Alvin lebih banyak diam di kamarnya setelah mengungkapkan apa yang selama ini ia lakukan, rasa malu yang kian lama menjadi emosi bagi seorang Alvin seperti sudah menjadi kebiasaan, mengingat dulu ia adalah seorang buronan polisi namun keluarganya selalu menutup kasus pembunuhan itu rapat-rapat.
"Nak... makan dulu," panggil bu Berlin.
"Suapin, ma. Piringnya bawa ke sini." Jawab Alvin singkat, seperti yang sering ia lakukan.
"Anak mama kenapa lagi? Lagi ada masalah sama Rea?"
Alvin menghembuskan nafasnya kasar lalu wajahnya mulai menghadap ke wanita yang kini sedang memegang piring.
"Hmm?"
"A-alvin, nyeritain semua kesalahan-kesalahan Alvin ke Rea, ma,"
"A-apa!?"
Melihat ekspresi terkejut itu pun lantas Alvin memeluk tubuh wanita di hadapannya dan menangis sejadi-jadinya. "M-maafin Alvin, ma!"
Bu berlin hanya bisa diam mematung lalu mengelus lembut puncak kepala putranya. "Gakpapa, lain kali jaga nama baik keluarga Anggara ya. Jangan sampai nama keluarga kita tercoret di lingkungan sekitar, apa lagi kamu juga ketua geng,"
Alvin mengangguk lalu berkata. "Anakmu bodoh banget ya, ma. Sampai gara-gara satu cewek emosi Alvin jadi gak bisa ke kontrol kayak gini," ujar cowok itu masih memeluk tubuh ibunya.
"Kamu gak jahat sayang... emang udah takdirnya mau diapain lagi, mama juga gak bisa ngerubah kamu, mau sebanyak apa pun pengobatan yang kamu jalani selama ini, kalo bukan kamu sendiri yang punya tekad buat sembuh itu mustahil."
"Alvin janji bakalan sembuh, demi mama sama cinta terakhir Alvin,"
"Nah gitu dong, baru kebanggaan geng Crystal," bu Berlin menaikkan dagu Alvin dengan tangannya lalu mencubit pipi cowok itu dengan gemas.
"Sakit et dah,"
"Yaudah makan dulu gih, habisin jangan mubadzir."
Alvin mengangguk lalu memakan suapan dari ibunya dengan lahap.
Beruntung ia memiliki ibu sepengertian bu Berlin serta ayah sebaik pak Dirga, ia tidak tahu apa jadinya jika tidak ada kedua orang itu ketika emosinya sedang meluap... terutama Reza yang selalu ada untuknya."Mah, Alesha gak disuapin?" Tanya gadis kecil dari depan pintu kamar Alvin.
"Lah lupa kalo punya anak perawan juga, yaudah sini gih makan bareng sama bang Alvin." Ujar bu Berlin kemudian disusul oleh Alesha yang mulai beranjak menaiki ranjang saudaranya.
"Bang Alvin nangis?" Tanya Alesha polos.
"Nggak, cuma kelilipan." Elak Alvin.
Perlahan jari-jemari mungil milik Alesha mulai terangkat lalu mengusap air mata yang belum kering di pipi saudaranya.
"gak boleh cengeng... Alesha jadi ikut sedih kalo liat bang Alvin nangis kayak gini."
Perlahan Alvin mencetak senyuman di bibirnya lalu mengusap puncak kepala adiknya dengan lembut.
"Suatu saat kalo lo punya masalah jangan jadi kayak gue ya, Sha. Rasanya sakit, sakit banget,"
"Gue gak bakal jadi kayak lo, tapi gue bakal ngambil pelajaran dari kisah yang lo alami selama ini." Ujar gadis itu lalu memeluk tubuh kekar di hadapannya.
"Lo harus kuat ya, maafin gue udah bikin nama baik keluarga Anggara jadi jelek, tapi gue janji bakal ngejagain lo di mana pun lo berada,"
"Maksud lo?"
Alvin melepas pelukan Alesha lalu berusaha menjelaskan. "Gue takut kalo suatu saat bakal ada pihak yang masih gak terima atas kasus pembunuhan yang dulu gue lakuin ke beberapa anggota Crystal, gue takut mereka ngebales dendamnya ke salah satu dari keluarga kita,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Alvin Anggara.
Ficção AdolescenteTentang seorang ketua geng motor yang belum bisa melupakan mantan kekasihnya, namun anehnya ia bisa diluluhkan oleh gadis sederhana pindahan dari desa. •••• Alvin dan Rea adalah sepasang kekasih baru yang mempunyai teka-teki dalam hidupnya masing...