Happy Reading All
🖤
."Jam segini baru pulang? Seragam belum ganti, kalo mau main itu pulang dulu, buat sekedar ganti baju mah."
Elvan mendengar dengan malas akan ucapan papanya, dirinya baru saja pulang dan papa nya langsung menyerbunya dengan berbagai ucapan. Ya bagaimana tidak? Elvan pulang dari rumah tepat pukul 9 malam, mana Elvan masih mengenakan seragam sekolahnya.
"Kamu udah sma, bukan waktunya buat main-main terus. Belajar pentingin, jangan main aja yang dipentingin. Kamu kalo kayak gini terus, motor kamu bisa papa sita lama-lama, dan papa juga akan ngurangin uang jajan kamu."
"Bisa ngga, sekali aja kamu coba kayak Al. Dia penurut, rajin belajarnya, dan apa hasilnya? Al selalu membanggakan. Sedangkan kamu? Kamu berbanding terbalik dengan Al. Ini karena pergaulan kamu yang ngga bener, lebih baik kamu jauhin temen-temen kamu itu. Karena kamu bergaul dengan mereka, kamu jadi susah diatur."
"Papa jangan pernah bawa-bawa temen El lalu ngejelek-jelekkin mereka, mereka ngga ada sangkut pautnya sama ini! Dan papa juga gatau semua tentang El, papa selalu nilai El dibawah Al. Papa ngga bisa maksa anaknya buat apa-apa sama, kita berbeda pah! El bisa ini, belum tentu Al bisa kayak El, begitupun sebaliknya." Kali ini, Elvan berhasil mencurahkan hatinya yang ingin sekali dari dulu ia lontarkan pada papa nya.
"Iya beda, tapi papa seperti ini karena papa ingin yang terbaik untuk kamu! Jika papa tidak keras pada kamu, kamu akan bebas dan kamu jadi tidak ingat akan masa depan! Masa depan kamu ngga boleh rusak!" Balas Rayan-- papanya masih tidak mau kalah.
Elvan mendengus pelan. "Lalu kalo kita mati besok, bagaimana dengan masa depan di dunia ini?"
"Pikiran mu terlalu jauh. Sudah sana kamu segera masuk kamar, belajar biar otakmu terasah."
Bukannya melangkah ke kamar, Elvan malah melangkah ke dapur, dimana ternyata ada mamanya yang ntah sedang membuat apa.
"Mah," panggil Elvan.
"Iyah. Eh sayang.. El udah pulang?? Kenapa belum ganti baju?" Tanya Melita dengan lembut.
"Nanti aja." Elvan membuka kulkas karena ia ingin minum air dingin.
Netranya tak sengaja melihat ke arah makanan yang menarik perhatiannya, puding. Elvan pun mengambil puding yang tersisa itu. Membawa puding itu ke meja makan, lalu dirinya duduk di kursi, setelahnya ia memakan puding itu dengan santai.
"Mama bikin puding kapan? Tumben rasanya lebih enak dari biasanya."
Melita menoleh ke arah Elvan. "Oh itu, itu puding yang dikasih Vania, tetangga baru kita. Kemaren dia kesini sambil ngasih puding. Puding buatannya emang enak banget, tadinya juga itu mau mama abisin, eh tapi keinget sama kamu yang juga suka puding."
Mendengar nama gadis itu disebut, seketika membuat Elvan terhenti memakan puding. Jadi.. puding ini juga dari gadis berkuncir kuda itu? Kenapa hari ini Elvan memakan terus apa yang dari gadis itu?
Ia jadi tidak berserela untuk melanjutkan, tapi tinggal satu suap lagi. Karena nanggung, Elvan terpaksa menghabiskan puding itu.
"Mah, El ke kamar ya." Pamit Elvan.
"Ah iya. Kamu suka kan sama pudingnya? Kalo suka, mama bisa aja nyuruh Vania buat bikinin lagi pudingnya."
"Terserah mama." Sahut Elvan, ia malas jika nama gadis itu disebut lagi.
Melita menggeleng pelan melihat Elvan mulai melangkah menaiki tangga, setelahnya rautnya berubah sendu. "Andai aja Gea masih disini, pasti Gea sama seperti Vania." Lirihnya.
•••Zelvano•••
Elvan menghela nafas panjang setelah memasuki kamarnya, setelahnya ia memasuki kamar mandi dan segera membersihkan tubuhnya.
Setelah selesai mandi, Elvan keluar dari kamar mandi dengan hanya memakai celana pendek dan handuk yang disampirkan di pundaknya, sehingga memperlihatkan perut sixpack nya.
Elvan mengambil kaos nya dalam lemari lalu memakai kaos berwarna hitam tersebut. Elvan mulai menggosok-gosokkan rambutnya yang masih basah itu dengan handuk.
Saat netranya melihat ke arah luar jendela, ternyata hujan mulai turun. Elvan kemudian melangkah mendekat ke arah jendela yang sedikit terbuka oleh gorden. Elvan menyingkap gorden tersebut agar ia bisa melihat dengan jelas yang berada di luar sana.
