"Maafin Mada, Bang."
***"Huwe.. Bang Eyan!"
Jeffran berusaha untuk mempertahankan senyumnya dihadapan kedua adik kecilnya yang kini sama-sama menangis, Rendi dan Jana. Kedua balita tersebut terlihat seperti ketakutan, terlebih tubuhnya bergetar dan tangisnya masih terdengar.
"Bang Jeff udah di sini, udah ya. Jangan nangis lagi, nanti gak ganteng kayak Abang loh."
Sontak keduanya berhenti. Terlebih Jana yang terobsesi untuk menjadi seperti Jeffran sejak lama.
"Yendi hikss... atut...hikss.."
Kedua rahang Jeffran mengeras, ini tanda buruk. Seumur-umur ia menjadi seorang kakak, tak pernah terlintas di pikirannya sekali pun untuk meninggalkan adik-adik kecilnya ini sendirian di rumah.
"Mas Jeffran? Syukur deh, Mas udah datang."
Jeffran tersenyum ramah pada sosok pria paruh baya yang cukup dikenalinya. Pak Ahmad, ketua RT di komplek perumahannya.
"Terima kasih karena sudah menjaga adik-adik saya, Pak."
"Sudahlah, Mas Jeffran. Saya jadi tidak enak hati jika Mas terus mengucapkan terima kasih. Bukannya, sudah sepatutnya saya melakukan hal tersebut? Tadi saya melihat Dek Rendi dan Dek Jana menangis di luar gerbang, tumben sekali mereka hanya berdua. Jadi saya hampiri, mereka bilang tidak ada orang di rumah dan-"
Jeffran menatap Pak Ahmad penasaran, terlebih ekspresi pria itu nampak berubah menjadi serius.
"Saya lihat Dek Harsa sedang tidak baik-baik saja. Saya mencoba untuk menghubungi Ibu dan Bapak Mahendra, namun tidak ada jawaban. Untungnya ketika saya menghubungi Mas Jeffran, Mas Jeffran langsung menjawab."
***
"Gak ada yang serius, Mada. Alerginya kambuh, tapi gejalanya masih terbilang cukup ringan. Gak perlu khawatir ya, Mbak yakin kok Jeje bakal baik-baik aja."
Mada menghela napasnya lega. Untungnya ada Mbak Tika, saudara sepupunya. Ia bertemu tak sengaja ketika tengah panik membawa Jean ke rumah sakit.
"Oh ya, Mada. Yang lainnya kemana ya? Rendi, Jana sama Harsa, biasanya mereka paling anti kalo dipisahin satu sama lain."
Mada terdiam seketika. Ketiga adiknya, ia meninggalkannya di rumah. Seketika tubuhnya bergetar, ketakutan menyelimuti semua pikirannya. Ia kalut, tentu saja. Mereka masih balita!
"Hey! Mada? Ada apa?"
Mada tersentak, matanya menatap Mba Tika yang menatapnya bingung. Namun seketika ia tersenyum seolah tidak ada yang terjadi.
"Gak apa-apa, Mba. Mada boleh titip Jeje gak ya? Mada harus pulang buat nengok adik-adik. Mada gak apa-apa kan nitip-"
"Udah-udah, Mada balik aja dulu. Mba gak apa-apa kok, nanti Mba minta bantuan perawat di sini buat ikut jagain Jeje juga. Jeje aman sama Mba."
Lantas Mada tersenyum, "Makasih banyak, Mba. Mada nanti langsung balik ke sini." Setelah mengucapkannya, pria remaja itu langsung berlari untuk pulang ke rumah.
Adik-adiknya, ia sudah membuat kesalahan yang sangat besar kepada mereka. Rendi, Jana dan Harsa.
Ya, Harsa.
"Mada bodoh!"
Di sepanjang perjalanannya, pria itu terus saja merutuki kebodohannya itu. Ia memelankan langkahnya, masih dengan tubuhnya yang bergetar hingga ia memasuki angkutan umum yang melaju melewati rumahnya. Perasaannya kalut, ia tidak dapat berpikir jernih. Bayangan akan suara tangisan ketiga adiknya mendadak memenuhi pemikiran negatifnya.
"Dek, gak apa-apa kan?"
Mada mengangkat kepalanya, seseorang pria paruh baya yang duduk di sampingnya tersenyum padanya.
"Gak apa-apa, Pak. Saya cuma cemas."
Remaja pria itu mendengar dengan jelas suara helaan napas dari pria paruh baya tersebut. Cukup keras hingga membuatnya menoleh karena penasaran.
"Dulu Ibu saya pernah bilang untuk tetap berpikir dengan tenang ketika sedang panik atau cemas. Jika kita tetap panik, kita cuma bisa memperburuk keadaan, Nak. Semuanya pasti akan baik-baik aja, kamu harus percaya itu."
Jujur, Mada merasa tersindir dengan ucapan si Bapak. Bagaimana bisa ia melupakan ketiga adiknya di rumah. Terlebih ia juga membentak Harsa yang mencoba untuk membantu Jeje menjauhkan kucing dari balita itu.
Mada tersenyum singkat pada si Bapak. Tidak ada percakapan lainnya hingga remaja tersebut turun di tempat tujuannya. Rumah.
"Mada bodoh! Lo bodoh banget Mada!"
Pria itu tetap saja merutuki kebodohannya hingga sampai di depan pintu rumahnya yang terlihat cukup sepi. Rasa cemasnya bertambah dua kali lipat, ia tidak dapat membayangkan kemungkinan terburuk apa yang terjadi pada ketiga adiknya. Semoga tidak akan terjadi apa-apa.
Tangannya yang dingin dan bergetar tersebut berusaha untuk meraih gagang pintu utama.
Cklekk...
Tidak dikunci.
Namun, tubuhnya seketika membeku kala mendapati Jeffran yang kini tengah menggendong Jana yang terlihat masih menangis sesenggukan. Pria itu menatapnya datar, tidak seperti Jeffran yang selalu ia kenali. Abangnya yang paling sabar, Jeffran.
"A-bang Ma-Mada ma-af."
Suaranya mendadak tercekat, terlebih Jeffran yang nampaknya sangat marah kepadanya.
"Kamu tahu, Mada? Kamu ninggalin balita sendirian di rumah. Mereka bahkan belum makan siang, ketakutan dan kebingungan. Kamu beruntung bukan Papa atau Bang Jonas yang dihubungi oleh Pak Ahmad."
Perasaan bersalah kini memenuhi pikirannya.
Remaja pria itu menatap Jeffran dengan kedua matanya yang telah basah dan tubuh yang bergetar hebat. Bagaimana pun, Mada tetaplah remaja yang masih belum dapat melakukan semuanya sendirian.
"Maafin Mada, Bang."
Seketika tangisnya terdengar, bahkan hingga membuat Rendi yang sempat tertidur di samping Harsa terbangun. Balita itu menatap Mada terdiam, ada rasa takut yang menyerang pria kecil itu.
Jeffran tahu jika Mada bersalah, tapi tidak sepenuhnya ia bersalah dalam hal ini. Mada bahkan masih berusia 15 tahun, dan remaja tersebut masih membutuhkan orang dewasa untuk mengawasinya. Jeffran juga paham bagaimana sulitnya Mada membawa Jean sendirian ke rumah sakit. Jeffran paham, jika si kembar ketakutan, Mada mungkin lebih ketakutan dibanding keempat adiknya itu.
Namun Papa dan Bang Jonas tidak akan mau tahu. Kedua pria itu sama-sama keras, tidak ada yang bisa menasihatinya. Mungkin Mada tidak akan baik-baik saja jika Papa atau Bang Jonas yang mengetahui kecerobohannya.
"Abang juga yang salah. Maafin Abang karena gak bisa jaga kalian."
Jeffran memeluk tubuh Mada setelah pria itu sempat menidurkan Jana di kasur yang telah ia persiapkan di ruang tengah untuk si kembar. Ia menepuk-nepuk punggung Mada, mencoba untuk menenangkan adiknya tersebut.
"Bang Mada angan angic! Maapin Yendi udah uwat Abang cucah."
Keduanya terkekeh kala si kembar sulung tersebut memeluk kaki Mada dengan erat. Rendi mungkin tidak mengetahui apa yang terjadi, namun ia mengerti bagaimana caranya untuk meminta maaf meskipun semua yang terjadi bukanlah kesalahannya.
Mada melepaskan pelukannya pada Jeffran, dan berjongkok untuk memeluk Rendi.
"Bang Mada juga minta maaf ya, udah ninggalin kalian dan buat kalian ketakutan."
***
Aaa... kangen rumah, pengin cepet-cepet UAS dan libur aja rasanya TT
KAMU SEDANG MEMBACA
NEBULA | 00L NCT Dream ft. Mark Lee
Fanfic"Bahkan di tempat yang mengerikan seperti Nebula saja, masih tersisa harapan di sana." *** Sejak awal tempatnya berada memang sudah mengerikan bagi mereka yang menjadi bagian dari Keluarga Mahendra. Si sulung Jonas yang tak pernah lepas dari bayang...