Deka dan Urai mengawal Jala ke dek belakang. Mereka duduk meleseh sambil menatap langit yang mulai menampakkan gradasi warna jingga. Sore ini begitu indah, namun hati mereka kelam oleh kesedihan. Terutama Jala yang terlihat lemas dan sangat muram.
"Aku kira, Riun-lah benang merahnya. Setelah dia meninggal dengan tenang, portalnya langsung terbuka sehingga aku dan Urai bisa pulang," keluh Deka sambil menatap Jala dengan perasaan geram. "Sekarang aku bingung gimana mencari portal dan gimana membukanya. Ini semua gara-gara ulahmu, tahu!"
Pemuda yang diprotes sudah tidak memiliki semangat untuk menjawab.
"Jala!" tegur Deka karena perkataannya cuma dianggap angin lalu.
"Maaf ...." Hanya satu kata itu meluncur dari mulut Jala.
"Kamu harus bertanggung jawab memulangkan kami! Tunjukkan di mana portalnya!"
Jala menoleh. "Portal? Apa itu?"
"Gerbang ke dunia lain!" jawab Deka dengan ketus.
Jala terlihat berpikir keras, namun kembali menunduk. "Kekuatanku sudah lenyap setelah beras itu habis."
"Hah? Kenapa kamu nggak bilang dari kemarin? Kalau tahu begitu, aku nggak akan menghabiskannya!"
"Aku juga baru tahu kalau pengaruhnya seperti itu setelah berasnya habis."
Deka mendelik. "Loh, lalu siapa yang bisa memulangkan aku dan Urai?"
Jala hanya menggeleng kecil dan itu membuat Deka naik pitam. Rasanya, ia ingin melumat badan pemuda itu dalam mesin gilingan gabah. Sayang, tidak ada mesin seperti itu di sini. Akhirnya, ia terdiam dan duduk lemas bersandar dinding.
Kondisi ini mengingatkan mereka saat dikurung di gubuk Deong. Bila ada yang berubah selain wajah yang semakin kecokelatan terpanggang matahari, pastilah luka-luka mereka yang bertambah. Deka teringat ia harus menjaga Urai. Dengan mengabaikan segudang tanda tanya di dalam benak, ia mengamati Urai dengan saksama. Gadis itu terlihat memelas.
"Rai, kamu lapar nggak?" tanya Deka untuk memecah kebungkaman mereka. Seingatnya, terakhir kali makanan masuk ke perut mereka adalah tadi pagi. Yaitu saat sarapan di hutan dengan nasi dan lauk pemberian istri Salundik.
Urai melengos karena masih sedih memikirkan Riwut. Mulutnya benar-benar kering dan terasa pahit sehingga kehilangan selera makan.
"Kamu harus makan, Rai. Aku carikan sebentar." Deka segera bangkit untuk mencari pengisi perut. Tinggallah Urai berdua saja dengan Jala.
"Kamu ternyata sakti. Tolong, dong, cari di mana Riwut," pinta Urai begitu Deka tidak kelihatan.
"Kekuatanku habis," sahut Jala. Suaranya berat karena beban rasa bersalah. Riwut adalah korban paling tragis dalam tragedi yang diciptakannya.
Urai belum menyerah. "Riwut masih hidup atau sudah meninggal?"
"Aku tidak tahu. Coba tanyakan itu pada Damang Batu. Beliau sangat sakti."
Urai kecewa, namun tidak bisa berbuat apa-apa. "Baiklah, nanti kutanya beliau. Ke mana kamu setelah ini?"
"Aku akan mengikuti Damang Batu."
"Itu berarti kamu akan dihukum. Kamu bisa melarikan diri sekarang."
Jala menggeleng. "Untuk apa? Aku tidak punya tujuan. Lagi pula, aku harus bertanggung jawab atas semua kesalahanku."
"Kalau begitu, bantulah aku dan Kodeka untuk pulang ke masa kami. Aku nggak mau terjebak di sini selamanya."
Jala tidak menjawab dan terlihat semakin lesu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANOI 1894 - The Disastrous Ritual
FantasiUrai tak jera mencari perhatian pemuda pujaan hatinya. Sementara Deka selalu sinis dan sarkastis pada Urai yang menurutnya tukang pembuat onar. Sampai akhirnya sebuah anomali alam membuat kedua insan itu terlempar ke dalam portal gaib. Mendadak, mer...