50

5.1K 895 21
                                    

Terimakasih untuk doa kalian semua teman-teman, mohon maaf tidak bisa membalas satu per satu. Alhamdulillah kondisi kesehatan Mamak sudah mulai membaik. Sekarang kita lanjutkan cerita Joe dan Angi ya.

Selamat membaca teman-teman 😊🙏

***

Selama seminggu ini Joe sudah ikut bersama Adam menjelajah ke banyak desa hanya untuk mencari semua barang yang Adam butuhkan mulai dari kandang sapi gebyok, lesung, bahkan joglo model bongkar pasang. Sambil mencari itu semua, Joe mulai mencoba mempelajari fotografi. Benar kata Ervin kepadanya, bahwa pada akhirnya ia akan jatuh hati pada dunia fotografi. Namun sayangnya bukan untuk memfoto para model yang mengenakan pakaian kurang bahan atau berpose menantang. Joe lebih tertarik kepada objek-objek interaksi para orang-orang yang ia temui selama menjelajahi desa demi desa. Joe begitu senang mengabadikan gambar anak-anak yang bermain di sungai, para lansia yang sedang duduk di depan rumahnya bahkan beberapa orang yang sedang bekerja di sawah. Kehidupan yang aman, tentram dan sepertinya jauh dari hiruk pikuk perkotaan sanggup membuatnya merasa damai. Joe yakin paru-parunya akan sehat sampai tua jika hidup di tempat ini.

"Joe, hasil foto Lo coba deh di ikutin lomba-lomba fotografi gitu."

Mendengar penuturan Adam, Joe hanya bisa menghela napasnya. Adam pikir fotonya sudah pantas di komersilkan hingga layak untuk mengikuti lomba? Padahal masih jauh dari standart layak bagi juri-juri perlombaan fotografi tentunya.

"Ini cuma foto kehidupan biasa, Dam."

"Itu kan versi Lo. Siapa tau aja menang. Rezeki orang nggak ada yang tau. Kalo kamu menang 'kan lumayan hadiahnya buat nambah modal kawinan."

Joe memilih menganggukkan kepalanya dan kini mereka mulai masuk kembali ke mobil. Adam segera melajukan mobilnya menuju ke kantor wedding organizer milik Kaluna guna membahas rencana lamaran Joe dan Angi yang rencananya akan di selenggarakan minggu depan. Mau tidak mau Joe hanya bisa pasrah ketika keluarga Angi meminta cara yang umum di lakukan di keluarga mereka.

"Joe," panggil Adam kepada Joe yang membuat Joe menoleh.

"Apa?"

"Lo jadi nyewa Mama sama Papa gue nggak?"

Joe hanya menghela napasnya dan menganggukkan kepalanya. Ternyata seperti ini rasanya hidup sebatang kara dan tidak memiliki keluarga. Tidak ada orang yang akan membantu dan ikut merasakan apa yang kita rasakan saat hari bahagia kita akan datang. Untung saja Angi memiliki keluarga besar yang bisa memberikan kehangatan serta arti keluarga yang tidak pernah ia rasakan selama hidupnya.

"Jadi." Jawab Joe singkat.

"Oh, nanti gue bilang ke mereka."

"Gratis 'kan?" Tanya Joe yang membuat Adam nyengir di balik kemudi mobilnya.

"Gratislah, tenang aja tapi gue pinjem nama Lo ya buat beli sesuatu di Jerman."

Joe mengernyitkan keningnya. Jika Adam sudah mengatakan sesuatu pasti ada hal tidak lazim yang ingin dia beli. Joe hanya berharap itu bukan hal yang aneh bin ajaib.

"Mau beli apa?"

"Mobil sama rumah."

Joe mengangkat kedua alisnya. Tidak ia sangka jika Adam sebegini kayanya hingga ingin membeli mobil dan rumah di Jerman yang Joe tau harganya tidak tergolong murah. Daripada menanggapi Adam, Joe lebih memilih menyetujuinya saja selama Adam tidak berhutang uang kepadanya.

Di waktu yang sama dan tempat yang berbeda, Angi sedang berdiri di depan makam mantan pacarnya. Ini mungkin adalah terakhir kalinya ia bisa mengunjungi makam Raja sebelum dirinya melangsungkan pernikahan dengan Joe. Sebagai pasangan yang baik, ketika sudah menikah kelak, maka Angi harus mematuhi apa yang Joe katakan. Karena itu kini ia mengunjungi makam Raja tanpa sepengetahuan Joe mumpung Joe belum mengkhitbah dirinya.

"Assalamualaikum, Raja." Sapa Angi dengan ramah lalu ia mulai berjongkok di sebelah makam.

Tanpa membuang banyak waktu, Angi segera mengeluarkan buku Yasin dan ia membacakan isi surat tersebut untuk mantan kekasihnya. Selesai membacakan doa untuk Raja, Angi mencoba menumpahkan apa yang ia rasakan kepada Raja sambil memegang batu nisan yang terbuat dari marmer ini.

"Raja, mungkin ini terakhir kalinya aku bisa mengunjungi makam kamu, karena Joe sepertinya tidak menyukai kalo aku datang ke sini." Kini Angi menarik oksigen sebanyak-banyaknya agar dadanya yang terasa sesak ini bisa kembali lega. Beberapa saat Angi terdiam hingga akhirnya ia melanjutkan kata-katanya lagi. "Walau aku tidak bisa mengunjungi makam kamu lagi, tapi aku akan terus mendoakan kamu dari jauh. Sekarang aku pulang dulu, ya. Assalamualaikum."

Setelah mengatakan itu, Angi segera bangkit untuk berdiri dan ia kembali melanjutkan perjalanannya menuju ke kantor wedding organizer milik kakak sepupunya. Hari ini keluarga dan pihak wedding organizer akan mengadakan pertemuan singkat di kantor Kaluna guna membahas rencana lamarannya yang akan diselenggarakan minggu depan.

***

Kaluna duduk sambil mengamati sang Mama dan adiknya yang sibuk berdiskusi mulai dari apa yang akan mereka kenakan di acara lamaran Angi dan Joe hingga rencana konsep pernikahan yang awalnya akan menandingi mewahnya pernikahan Juna dan Nada, justru berubah menjadi pernikahan sederhana dan private ini. 

"Liz, besok itu pakai konsep internasional aja. 'kan Joe itu bule."

"Aku pinginnya konsep jawa tradisional, Mbak. Nggak usah kebanyakan tamu undangan juga besok."

"Ya bagus juga begitu, tapi gimana sama rekan bisnisnya Dimas yang cukup banyak itu?"

"Ya, nggak usah di undang. Yang penting keluarga kita aja yang hadir sama beberapa teman dekat."

"Jangan gitu. Angi kan anak tunggal kamu sama Dimas, Liz."

"Tapi Luna juga anak pertama Mbak Tika nikahan di KUA tanpa ada pesta-pesta yang mewah, nggak masalah juga 'kan? Yang terpenting itu setelah acara pernikahannya, bukan saat acara pestanya aja."

Kartika menatap adiknya dengan tatapan penuh pertanyaan. Kemarin-kemarin Eliza yang menginginkan pernikahan Angi di selenggarakan secara mewah dan besar besaran, namun kenapa saat ini justru sebaliknya. Hingga akhirnya Kartika ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. "What happened with you?"

"Nggak ada apa-apa, Mbak. Hanya aku sudah nggak mau berdebat sama Angi soal masalah ini. Mas Dimas juga sudah pasrah. Kalo memang Angi maunya sederhana lebih baik kita ikuti saja. Nanti sisa uang budget buat acara resepsi ini, rencananya akan kami berikan sebagai kado pernikahan untuk mereka berdua. Semoga bisa menjadi modal hidup untuk mereka daripada sekedar untuk hura-hura selama beberapa jam."

Kaluna memilih menganggukkan kepalanya dan setuju dengan pendapat sang Tante. Memang benar seharusnya pernikahan tidak perlu terlalu mewah hingga menghabiskannya uang yang banyak. Sejatinya justru setelah menikah pasti kebutuhan akan semakin banyak. Jangan sampai setelah bersenang senang, lantas bercucuran air mata karena hutang di mana-mana hanya untuk sekedar pesta pernikahan dan menjunjung tinggi gengsi.

Tidak lama Kaluna menjadi pendengar percakapan sang Mama dengan Tantenya, akhirnya Angi sudah tiba di tempat ini.

"Assalamualaikum." Sapa Angi yang membuat semua orang di ruangan ini menoleh ke arahnya dan menjawab salamnya.

"Waalaikum salam. Kok baru sampai, Ngi? Kamu dari mana?"

"Dari rumah terus mampir ke makamnya Raja sebentar, baru lanjut ke sini." Jawab Angi sambil berjalan menuju ke sebuah kursi dan menariknya. Kini ia duduk di hadapan sang Mama dan Tantenya.

"Oh, nggak usah bilang sama Joe, Ngi. Nanti jadi masalah lagi kaya kemarin. Sudah, jangan sering-sering ke sana. Mama takut kamu gagal move on dan Joe salah paham lagi."

Angi memilih menganggukkan kepalanya dan kini ia menyapa Kaluna yang duduk di sebelahnya. Hampir satu jam Angi menunggu Adam dan Joe hingga akhirnya mereka datang ke sini. Kali ini hanya mereka berlima yang hadir karena anggota keluarga yang lain memiliki kesibukan yang tidak bisa di tinggal.

Hasil pertemuan kali ini adalah rencana lamaran Joe dan Angi akan di selenggarakan hari Sabtu malam dan hanya di hadiri keluarga dan teman-teman dekat saja. Untuk pernikahan juga akan di selenggarakan selambat lambatnya tiga bulan sejak acara lamaran ini berlangsung.

***

Ich Liebe Dich (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang