Shena bungkam sejak sampai di apartemennya. Perempuan itu bahkan sering terlarut dalam pikirannya sendiri.
Kini, Shena duduk memeluk kedua lututnya di atas kasur dengan tatapan kosong. Shena tidak menyadari tatapan Edgar yang sedari tadi jatuh padanya. Berdiri di ambang pintu, menatapnya lekat, seolah ikut merasakan apa yang Shena rasakan sekarang.
Laki-laki itu mendekat. Ditanggapi Shena yang masih diam. Tidak bergerak meski merasakan tempat tidur itu bertambah bebannya. "Shen?"
Tubuhnya sedikit melonjak saat Edgar menyentuh bahunya. "Hmm?"
"Lo masih makan sekali. Sekarang makan, ya?"
Shena mengangguk. Mengikuti perintah Edgar kemudian bangkit dari duduknya. Berjalan di belakang laki-laki yang sudah mengganti pakaiannya dengan kaus hitam senada dengan celananya selutut. Edgar membawakannya sepiring makanan dan segelas air untuk Shena.
Laki-laki itu menarik kursi di hadapannya. Menumpukan tubuhnya di atas kursi kayu. Menemani Shena sampai perempuan itu menghabiskan makanannya.
Shena menjeda suapannya, matanya berpindah ke jendela di sampingnya. Langit sudah hitam pegam. Tidak ada penghias seperti biasanya, hanya mendung yang melintas.
"Tell me what happened, I'm all ears."
Shena benar-benar memungkasi suapannya. Ia membalas tatapan lekat itu, menunduk sebentar, "I can't," ujarnya seraya menggeleng lemah.
Ia tidak mampu bercerita. Rasanya sulit membuka suara. Akan sama halnya membuat Shena terus mengunci kejadian itu berada di otaknya.
Selama hampir setengah jam Edgar masih membiarkan Shena diam. Sampai ia berujar kembali, "Oke, udah malem, lo perlu istirahat."
Shena berjalan menuju kamar mandi. Kebiasaannya sebelum tidur tetap berjalan dan Edgar membiarkannya selama Shena tidak berbuat hal-hal nekat. Ia akan memberi banyak ruang bagi Shena agar merasa lebih tenang. Setidaknya ia akan selalu ada saat Shena membutuhkannya.
Perempuan itu menahan kepergiannya ketika hendak bangkit dari tempat tidur, "Please, stay here ...."
Entah setengah atau sepenuhnya sadar Shena meminta itu kepada Edgar. Mata perempuan itu hampir memejam. Bahkan masih harus dipaksa terbuka lebar. Shena menggeser tubuhnya, ia kembali berkata, "I need you."
Edgar pun bersedia menemani Shena, setidaknya sampai ia terlelap. Laki-laki itu kemudian mengatur posisinya di samping Shena. Tangan kirinya terangkat, menerima pelukan Shena dari samping. Sesekali mengusap-usap rambut Shena. Mencoba memberikan rasa aman yang Shena butuhkan.
Pelukan Shena mengendur. Seperti tarikan napas yang teratur menandakan perempuan itu sudah terlelap. Edgar mengambil ponselnya dari atas nakas. Merasa perlu mengabari Tamara.
"Ma, Edgar nggak pulang. Ini lagi sama Shena. She's in trouble."
"Tapi Shena sekarang baik-baik aja, 'kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
STALEMATE
Romantizm⚠️Harsh words, physical and psychological violence, verbal abuse, and some parts have adult scenes. Only recommended for readers 17 years and up⚠️ Apakah sebuah pengkhianatan masih bisa dimaafkan? Pertanyaan yang selalu menjadi bumerang ketika Edgar...