Chapter 3

863 77 13
                                    

"Om Erlangga?"

Mata Dea melebar begitu menemukan orang yang memencet bel unit apartemen yang ditempatinya.

"Surprise!" Erlangga mengangkat sebuah paper bag di hadapan Dea.

"Kapan datangnya? Tidak-pulang ke Indonesia?" Dea masih terkejut dengan hadiran sosok Erlangga di depan matanya. Namun segera ia menarik tangan pria itu untuk masuk ke dalam apartemennya. Takut seseorang mungkin mengenali sang paman yang seorang artis.

"Kemarin," jawab Erlangga singkat, lalu beralih menatap serius Dea.

Dea meneguk salivanya, mendapat sorot mata tajam Erlangga. "Ada apa?"

"Kudengar kau akan menikah, lalu tidak memberitahuku?"

Dea menghela napas. "Aku baru akan memberitahu Om Erlang ketika Om Nevan telah membahasnya dengan Nenek Rieta," ungkapnya. "Lamarannya dilakukan mendadak, karena Mas Rivan memiliki banyak jadwal pekerjaan."

Erlangga mengangguk singkat. "Oh jadi namanya Rivan?" Ia kemudian mengumbar senyuman jail. "Apakah kau bucin kepadanya?"

Mata Dea melotot mendengar tuduhan pamannya itu. "Apa? Tidak mungkin! Mas Rivan yang bucin sama Dea." Ia mencebikkan bibirnya, sebelum berpindah ke tas kertas yang masih dipegang oleh Erlangga. "Itu apa?"

"Oh itu untukmu. Ole-ole kepulangan." Erlangga menyerahkan ole-ole yang dimaksud.

Tanpa menunggu waktu, Dea langsung mengambil isinya dan menemukan kotak segi empat. "Parfum?"

"Itu edisi terbatas loh."

Dea memutar matanya. "Baiklah, makasih ole-olenya."

"Baiklah. Aku akan memberimu hadiah lain jadi katakan padaku, kau menginginkan apa?" tanya Erlangga tahu bahwa Dea tidak puas dengan ole-olenya.

Dea berpikir sejenak. "Bagaimana dengan paket liburan bulan madu?"

Erlangga mengulum senyuman tipis. "Oke, aku akan memberikanmu itu sebagai kado pernikahan."

Kali ini Dea tergelak. Padahal dirinya hanya sekadar mengatakannya. Namun ia pun tersenyum karena tahu bahwa Erlangga benar-benar akan mewujudkannya.

"Apa kau sedang sibuk? Mau makan di luar sambil mengobrol?" ajak Erlangga merindukan cerita-cerita Dea, seperti ketika wanita itu datang mengunjunginya di Amerika Serikat.

Dea mengangkat sebelah tangannya. "Tidak perlu."

"Apa?"

"Kebetulan makanan sudah siap," kata Dea dengan senyuman lebar. "Ayo kita makan bersama."

Awalnya Erlangga skeptis dengan ajakan Dea, mendengar dari ibunya bahwa Dea bukan tipikal orang yang bisa memasak. Apalagi menghidangkan makanan kepada orang lain. Namun ketika sampai di meja makan, Erlangga tercengang melihat makan yang telah disajikan. Bukanya hanya dari segi jumlah, tetapi juga penataannya.

"Apa ini?"

Dea menaikkan sebelah alisnya. Mampu membaca raut wajah tak yakin dari pamannya itu. "Apa lagi, tentu saja makanan khas Korea. Pasti Om Erlang jarang mencobanya bukan?"

"Kau yang memasaknya?" tanya Erlangga mulai mengikuti Dea untuk duduk.

"Bahkan jika aku ingin berbohong dengan mengatakan iya, maka Om Erlang pasti tidak akan percaya juga kan?"

"Aku dengar memasak nasi saja kau masih sering menjadikannya bubur. Lalu siapa yang memasak semua makanan ini?" Erlangga masih menatap hidangan di hadapannya. Kelihatannya sangat menggugah seleranya.

Dea bersedekap. "My roommate. Kami bertemu ketika masih magang bersama, lalu memutuskan tinggal bersama bahkan setelah berbeda tempat kerja. Hebat bukan?" pujinya dengan bangga.

Janji ErlanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang