Chapter 24

336 40 3
                                    

"Jadi kau mau keluar bertemu Dea?"

Takashi mengetuk jarinya di atas meja. Saat ini Akira telah berdiri di hadapannya dengan penampilan yang rapi.

"Iya. Kak Taka kan tahu, sejak Dea menikah aku belum pernah bertemu dengannya lagi," jawab Akira dengan wajah memelas. Ia sebenarnya tidak perlu meminta izin Takashi untuk ke mana pun, selama ini masih di sekitar Kota Jakarta. Namun melihat kakak laki-lakinya itu baru saja bangun dengan secangkir kopi, maka mau tidak mau ia harus jujur dan menceritakan rencananya hari ini.

"Hanya berdua?" selidik Takashi memandang Akira yang diakuinya berdandan seperti biasanya. Minimalis, tanpa memakai sesuatu yang berlebihan.

Akira mengangguk singkat. "Mungkin suaminya akan ikut, tapi aku tidak yakin."

Takashi tidak mempermasalahkan suami Dea yang sudah sepantasnya bisa ikut dalam kegiatan pasangannya, namun ia juga ragu bahwa pria itu akan hadir dalam reuni istrinya bersama sahabatnya.

"Baiklah. Hati-hati di jalan, telepon aku jika butuh dijemput," balas Takashi mengizinkan.

"Tidak perlu repot. Kak Taka bersantai saja di rumah. Aku pergi."

Tanpa berucap apapun, Takashi hanya bisa menatap kepergian Akira yang terlihat bersemangat. Ia bisa saja mengajukan diri untuk mengantarnya, tetapi takut Akira malah menganggapnya berlebihan dan berakhir dibenci adik perempuannya.

Takashi tidak bisa membayangkannya.

Usai bergegas memasuki taksi yang telah dipesannya, Akira langsung berangkat menuju tempat pertemuannya dengan Dea. Ia sengaja berangkat setelah jam kerja. Tidak mau berjibaku dengan para pekerja di jalanan.

Tidak sampai setengah jam, akhirnya Akira sampai di kafe tanpa perlu mengalami drama kemacetan. Begitu masuk, ia sudah menemukan Dea duduk seorang diri pada sudut kafe. Spot favorit mereka dulu.

"Kau sudah memesankanku juga?"

Akira menatap segelas latte di atas meja, berdampingan dengan macchiato favorit Dea, serta tidak melupakan dua potong red velvet kesukaan mereka.

"Tentu saja. Duduklah."

Akira memandang lekat wajah Dea, menjadikan wanita yang ditatap menangkupkan kedua tangan di wajahnya.

"Kenapa menatapku seperti itu? Apa aku kelihatan gemukan?" tanya Dea merasa sedikit malu dengan tatapan Akira saat ini padanya.

"Kau terlihat bahagia. Wajahmu mengatakan semua itu," balas Akira tanpa ragu. Ia turut senang setelah bertemu dan melihat secara langsung seperti itu.

Dea terkekeh. "Makanya kau juga menikah, biar bisa merasakannya."

Akira ikut tertawa, lalu kemudian menangkap sesuatu yang berbeda dari bagaimana Dea memandang saat ini.

"Jangan bilang kau—"

Tiba-tiba tangan Dea terjulur dan menggenggam kedua tangan Akira yang sedari tadi berada di atas meja. Menyela perkataan yang baru saja akan diucapkan oleh Akira.

"Aku harap setelah ini kau tidak akan marah padaku. Tidak juga memutus hubungan denganku dan pastinya, tidak membenciku," ucap Dea dengan wajah serius.

Akira mengembuskan napasnya. Ia tidak tega melihat rasa gelisah dan panik yang mendera Dea saat ini. "Baiklah. Katakan apa itu."

"Aku sudah mendengarnya dari Om Erlang," cicit Dea masih memegang tangan Akira.

Akira terkesiap. Menahan napas, menanti kalimat Dea selanjutnya. Ia sudah menduga bahwa jika bukan dirinya, maka Erlangga yang akan bercerita kepada Dea sendiri.

Janji ErlanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang