Kini Zeta tengah duduk berhadapan dengan sang kembaran, tepatnya dikantor milik Zio. Butuh perjuangan untuk bisa sampai kesini, lantaran banyak bodyguard yang melarang Zeta untuk masuk. Dengan tangisan dan mohon-mohon akhirnya Zio mau bertemu dengan Zeta.
Sejak 10 menit suasana hening, Zeta sendiri tak tau ingin memulai obrolan dari mana. Zio sendiri hanya sibuk berkutat dengan laptopnya, seolah tak menghiraukan keberadaan Zeta. Diruangan ini terasa sepi, bahkan terlihat menyeramkan, lantaran temboknya berwarna gelap bahkan hiasanya pun warna gelap.
"Bisa kita berbicara?" Akhirnya Zeta lah yang lebih dulu membuka obrolan.
"Hm," dehemnya.
Zeta menghela nafas, dirinya ingin menangis sekarang namun dia sadar ini adalah waktu yang tepat untuk membicarakan semuanya bukan malah menangis.
"Kamu ngak mau kemakam mama papa?" tanya Zeta takut-takut.
"Tidak. Untuk apa saya datang kesana?" jawab Zio datar.
"Mereka tak salah, orang tua mama yang menghasut kamu." Zeta memandang kearah Zio dengan pandangan sendu.
"Mereka lah yang membesarkan saya hingga sekarang. Saya sangat sayang kepada mereka melebihi apapun," sarkasnya.
Bohong sekali jika Zio sayang pada mereka, nyatanya Zio sangat membenci mereka melebihi apapun. Bisa Zio lihat jika Zeta atau lebih tepatnya kembarannya sedang tak baik-baik saja. Pandangan matanya kosong seolah memikirkan sesuatu, Zio bisa mengetahui itu semua lewat ikatan batin antara keduanya.
Disaat dirinya melihat Zeta memangis hatinya sangat sakit, seolah sedang dihantam oleh sesuatu yang tak kasat mata. Gengsinya terlalu besar untuk mengungkapkan semuanya.
"Silahkan anda pergi, jangan membuang waktu saya dengan hal yang tak berguna," sarkasnya.
"Aku akan pergi, terima kasih atas waktunya." Zeta tersenyum paksa.
Zeta berdiri namun saat ingin melangkah tiba-tiba saja pandangannya memburam, ia memejamkan matanya kala pusing menderanya. Zeta berpegang kuat dengan kursi yang sebelumnya ia duduki, pusing semakin menderanya. Zeta seolah tak kuat menopang bobot tubuhnya, kakinya seolah tak ada tulangnya.
Zio hanya diam mengamati gerak-gerik Zeta, dirinya khawatir karena dia hampir limbung namun tak jadi karena dia berpegangan dengan meja kerjanya. Zio mendorong kursinya ke belakang dan bangkit ia pun berlari kearah Zeta yang hampir terjatuh.
Dengan gerakan cepat Zio menahan tubuh Zeta yang hampir menyentuh dinginnya lantai. Bisa dirinya lihat jika mukanya pucat pasi, dan akhirnya dia pingsan. Zio menggendong Zeta dan membawa nya keruang pribadinya yang ada diruangan ini.
****
Zio bolak-balik tak tentu arah didepan pintu ruangannya. Zeta sendiri tengah diperiksa oleh dokter, Zio takut terjadi sesuatu kepada Zeta. Tak lama kemudian dokter pun keluar dari ruangan Zio.
"Gimana keadaan dia?" tanyanya tak sabaran.
"Hanya kelelahan. Pastikan dia istirahat dengan cukup, jangan lupa tebus obatnya." penuturan sang dokter membuat Zio menghela nafas lega.
"Saya permisi," pamit nya, Zio menangguk dan mempersilahkan sang dokter keluar. Lelaki juga menyuruh asistennya untuk menebus resep obat yang diberikan oleh dokter.
Sepeningalan sang dokter, Zio bingung masuk keruangnya atau tidak. Zio hanya ingin memastikan jika keadaan kembarannya baik-baik saja. Setelah berfikir cukup lama, akhirnya ia memutuskan untuk masuk.
Zio menutup pintu perlahan dan menoleh, mendapati Zeta yang tengah tertidur atau sedang pingsan ia sendiri juga tak tau. Zio memandangi wajah Zeta yang nampak pucat. Tak ingin berlama-lama, ia pun pergi dari sana.
****
3 jam kemudian.....
Zeta mengerjapkan matanya pelan, saat kesadarannya sudah seratus persen dirinya menoleh kesegala arah. Dia tak tau berada dimana, ruangan yang ia tempati berwarna gelap. Seingatnya tadi dirinya pingsan, lantas sekarang ia berada dikamar siapa?.
Zeta mencoba bangkit dari tidurnya, dia bersender di tepi ranjang. Tangannya memijat pelan pelipisnya yang nampak pening, Zeta takut disini namun ia tak punya cukup tenaga untuk pergi dari sini.
Ceklek..
Pintu terbuka, Zeta menoleh keasal suara. Munculah Zio, ia menghela nafas lega setidaknya ia berada ditempat kembarannya jadi ia tak perlu khawatir. Bisa dia lihat jika Zio tengah menatap dirinya dengan pandangan datar.
"Sudah pingsanya?" tanyanya.
"Terimakasih sudah mau menolongku," ucap Zeta.
"Jangan senang dulu, saya hanya kasian kepadamu," cueknya.
Zeta menyunggingkan senyum tipis, setidaknya kembarannya itu masih perduli dengan dirinya. Zeta mencoba untuk duduk walaupun sedikit kesusahan, Zeta hanya melihat sekilas ada niatan untuk membantu namun lagi-lagi egonya terlalu tinggi.
"Bisa antarkan aku pulang ke Apart?"
*******
Zeta sudah berada apartment miliknya, ia sempat memohon-mohon supaya Zio mengantarkan dirinya namun beberapa kali ia mendapatkan penolakan. Sampai akhirnya lelaki itu mau mengantarkan dirinya dengan terpaksa, namun Zeta tetap senang sekali bisa satu mobil dengan kembarannya.
Badan Zeta sudah lumayan enak sebab asisten Zio memberikan obat kepadanya dan langsung ia terima karena sang asisten bilang obat itu resep dari dokter.
Zeta kini tengah duduk dikamarnya, tiba-tiba saja HPnya bergetar mendandakan ada panggilan masuk. Zeta mengambil telfon gengam miliknya lalu melihat siapa yang telfon, ternyata Reyasa. Tumben Rey telfon dirinya, pikir Zeta.
"Hallo?" ucap Zeta.
"Zeta, kamu dimana?"
"Aku ada di apartment, ada apa yah?" tanyanya, ia mengenyritkan alisnya bingung mendengar suara Reyasa yang panik.
"Bisa kerumah aku?"
"Emang kenapa?" tanya Zeta balik.
"Kamu kesini aja-"
Tut
Tut
Sambunngan telfon terputus, Zeta juga sebelumnya ia mendengar suara keras seperti barang yang dibanting. Tanpa berlama-lama Zeta mengambil tasnya dan bergegas menuju rumah Reyasa, ia panik sekarang. Zeta juga mendengar suara keributan dari telfon.
Zeta memesan taksi online, dirinya menunggu didepan halte yang tempatnya tak jauh dari apartmentnya. Zeta melihat kearah jam tangannya, kenapa lama sekali taksinya. Perempuan itu bergerak gelisah ditempat duduk nya, tak lama taski yang dirinya pesan sudah datang.
Zeta langsung menaiki taksinya dan menyuruh sang supir untuk mengendarai mobilnya dengan cepat. Didalam mobil Zeta terus mencoba menelfon Reyasa namun nihil, hanya opratror saja yang menjawab. Sebenarnya apa yang terjadi dengan Reyasa?.
Sampailah Zeta dikediaman Manda, ia langsung masuk, saat sampai diruang tamu ia melihat Reyasa yang tengah duduk disofa dengan kedua tangan yang dia gunukan untuk menutup wajahnya.
Zeta bingung kenapa kondisi ruang tamu seperti kapal pecah, barang-barang yang semula rapi kini berantakan. Zeta mendekat kearah Reyasa dan duduk disampingnya, sepertinya Reyasa belum menyadari keberadaan dirinya.
"Rey?" Zeta menepuk pelan pundak Reyasa.
"Eh Zeta." Reyasa terkejut, dia kaget tiba-tiba perempuan itu berada disampingnya.
"Maaf aku lama datangnya," ucap Zeta, Reyasa hanya menanggapi dengan anggukan dan senyum tipis.
"Apa yang sebenarnya terjadi Rey?" tanyanya khawatir apalagi melihat keadaan Rey yang kacau. Reyasa masih menggunakan jas dokter nya dan matanya sembab kemungkinan besar Rey sehabis menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baby Twins From Billionaire [END]
Любовные романы[SEBELUM MEMBACA WAJIB FOLLOW] Bagaimana jadinya jika kamu menemukan anak kembar lusuh dan kotor di pinggir jalan? mengadopsi? atau menaruhnya ke panti asuhan? Jika Zeta menginginkan merawat anak itu, tapi anak yang ia pikir lontang lantung di jalan...