Netra Elvan terkunci pada rumah berwarna abu-abu, rumah yang berada di sebelah kiri rumah yang berdepanan dengannya. Setiap ia melihat rumah itu, itu selalu mengingatkan dirinya dengan gadis kecilnya. Temen semasa kecilnya yang sering bermain bersamanya juga Alvin. Elvan tidak pernah bisa melupakan teman semasa kecilnya yang sering Elvan sebut 'gadis kecilnya' yang bernama Gea.
Saat Elvan dan Gea berusia 7 tahun, saat diusia itu mereka terpisah. Karena sebuah kecelakaan yang dialami Gea, dimana Elvan melihat jelas gadis kecil itu ditabrak sebuah mobil dan begitu banyaknya darah di tubuh gadis itu. Elvan sampai sekarang tidak tahu dimana keberadaan gadis itu, Elvan tidak tahu apakah gadis itu masih hidup atau.. tidak. Karena setelah kecelakaan itu, keluarga Gea seperti menghilang bak ditelan bumi. Rumah itu tidak pernah ditempati lagi, tidak ada satu pun info yang Elvan tahu tentang keluarga itu. Bahkan orang tuanya saja yang dekat dengan orang tua Gea, juga tidak tahu menahu kemana pergi sahabat nya itu.
Sejak saat itu Elvan menjadi orang yang begitu terpukul karena kehilangan Gea, ia tidak bisa apa-apa karena usia nya yang masih kecil, ia tidak tahu harus berbuat apa. Yang Elvan inginkan sampai sekarang adalah, ingin bertemu dengan gadis kecilnya. Sampai sekarang tidak ada satupun orang yang berhasil membuat Elvan merasakan tertawa bahagia, selain gadis kecil itu. Kehilangan gadis itu, Elvan menjadi orang yang begitu dingin, pendiam, lebih menghabiskan waktu sendiri di kamar.
Namun itu Elvan sebelum mengenal Arven, Aldo dan Bian. Elvan berteman dengan mereka sedikit demi sedikit, Elvan tidak terus menerus memikirkan kejadian yang sudah berlalu itu, namun bukan berarti Elvan bisa melupakan kenangan dirinya dengan gadis itu.
Raut Elvan berubah datar kala dirinya baru sadar, bahwa ada gadis yang tengah melambaikan tangan ke arahnya dengan tersenyum. Gadis itu Vania, Vania tengah berdiri di balkon kamarnya. Vania menampung air hujan yang mengalir itu ke telapak tangannya. Saat Vania melihat ke arah rumah Elvan, Vania melihat Elvan sepertinya tengah melihat dirinya lewat kaca transparan. Vania tak bisa jika tidak bisa baper, tentu Vania baper jika memang benar bahwa Elvan melihat ke arahnya sedari tadi. Vania jadi salah tingkah sendiri.
Sedangkan Elvan mendengus sebal, gadis itu begitu menyebalkan menurutnya, ia masih malu dengan gadis itu karena kepergok yang di kelas tadi. Elvan menutup gorden tersebut lalu melangkah ke arah kasurnya. Merebahkan tubuhnya di kasur king size nya.
"Seharunya Gea yang ada disitu." Gumam Elvan.
"Andai itu Gea, gue bakal rela ujan-ujanan demi nyamperin dia."
•••Zelvano•••
Siapa disini yang dulu punya temen masa kecil yang beda perasaan, eh beda jenis kelamin maksudnya😔
Kalo ada, sekarang masih sering main bareng kah? Atau ada yang lupa sama temen masa kecil sendiri? Udah ngga deket lagi? Or yang lain?
Ayo spam next yang bacanya masih mau lanjuttt➡️➡️
Jangan lupa vote nya juga kalo suka
Terimakasih, see u next chapter yaa
Sudah direvisi ✓
KAMU SEDANG MEMBACA
ZELVANO [selesai]
Teen Fiction𝑰𝒏𝒊 𝒕𝒆𝒏𝒕𝒂𝒏𝒈 𝒑𝒆𝒓𝒋𝒖𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒔𝒆𝒐𝒓𝒂𝒏𝒈, 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒔𝒆𝒎𝒖𝒂 𝒑𝒆𝒓𝒋𝒖𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏𝒏𝒚𝒂 𝒃𝒆𝒓𝒂𝒌𝒉𝒊𝒓 𝒔𝒆𝒎𝒑𝒖𝒓𝒏𝒂. 𝑱𝒊𝒌𝒂 𝒃𝒖𝒌𝒂𝒏 𝒕𝒂𝒌𝒅𝒊𝒓, 𝒂𝒑𝒂 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒌𝒊𝒕𝒂 𝒉𝒂𝒓𝒂𝒑𝒌𝒂𝒏 𝒕𝒊𝒅𝒂𝒌 𝒂𝒌𝒂...