"Dia terkena upas," ujar pria itu sambil mengoleskan minyak di luka Urai. "Beruntung upasnya tidak keras. Mungkin mereka belum sempat mengoleskannya di senjata beberapa kali," ucapnya. "Kalau tidak, dia pasti sudah meninggal."
"Lantas bagaimana, Paman?" tanya Jala.
Lelaki paruh baya yang mengenakan celana panjang dan rompi kain itu berlari ke jukung-nya, lalu datang lagi membawa keranjang anyaman rotan kecil. Isinya bermacam-macam daun, kulit kayu, dan biji-bijian kering. "Nanti kamu buatkan rebusan daun dan akar-akaran ini. Diminum sehari tiga kali sampai dia pulih."
Deka dan Jala saling pandang. Bagaimana mereka bisa merebus ramuan obat bila panci saja tidak punya?
"Naikkan dia ke sampan kami," ucap salah satu dari empat pria. "Kita akan mencari tempat aman untuk membuat ramuan."
Deka menggendong Urai menaiki sampan yang besar, lalu membaringkannya tikar. Orang-orang lain menyusulnya naik. Jala menyusul paling akhir sambil membawa talawang, panah, dan sumpitan. Mereka mulai mendayung ke arah hulu. Sementara itu, pria paruh baya tadi membawa jukungnya ke hilir. Tidak perlu waktu lama, perahu kayu kecil itu menghilang di kelokan sungai.
Sampan yang dinaiki Deka dan rombongan cukup untuk memuat tujuh orang. Di bawah atapnya, terdapat alas tikar untuk beristirahat. Hanya Deka dan Urai yang duduk di bawah atap. Jala dan keempat pria mendayung sekuat tenaga. Agaknya, mereka ingin pergi secepatnya dari situ untuk menghindari kejaran serdadu Belanda.
"Kalian akan ke mana?" tanya salah seorang yang paling tua di antara keempat orang itu kepada Jala. Lelaki itu masih muda, mungkin baru berusia tiga puluhan. Ia seorang yang tegap dan tampak dihormati oleh ketiga rekannya. Jala yakin, orang itu pemimpin mereka.
"Kami mau ke ...." Jala ragu sejenak. Haruskah ia mengatakan semuanya pada orang tak dikenal? "Saya mau ke Kahayan hulu."
"Kami juga mau ke hulu Kahayan." Lelaki itu mengamati penampilan Jala dan merasa curiga. "Sepertinya, kamu bukan orang Ngaju."
"Saya orang Iban, Paman."
Lelaki Itu semakin keheranan. "Iban? Siapa yang membawamu ke sini?"
"Saya mencari tunangan saya yang diculik orang tak dikenal."
"Lantas, kenapa kalian berurusan dengan Belanda?" tanya orang itu. Matanya memicing penuh selidik.
"Kami tidak sengaja masuk wilayah Belanda, Paman. Betang tempat majikan saya diserang orang Punan. Kami dikejar sampai ke sini."
"Kenapa kalian dikejar orang Punan?"
Jala menggeleng. "Saya tidak tahu. Saya hanya budak."
Keempat orang itu saling pandang. "Buat apa mereka mengejar tiga orang budak kalau sudah mendapat banyak perempuan dan anak-anak dari betang itu?"
Jala kalut. Ia tahu benar dirinyalah penyebab serbuan orang-orang Punan itu. "Paman, kami hanya mencari selamat. Tolonglah, antar kami ke tempat aman agar bisa merawat adik kami," pintanya.
Salah satu pria masuk ke bedeng di tengah sampan. Ia berjongkok mengamati Deka, Urai, dan barang-barang mereka. Tidak ada yang aneh. Hanya mandau biasa, sumpitan, busur dan anak panah, dan dua talawang. Matanya berhenti pada talawang milik Jala. Benda itu berukir indah dan halus, tidak seperti talawang biasa sehingga mengulik rasa ingin tahu. Diambilnya perisai kayu itu, lalu dibawanya kepada pemimpin mereka.
"Kak Simpei, lihat!" ucapnya seraya mengulurkan talawang.
Sang pemimpin mengamati benda pusaka itu sejenak. "Mamak ...?" desahnya. (Paman - Dayak Ngaju)
Lelaki itu beralih menatap tajam pada Jala. "Katakan, siapa pemilik tawalang ini!"
Jala menelan liur. "Namanya Bapa Riwut, atau Deong."
"Deong? Bapa Riwut?" Pria itu membelalak. "Apa yang terjadi padanya?"
"Dia s-sudah meninggal."
"Ya Hatalla!" serunya sambil menengadah. (Ya Tuhan!)
"Lalu Riwut dan Indu Riwut, bagaimana nasibnya? Di mana mereka sekarang?" (Ibu Riwut)
"Tidak tahu, Paman. Saat saya melarikan diri, Riwut sedang bertempur dengan orang-orang Punan itu."
Tanpa terduga, Simpei mencabut mandau dan menghunusnya ke leher Jala. Kontan saja, Jala membeku di tempat.
"Mereka bertempur dan kamu melarikan diri? Kurang ajar!" hardiknya. Disuruhnya Jala berlutut. "Pandih, lemparkan orang ini ke sungai!"
"Simpei, tunggu!" Orang yang dipanggil Pandih mendekatkan mulut ke telinga Simpei. "Dua orang yang di dalam itu sepertinya bukan orang sembarangan," bisiknya.
Simpei mengerutkan kening, lalu pergi ke bedeng melihat Deka dan Urai. Memang benar apa kata Pandih. Sepintas, penampilan keduanya seperti orang Dayak pedalaman. Si perempuan mengenakan tapih layaknya gadis dusun. Si lelaki bahkan mengenakan ewah. Namun wajah, sorot mata, potongan rambut, serta kulit keduanya memancarkan aura yang berbeda. Mungkin saja keduanya akan berguna suatu saat nanti. Ia keluar lagi menemui rekannya.
"Awasi mereka. Kita ke betang Bapa Riwut!" Simpei berpaling ke dua rekan lain. "Alui, Tilung, dayung secepatnya! Suruh dua orang itu ikut mendayung!"
KAMU SEDANG MEMBACA
ANOI 1894 - The Disastrous Ritual
FantasiUrai tak jera mencari perhatian pemuda pujaan hatinya. Sementara Deka selalu sinis dan sarkastis pada Urai yang menurutnya tukang pembuat onar. Sampai akhirnya sebuah anomali alam membuat kedua insan itu terlempar ke dalam portal gaib. Mendadak, mer...