Zidan berdecak jengkel, meraih ponsel yang dari kemarin tidak dia pegang.
Kemarin cowo bermarga Gemilang itu disibukan oleh tugas yang Ayah-nya berikan. Menjadi satu-satunya pewaris perusahaan membuat cowo itu harus belajar tentang bisnis dari dini.
"Halo?" Suara Zidan terdengar mengantuk sekali.
"Dan, Maudy meninggal."
Mata Zidan terbuka lebar, cowo itu mendudukan dirinya, mengatur nafas yang tiba-tiba memburu.
"Lo bercanda?"
"Gue gak ada hati buat becandain mati."
Nada bicara Bagus terdengar serius, ini membuat Zidan tak bisa berfikir positif lagi.
"Gue matiin ya, nyokap pingsan."
Bip
Prang
Zidan membanting ponselnya ke dinding, cowo itu lekas beranjak dan mengambil hoodie hitamnya, keluar kamar dengan langkah cepat hendak ke rumah Maudy.
"Zidan, mau kemana?" Tari, Bunda Zidan yang tengah minum bertanya.
"Bun." Zidan menghampiri Tari, memeluk erat malaikatnya itu. "Kata Bagus Maudy meninggal, tapi aku gak percaya."
Tari mengernyit, melepaskan pelukan itu dengan lembut. "Kamu ke rumah Maudy dulu, pastiin bener apa nggak. Jangan mikir macem-macem dulu, oke?"
Tari memang sudah mengetahui fakta akan Maudy.
Zidan mengangguk, cowo itu pamit untuk memastikan.
Jantung Zidan masih belum berdetak normal, nafasnya pun masih terdengar berat. Beberapa kali, cowo itu hendak menabrak pengendara lain karena saking tak fokusnya.
Tak sampai 10 menit Zidan sampai di rumah Maudy. Rumah berlantai dua itu penuh akan orang, ada Rifan cs dan juga sahabat Maudy.
Zidan menghampiri gerombolan itu, Rifan langsung berdiri dan memeluk Zidan.
"Kalian ngapain di sini?" Zidan bertanya lugu.
Rifan menangis, bibirnya bergetar dengan degup jantung yang tak stabil.
"Maudy ninggalin kita Dan, dia pergi."
Amel tiba-tiba tumbang, membuat Juan yang ada di sampingnya segera menggendong dan membawa masuk ke dalam rumah.
"Lo ngeprank gue?" Zidan melepas pelukan itu, bertanya dengan perasaan yang sudah tidak jelas rasanya.
Rifan menggeleng, air mata cowo itu sudah membasahi baju depannya. "Lo ke dalem, Maudy lagi di sholatin."
Zidan segera berlari cepat, memasuki ruang tamu yang sesak akan orang-orang yang tengah sholat. Zidan hendak mendekati meja yang di atasnya terdapat seseorang, yang sudah dibungkus rapih dengan kain kafan.
Seseorang mencegahnya. "Jangan dulu, nunggu orang-orang selesai sholat."
Itu Dimas, kepala keluarga Barganta itu terlihat pucat sekali. Kelopak matanya bengkak dan terdapat lingkaran hitam yang terlihat jelas.
Zidan mengangguk, di dalam hatinya dia terus saja berkata.
"Pasti itu bukan Maudy, iya Maudy gak bakal ninggalin gue."
Hampir lima menit, baru orang-orang selesai menyolati Jenazah.
"kan bukan Maudy, kalo Maudy pasti yang nyolatin banyak."
"Mau bareng om?" Zidan menoleh lantas mengangguk.
"Badannya hancur, hampir separuhnya kebakar, terutama wajahnya. Udah gak bisa dikenali kalo itu Maudy." Dimas membuka kain kafan yang menutupi wajah Maudy.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mendadak Jadi Ukhti
FantasyWarning!! PART TIBA-TIBA KEACAK SENDIRI, JADI BUAT KETIDAKNYAMANANNYA SAYA MOHON MAAF SEBESAR-BESARNYA. Maudy Putri Salsabila salah satu santriwati di Pesantren Al-Hikmah, Jateng. Cewe berparas ayu dengan bulu mata lentiknya. Cewe dengan almamater...