CHAPTER 18

38 35 5
                                    

Pastikan sudah vote dan nanti komen yang banyak yaa, ramaikan chapter 18🤩

Selamat membaca😄

_______________________________

“PADAHAL hari minggu. Acara di TV gak ada yang menarik bagi gue.” Rafera akhirnya mematikan televisi, memilih bersandar pada sofa dan sesekali memejamkan matanya.

Dari kejauhan Rania keluar dari dapur dengan membawa lima susun rantang makanan. Sepertinya berisi masakan Rania yang sempat Rafera coba. Dan juga membawa berbagai bahan masakan instan.

“Mau kemana Kak pagi-pagi?” tanya Rafera yang sadar jika Rania sejak tadi mondar-mandir keluar dapur.

“Mau bawain Ibu makanan. Katanya pengen ikan bandeng buatan Kakak tadi.”

Alis Rafera bertautan. “Ibu gak masak?”

“Biasanya masak, tapi katanya bahan masakan di rumah lagi abis. Jadi Kakak masakin aja sekalian bawain bahan masakan.”

“Lah punya duit dari Kakak buat apaan kalau gak dibuat beli bahan masakan.”

“Kamu kayak gak tau sifat Ibu aja.”

Rafera mengangguk mengiyakan ucapan dari Rania yang terakhir. Sangat sesuai dengan realitanya jika sang Ibu dari Sekar itu selalu menggunakan uang dengan cara yang salah. Memilih menghamburkan uang dan selalu bergantung kepada Rania.

“Sekar ikut ya Kak, mau ambil barang yang masih ada di rumah buat besok sekolah.”

“Ya sudah, Kakak tunggu di luar sekalian panasin mobil,” jawab Rania yang diangguki oleh Rafera. Rania mulai keluar dari rumah dan memasuki garasi mobil untuk memanaskan mesin mobil. Sedangkan Rafera, gadis itu menuju kamarnya untuk bersiap-siap.

Di lain tempat. Vano masih berkutat dengan tumpukan buku fisika. Dan juga ada sebuah laptop yang menampilkan berbagai rumus fisika pada layarnya. Catatan serta kertas berisi latihan soal sudah terlihat lusuh dan berserakan di lantai.

Sang Ayah datang untuk melihat anaknya. Ayah Vano membuka pintu kamar Vano yang tertutup namun tidak dikunci. Vano berharap bahwa Ayah nya itu datang membawa cemilan serta minuman dingin untuk menghilangkan rasa jenuhnya, namun hal itu tidak akan pernah terjadi.

Dengan kasar melempar lembaran materi fisika pada papan tombol laptop sang anak. Ayah Vano tetap enggan memasang wajah bersalah. “Pelajari semua, waktu olimpiade sisa dua hari lagi.”

“Iya Pa.” Vano hanya bisa menurut.

“Papa mau kamu mendapatkan juara pertama, karena ini adalah perlombaan terakhir kamu karena sudah kelas dua belas. Jangan menyia-nyiakan apa yang udah Papa lakuin buat kamu. Dan jangan buat Papa malu.”

“Vano gak bisa janji untuk jadi juara Pa. Tapi Vano akan berusaha,” ucap Vano lemah.

“Papa gak mau tau Vano. Bagaimanapun kamu harus bisa juara pertama. Papa malu kalau anak dari profesor kalah dalam olimpiade fisika. Tolong kamu lakukan yang terbaik, karena Papa sudah mengorbankan apapun untuk kamu.”

Vano mengepalkan tangannya dan tersenyum getir, namun suara nya sudah mulai terasa berat dan serak. “Memangnya Papa udah kasih Vano apa? Bukannya Papa cuma suruh Vano menjadi juara agar Papa bisa disanjung orang-orang? Memangnya selama ini Vano minta untuk dikasih apapun sama Papa-”

Plak!

“Puas kamu udah bicara seperti itu sama Papa!”

Vano menyentuh pipinya yang terasa panas. Sebuah tamparan melayang pada pipi kiri nya. Rasa sakit yang berasal dari pipi nya itu tidak sebanding dengan rasa sakit di hati nya.

Untuk Sekar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang