31c. Tangisan di Tengah Malam (3)

241 72 8
                                    


Takut diamuk Deka, Urai menggeser duduknya merapat ke tubuh pemuda itu. Deka segera melingkarkan lengan di tubuh Urai dan menariknya lebih rapat ke dada. Ia juga menyelubungi tubuh mereka dengan kain tapih. Urai menahan napas saking kagetnya. Apakah arti perhatian Deka ini?

"Udah, sekarang tidur." perintah Deka. Walaupun nadanya datar, kalimat itu sampai di hati Urai bak siraman bunga-bunga surga.

Urai meringkuk di dalam selimut kain tapih. Rengkuhan Deka memberi kehangatan yang mengusir rasa dingin dan membuat bulu remang yang tadi berdiri rebah kembali. Tangannya kemudian ditumpangkan di paha Deka. Hatinya pun serasa ikut diletakkan di sana. Bertahun-tahun mendekati Deka, akhirnya lelaki ini membuka diri juga. Tahu-tahu, bahunya berguncang. Air matanya meleleh begitu saja.

"Rai, kamu menangis?" Deka membuka mata karena mendengar isakan dan merasakan bahu yang bergetar.

Urai menggeleng. Tentu saja, Deka tidak percaya. "Kenapa menangis?"

Urai berusaha mengelap matanya dengan kain tapih. "Kodeka, kamu sayang aku?" bisik Urai dengan suara serak. Kalimat itu tercetus begitu saja.

Deka tertegun. Ia harus menjawab apa? Ia tidak yakin perasaannya cukup dalam hingga layak disebut sayang. "Kamu ngomong apa, sih? Katanya tadi menggigil? Aku cuma kasihan sama kamu."

Ucapan itu bagai gempa bumi bagi Urai. Bangunan penuh bunga dalam hatinya roboh berserakan. Ia segera menarik diri dari pelukan Deka, lalu menderap ke pondok. Di tempat itu, tangisnya menjadi.

Deka menyusul ke pondok dan menatap gadis yang sesenggukan itu dengan nanar. "Loh, kok pindah ke situ? Nanti menggigil lagi."

"Jangan pedulikan aku!" lolong Urai, lalu kembali sesenggukan.

Lolongan itu membuat Jala terbangun. Ia menyusul mereka ke pondok. Tadi, suara percakapan Deka dan Urai sempat membuatnya terjaga. Saat tahu mereka berpelukan, ia pura-pura tidak melihat dan akhirnya benar-benar terlelap. Sekarang Urai menangis sambil duduk membelakangi Deka. Ia bisa menduga apa yang terjadi. Bukan hanya sekali Deka membuat Urai kesal.

Jala pun segera menghampiri Urai. "Kamu kenapa?"

"Enggak kenapa-napa!" sembur Urai tanpa menoleh.

Jala berpaling ke Deka. Alisnya terangkat dan matanya melebar. Sangat jelas ia tidak terima. "Pasti kamu lagi gara-garanya!"

Melihat bahasa tubuh Jala, Deka tahu dirinya sedang dimarahi. "Apa? Aku nggak berbuat apa-apa!" bantah Deka walau tidak yakin Jala mengerti perkataannya.

Ternyata, Jala memang tidak mengerti. Ia mendatangi Deka dan mencengkeram lengannya.

"Hei, mau apa kamu?" tanya Deka.

Jala mendelik maksimal. Tanpa ba-bi-bu, diseretnya Deka ke tempat Urai. Sudah pasti, otot tipis lelaki itu tidak bisa menandingi sang penjelajah hutan. Deka pun terpaksa duduk di sisi Urai, namun hanya mematung saja.

"Hei!" tegur Jala sambil memberi isyarat dengan gerakan dagu.

"Apa lagi?" sembur Deka.

"Heeeh!" dengkus Jala. Tangan Deka diraihnya, lalu diletakkan dengan kasar di badan Urai.

Akhirnya, Deka memeluk Urai kembali. Mungkin karena tahu pelukan itu hanya keterpaksaan, Urai menangis semakin keras. Telinga Deka mau tak mau menampung sedu sedannya entah berapa lama. Ia baru bisa lega saat Urai tertidur kelelahan.

_______________

[1] Grinting adalah daging merah yang dicampur dengan garam, lalu dibiarkan setengah kering. Daging menjadi awet, namun teksturnya tetap lembut.

--

Apa Sobat Romantis menemukan hal-hal menarik dalam kisah ini? Jangan ragu untuk klik icon share di bawah ya. Siapa tahu sharingmu membuat seseorang di luar sana berhenti menangis, kembali tersenyum, serta harinya menjadi lebih cerah.😍❤️😍

Mungkin saja, kan?

ANOI 1894 - The Disastrous RitualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang