26b. Korban Lagi (2)

267 65 4
                                    


Sayang, sebelum Deka sempat bereaksi, Simpei dan Pandih telah memasuki bedeng. Urai cepat-cepat memalingkan wajah. Sedangkan Deka menggeser tubuh menjauhi Urai. Ia takut pipinya disosor lagi di depan semua orang.

Simpei dan Pandih memeriksa perbekalan mereka. Empat pucuk senapan dirampas Marsose saat penyergapan tadi. Satu peti amunisi juga diambil Marsose saat mereka menggeledah sampan. Yang tersisa hanya tempayan beras, segunduk keladi dan ubi, satu lanjung berisi wadi dan ikan asin, serta sekotak baju. Beruntung mereka menyembunyikan beberapa peluru dan granat di sebuah sudut lantai sehingga tidak terdeteksi para Marsose itu.

"Sial!" geram Simpei. "Apa bisa dibuat dengan persenjataan seperti ini!"

"Masih ada tiga granat. Cukup untuk meledakkan ketel uap kapal Belanda dan mengacaukan para Marsose. Selebihnya, kita bisa menyerang mereka dengan panah dan sumpitan," usul Pandih.

Kegarangan di wajah Simpei mereda. Usul Pandih itu masuk akal. "Kalau begitu, kita harus mengumpulkan banyak orang untuk memanah dan memakai sumpitan."

Sesaat kemudian, Simpei baru menyadari Tilung tidak ikut masuk ke bedeng. Dicarinya sang teman di buritan. Di sana, ia menemukan Tilung duduk bersandar dinding kapal. Wajahnya pucat dan napasnya terengah. Tangannya menekan bagian pinggang kiri yang tampak berdarah.

"Tilung, kamu kenapa?" Simpei dan Pandih berjongkok di samping Tilung untuk memeriksanya. Simpei menarik tangan Tilung yang menekan perut. Begitu terangkat, darah meleleh dari luka bundar di dekat pinggul kiri.

"Kak Simpei, aku kena ...," ucap Tilung lirih. Detik berikutnya, ia ambruk di lantai, tak sadarkan diri.

Mereka mengangkat Tilung dan membaringkannya di dalam bedeng. Simpei menepuk-nepuk pipi temannya agar tersadar. Tilung mengerang lirih.

"Tilung, bangun! Tahan, tahan! Kita akan mencari pertolongan," ucap Simpei.

Tilung membuka mata. Mulutnya terbuka, namun tidak ada suara yang terucap. Simpei melepas bajunya, lalu memanggil Urai. "Tekan lukanya! Bangunkan dia, jangan sampai tertidur!"

Dengan gugup, Urai meletakkan gumpalan kain itu di atas luka Simpei, lalu menekannya. "Kodeka, tolong minumkan jamu dari Paman Jukung semalam," pintanya pada Deka.

Deka menurut. Diambilnya belanga tempat merebus jamu kemarin, lalu meminumkan beberapa sendok ke mulut Tilung. Lelaki itu berusaha menelan, namun karena air itu terlalu pahit, ia tersedak.

"Kalian berdua, urus dia," kata Simpei. "Pandih dan Jala, kalian dayung secepatnya."

"Kita ke mana?" tanya Pandih sambil meraih dayungnya.

"Masuk ke kelokan di depan itu. Kita singgah di tempat Bue Dohong," sahut Simpei. (Kakek - Dayak Ngaju)

"Siapa dia? Bisakah dipercaya? Kita baru saja ditipu oleh Bapa Andung."

"Dia terhitung paman jauh ibuku," jawab Simpei.

"Bapa Andung dan Alui juga masih saudara dekat, tapi lihat apa yang telah mereka perbuat."

"Kali ini, percayalah padaku. Lagi pula, tidak ada tempat lain yang lebih dekat." Simpei mengangguk yakin dan Pandih pun tidak bertanya lagi. Sampan melaju dalam keheningan. Hanya terdengar suara erangan bercampur racauan Tilung dari dalam bedeng.

☆☆☆

Beberapa waktu kemudian, mereka berhasil mencapai rumah yang dimaksud. Rumah panggung itu termasuk besar, namun bukan berupa betang yang memanjang dan dihuni banyak keluarga. Letaknya terlindung pohon-pohon besar yang tumbuh di tepi sungai, sangat bagus untuk bersembunyi dari pengamatan Marsose.

ANOI 1894 - The Disastrous RitualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang