari mereka kelak. Hal seperti wajar dirasakan oleh para orangtua."

"Angi, kamu tau 'kan aku masih mampu memberi nafkah kamu dengan layak?"

Angi menganggukkan kepalanya lagi.

"Aku yakin kamu mampu, Joe. Dan sebaiknya kita tidak perlu membahas masalah ini lagi. Karena aku juga sudah menolak keinginan Mama sama Papa. Aku memilih untuk ikut kamu di manapun kamu akan tinggal dan menetap. Hidup dalam kelimpahan ataupun kekurangan aku akan dampingi kamu selagi kamu tidak melakukan tiga hal."

"Tidak melakukan apa?"

"Berselingkuh, melakukan kekerasan dan tentunya kamu jangan menjadi laki-laki pemalas."

"Aku nggak akan melakukan kekerasan sama kamu selain di atas ranjang. Itupun aku pastikan saat aku melakukannya, kamu akan melenguh nikmat bukan menangis karena kesakitan."

Ich Liebe Dich (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang