Chapter 17

335 48 3
                                    

Tidak terasa, Erlangga menyelesaikan sebagian besar proses syuting film yang diperankannya. Selama kurang lebih satu bulan, berselingan dengan jadwal lainnya seperti syuting iklan atau melakukan pemotretan. Selama itu pula Akira masih setia mendampinginya, seolah hubungan kerja keduanya bukan berawal dari skandal yang ingin dihindari.

"Hari ini salah satu pihak acara televisi akan datang meliputmu. Katanya stasiun televisi itu juga telah bekerjasama dengan produser film ini untuk mempromosikannya," jelas Antony saat menemani Erlangga yang sedang istirahat makan siang.

Antony dan sebagian besar kru produksi memilih food court dekat lokasi syuting untuk menyantap makan siang. Pilihan menu yang beragam dengan tempat yang sejuk adalah alasan utamanya.

Erlangga mendesah pelan. "Padahal setelah syuting aku langsung ingin pulang dan berbaring," katanya sambil mengingat jadwal syuting yang akan berlangsung sampai sore hari. Jika ditambah wawancara itu, maka dirinya baru bisa pulang setelah hari menjadi gelap.

"Tahanlah. Ini usaha agar promosi film ini berjalan baik," balas Antony memberi semangat.

"Lalu ... kenapa Akira lama sekali memilih makanannya?"

Pandangan Erlangga tertuju pada Akira yang masih mengitari stan yang menjual berbagai makanan.

"Dia pasti pusing memilihnya," balas Antony mulai menikmati mie ayam yang dipesannya tadi.

Pesanan makanan Erlangga berupa nasi padang belum juga datang. Menjadikan pria itu masih fokus melihat gerak-gerik Akira. Pikirannya kemudian teringat tentang pria yang mengantar Akira ke lokasi syuting beberapa kali.

Anehnya, Erlangga mendapati dua pria berbeda yang melakukannya dan dapat ia katakan bahwa kedua pria itu tampak begitu perhatian kepada Akira. Ia penasaran akan identitas kedua pria tersebut, tetapi juga enggan menanyakannya. Takut Akira berpikir dirinya terlalu mencampuri privasi wanita itu.

"Ini nasi padang dan teh hangatnya ya."

Suara wanita membuyarkan lamunan Erlangga. Menyadari makanannya telah disajikan. Tampak pelayan yang membawa nasi padang tersebut sadar akan siapa yang memesannya.

"Terima kasih ya," balas Erlangga sambil tersenyum.

"Iya Mas Erlangga," pekik pelayan itu kegirangan lalu mulai beranjak pergi.

Tidak lama kemudian Akira telah bergabung bersama Antony dan Erlangga sambil membawa nasi bakar.

"Makananmu langsung jadi?" tanya Erlangga heran.

Akira mengambil kursi di sebelah Antony. Berhadapan langsung dengan Erlangga. "Iya, kebetulan mereka memiliki stok." Cukup lama memilih makanan membuatnya haus. Tangannya terulur meraih sebotol air mineral yang telah dipesan sebelumnya oleh Antony. Namun kekuatan tangan Akira tidak sebanding dengan eratnya penutup botol yang berusaha dibukanya.

Mata Erlangga memicing saat melihat kesulitan yang dialami oleh Akira. Ia ikut mengambil botol air mineral tersebut dan dengan sekali putaran, tutupnya berhasil disingkirkan.

"Minum ini," sahut Erlangga menyodorkan air mineral itu ke hadapan Akira.

Akira terkesiap sesaat. Ia tak berkata apapun, kecuali segera melepas dahaga di tenggorokannya. Namun bagian tubuh lainnya malah bereaksi. Dadanya berdebar dengan perasaan campur aduk.

Antony tidak berucap apapun, karena lebih sibuk menikmati mie ayamnya sambil bertukar pesan dengan istrinya. Ia lebih tertarik akan perkembangan anaknya yang rutin dilaporkan jika sedang bekerja di luar.

Makan siang ketiganya berlangsung cukup tenang. Sesekali Antony membahas tentang pekerjaan dan Erlangga kebanyakan hanya menghela napas, seolah ingin mengubah topik pembicaraan. Sedangkan Akira masih mencoba menata perasaan berkecamuk dalam dirinya.

Janji ErlanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang