49

4.7K 903 32
                                    

Joe mengamati burung perkutut milik Dimas Bimantara yang ada di belakang rumah. Ia masih tidak paham apa yang spesial dari burung ini. Mungkin ia tidak akan heran jika yang dipelihara oleh Papa Angi adalah burung Macau, burung hantu atau burung apapun yang lebih cantik dari burung ini.

"Joe?" Panggil Angi dari belakang tubuh Joe yang membuat Joe membalikkannya badannya.

Joe memilih diam dan memperhatikan Angi yang sore ini hanya mengenakan rok jeans dan kaos berlengan pendek, wajah tanpa make up dan rambut di kuncir kuda. Jauh dari kesan glamour apalagi menggairahkan sebagai seorang wanita.

"Hmm?"

"Bisa kita bicara sebentar?"

Melihat Joe yang hanya menganggukkan kepalanya, Angi segera berjalan menuju ke gazebo yang ada di pinggir kolam renang rumah orangtuanya. Ia sengaja duduk di sana sambil menunggu Joe duduk di sebelahnya. Kini saat Joe sudah duduk, Angi segera membuka percakapan itu lagi.

"Joe?"

"Hmm."

"Kamu marah karena aku ngajak kamu ziarah ke makam raja?"

Joe menghela napasnya dan ia menggelengkan kepalanya. "Aku nggak marah ke kamu, Ngi. Aku cuma kecewa."

Kini Angi justru mengernyitkan keningnya ketika mendengar penuturan Joe.

"Kecewa?"

"Iya. Kalo kamu menggunakan tameng ziarah kubur ke makam Raja untuk mengingat kematian, bukankah itu salah satu bukti kalo kamu belum bisa melupakan dia."

"Kok gitu, Joe?"

"Keluarga kamu yang sudah meninggal 'kan banyak, kenapa malah dia yang kamu pilih?"

Angi memilih diam dan menelan ludahnya. Skakmat. Joe benar-benar bisa membuatnya mati kutu seperti ini.

"Karena makam dia paling dekat dari rumah. Kalo mau ke makam keluarga aku dari Papa lokasinya ada di Solo."

Joe menghela napasnya. "Kalo gitu ke Solo aja."

Angi menghela napas panjang dan kini ia menganggukkan kepalanya. Melihat Angi yang lebih memilih mengalah, Joe segera bangkit dari posisi duduknya dan segera ia kembali masuk ke dalam rumah. Hari ini pekerjaannya cukup banyak. Setelah ia mengecek gerobak angkringan yang ia pesan dari pengrajin di Kabupaten Bantul, ia juga mencari perintilan-perintilan kelengkapan angkringan bersama Adam.

***

Pagi ini Angi sudah bersiap siap di balik kemudi mobil sedan hitamnya. Di sampingnya Joe sudah duduk dengan manisnya. Bahkan di belakang mereka ada Adam yang sudah mengintili Angi hari ini. Angi masih tidak paham, kenapa Joe mengajak Adam turut serta dalam ziarah makam kali ini.

"Nyet?" Panggil Angi pelan.

"Iya, Sayangku. Ada apa?"

"Kira-kira kalo Lo aja yang nyetir gimana?"

"Nggak mau dong, 'kan gue cuma di ajakin sama Joe. Katanya dia nggak mau pergi berdua doang sama Lo. Takut banyak setannya katanya."

Angi memutar kedua bola matanya dan kini tanpa menjawab Adam, Angi segera tancap gas dari halaman rumahnya. Selama perjalanan Angi memilih diam sambil mendengarkan Joe dan Adam yang mengobrol laksana ia tidak ada di tempat ini.

"Joe, kalo mau bagus besok para karyawannya suruh pakai batik kas Indonesia aja. Syukur-syukur atasannya pakai lurik terus kasih blangkon."

"Apa nggak ribet?"

"Ya resiko dong, mana ada kerja enak duitnya banyak kalo bukan ternak tuyul?"

"Itu nambah lagi biaya kita."

"Nggak banyak, tenang aja nanti habis dari ziarah kubur kita mampir pasar Klewer ya. Belanja batik dan perlengkapannya."

"Iya, terserah kamu asal kamu yang bayarin."

Angi memilih diam ketika mendengar dua laki-laki penting di hidupnya ini mengobrol hingga akhirnya ia tiba di daerah makam keluarga Bimantara yang ada di daerah Sukoharjo. Kini Adam dan Joe mengikuti Angi masuk ke makam hingga akhirnya mereka tiba di depan beberapa nisan besar yang cukup terawat.

"Assalamualaikum, Eyang." Sapa Angi saat ia berhenti di depan makam itu.

Kemudian ia mengajak Adam dan Joe untuk segera melantunkan beberapa surat yang ada di buku Yasin. Joe masih cukup kesulitan untuk mengikuti serta melafalkan kalimat-kalimat itu. Sepertinya ia harus segera mencari guru mengaji. Hampir setengah jam mereka berada di sana hingga Angi mulai membuka mulutnya lagi.

"Eyang, Angi sudah pulang ke Indonesia. Sekarang Angi ke sini sama Joe, calon suami Angi. Semoga nanti kalo Angi ke sini lagi, Angi sudah bawa cicitnya Eyang."

Ya Tuhan,
Kenapa hanya mendengar perkataan Angi ini saja Joe sudah merasa bahagia dan terbang ke awang-awang, padahal yang di ajak Angi berbicara adalah makam dengan batu nisan besar-besar di tempat ini, bukan dirinya.

Tidak lama mereka ada di sana, Adam sudah mengajak Angi dan Joe untuk segera menuju ke Pasar Klewer. Kali ini Angi lebih memilih duduk di kursi penumpang belakang. Bahkan hingga mereka tiba di pasar Klewer, Angi lebih memilih mengikuti Joe dan Adam yang berbelanja. Bahkan ia harus menghela napasnya berkali kali saat mengetahui jika Adam menggelontorkan uangnya cukup banyak hanya untuk membeli kain jarik, beskap, blangkon bahkan sandal selop. Tidak tahan melihat ini semua, Angi akhirnya membuka mulutnya.

"Nyet, Lo mau buka angkringan atau salon tradisional Jawa?"

Kini Adam hanya tersenyum sambil memandang Angi. "Kalo bisa keduanya kenapa juga harus milih salah satu?"

Kini Angi hanya mengangkat kedua alisnya karena ia cukup shock dengan jawaban adam ini.

"Ngi, akhirnya Lo baru saja memunculkan sebuah ide bisnis baru di kepala gue."

Entah kenapa setiap Adam berkata seperti ini selalu timbul rasa takut di dalam diri Angi.

"Bisnis apa, Nyet?"

"Studio foto dengan tema khas pakaian tempo dulu. Untuk sementara sih pakaian Jawa jadul dulu, ya. Nanti kita kembangin kalo udah mulai kelihatan hasilnya."

Angi masih diam sambil menatap Adam dengan pandangan tak percaya. Bahkan Adam sudah mendorongnya untuk mulai berjalan lagi. Kini Angi hanya bisa pasrah, kala Adam mulai membeli kain kebaya jadul beserta berbagai pernak perniknya. Ada sanggul Jawa beserta pernak pernak hiasan pengantin juga ia beli.

"Nyet Lo mau bikin studio di mana?"

"Ya di rumah Joe-lah yang gratisan."

"Fotografernya siapa?"

"Joe dong. Dia harus kursus sama Mas Ervin selagi di sini."

Joe hanya mengedipkan mata beberapa kali. Apa ia tidak salah dengar? Kemarin Adam memintanya membuka bisnis angkringan, belum juga berjalan, Adam sudah meminta dibuatkan studio foto. Benar-benar parah saudara sepupu Angi ini.

"Adam, kita lebih baik fokus satu usaha dulu."

"Sssttt, rugi Joe, rugi. Kita sekalian kirim barangnya. Besok kita hunting gebyok, lesung, sepeda ontel, kursi tua dan lainnya di desa-desa. Siapa tau dapat yang lebih murah dan jadi ladang bisnis kita."

Angi dan Joe hanya bisa diam mendengarkan apa yang keluar dari bibir Adam. Joe berfikir apa yang dikatakan Adam ada benarnya juga. Mungkin daripada uang salam tempel khitannya ia gunakan untuk menikahi Angi, lebih baik uang itu ia gunakan untuk memulai usaha bisnis jual beli barang antik. Setidaknya ia bisa memulai menawarkan barang-barang antik itu kepada para rekan bisnisnya dan para investor yang menanamkan modal di bisnis miliknya.

***

Ich Liebe Dich (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang