Berkat usaha keras, akhirnya rombongan kecil Deka berhasil mendarat di tepi hutan yang sepi dan agak gelap.
"Kalian lanjutkan dengan jalan kaki. Tempatnya di dalam hutan sana," kata Nuraini sambil menunjuk sebuah arah di antara batang-batang pohon besar.
"Gimana kamu tahu tempat ini?" tanya Deka.
"Benda ini membawaku ke sini." Nuraini membuka telapak tangan dan memperlihatkan beberapa butir beras ajaib. "Aku mengambilnya dari kamarmu sebelum portal itu terbuka. Aku penasaran karena warnanya biru dan memancarkan energi aneh. Aku mau memperingatkan kamu, tapi nggak sempat."
"Jangan-jangan karena beras ini kamu terseret ke dalam portal."
Nuraini kembali meringis. "Nggak pa-pa, Sayang. Di mana pun kamu, di situ pula aku."
Deka sontak mendelik. "Hei, Nur! Jangan mulai lagi!"
Takut diamuk Deka, Nuraini melayang cepat mendahului mereka. Deka terpaksa mengejarnya agar tidak kehilangan jejak.
Hanya beberapa menit berjalan menembus hutan, mereka menemukan sebuah huma betang. Tempatnya tersembunyi di antara pepohonan besar. Rumah itu memanjang sekitar dua puluh meter dan halamannya dikelilingi pagar kayu. Walau tidak sebesar betang Deong dan usang, rumah itu terlihat hidup karena kesibukan penghuninya. Asap putih mengepul dari salah satu ujung bangunan, kemungkinan besar berasal dari dapur. Aroma daging panggang merebak ke sekitar, menembus indra penciuman ketiga orang itu. Sayup-sayup, suara-suara lelaki tengah berbincang dan tertawa sampai ke telinga mereka.
Berbeda dengan betang Deong yang riuh dengan canda dan pekikan anak-anak, tidak terlihat keberadaan anak kecil di rumah itu. Sebaliknya, bunyi logam yang ditempa menyeruak keheningan hutan. Orang yang terlihat lalu lalang di sekitar halaman pun semuanya laki-laki dewasa.
Sambil berlindung di balik perdu, mereka menelisik keadaan sekitar untuk meyakinkan diri bahwa mereka menemukan rumah yang mereka cari.
"Ssst, itu rumah yang kulihat," bisik Jala pada Urai. "Aku hafal bentuk rumah dan letak pohon durian serta kecapinya."
Urai sebenarnya ingin membisiki Deka, namun setelah teringat kejadian semalam, ia merasa harus menjauhi pemuda itu. Deka pun bingung harus bersikap bagaimana karena takut melukai perasaan Urai lagi.
Lima lelaki berbadan kekar turun dari rumah panggung. Ketiganya bertelanjang dada dan mengenakan ewah. Di tubuh mereka terlihat banyak bekas luka. Garis rahang yang tegas dan bibir tanpa senyum membuat wajah-wajah itu berkesan garang.
"Jala, kenapa perasaanku nggak enak? Mereka seperti bukan orang baik-baik," bisik Urai.
"Aku juga merasa begitu," jawab Jala.
Deka pun merasa aneh. Ia menoleh ke Nuraini yang melayang di sisinya.
"Nur, cepat cari di mana Riun!" perintahnya. Sejak Nuraini terlihat kasat mata, ia tidak merasa perlu menggunakan bahasa batin.
"Cium dulu, Sayangkuh!"
"Nggak lucu! Cepat berangkat!"
Mulut Nuraini memanjang dan membesar nyiru. Arwah centil itu kemudian melayang menuju rumah dan berubah menjadi makhluk tak kasat mata. Tak lama kemudian, ia kembali membawa kabar.
"Ada seorang gadis tinggal di bilik tengah itu, Deka." Telunjuk Nuraini mengarah ke suatu tempat yang terletak di bagian tengah betang.
"Bagaimana kondisinya?"
"Dia baik-baik aja."
Mendengar keterangan Nuraini itu, Deka merasa ada yang ganjil. "Dia nggak sekarat?"
Nuraini menggeleng. "Ih, kamu lebih suka dia sekarat? Dia bisa makan dan minum, bahkan kuat jalan-jalan di dalam rumah."
"Nggak ada luka? Bisa jalan-jalan di dalam rumah? Maksudnya dia nggak disekap, gitu?"
Nuraini kembali menggeleng. "Sama sekali enggak. Dia nggak terlihat seperti tawanan."
Jala yang ikut mendengarkan, terlihat lega. "Riun baik-baik saja?" tanyanya dalam bahasa Ngaju.
"Iya, Pak Dukun. Dia sehat walafiat dan bahagia!" sahut Nuraini dalam bahasa Banjar.
Entah apa yang terjadi, Jala memahami perkataan Nuraini. Bukan itu saja, bahkan Deka yang tidak mengerti bahasa Ngaju, tiba-tiba tahu isi pembicaraan mereka. Atmosfer gaib tempat ini membuat batin mereka menguat sehingga sanggup meretas batasan-batasan fisik, termasuk memahami bahasa.
"Apa maksudnya bahagia?" tanya Deka.
Nuraini mengerling genit. "Dia akan menikah malam ini!"
"Menikah?" Jala, Urai, dan Deka berseru bersamaan.
"Me-menikah dengan siapa?" tanya Jala dengan gugup.
"Dengan pemimpin betang ini. Orangnya masih muda, ganteng lagi. Jauh dari kamu!"
"Aku harus menyelamatkan Riun sekarang juga!" ucap Jala, terlihat semakin gelisah.
"Eh, buat apa diselamatkan? Dia bahagia akan menikah. Lebih baik kita pulang aja ke tempat asal masing-masing karena nggak ada yang perlu kita kerjakan di sini."
"Tidak mungkin. Ini mustahil!" Jala meremas rambut sambil berjalan mondar-mandir seperti setrika. Wajahnya sangat galau.
"Nur, apa yang sebenarnya terjadi di sini?" tanya Deka.
Nuraini menunjuk Jala. "Tanyakan aja padanya."
Dengan keheranan, Deka berpaling ke teman seperjalanannya. Pemuda itu berusaha mengalihkan pandangan dan pura-pura tidak mengerti.
"Kamu nggak ngomong sesuatu, Jala?" tanya Nuraini. "Jangan diam aja, dong!"
Alih-alih menjawab, orang yang ditanya malah mengalihkan pandangan dari mereka.
"Ada apa dengannya?" tanya Deka pada Nuraini. Sikap Jala benar-benar membuatnya paranoid.
Nuraini berkedip penuh arti. "Coba kamu perhatikan baik-baik!" Ia menjentikkan jari di depan mata Deka.
Deka mengerjap. Mata batinnya seketika siaga dan terbuka lebar untuk menerima informasi baru. Saat itulah, ia baru menyadari keberadaan sosok tak kasat mata di dalam tubuh Jala. Bentuknya besar dan memancarkan energi yang kuat. Anehnya, energi itu terasa kasar.
Deka teringat bagaimana mereka melarikan diri dari orang-orang Punan. Ia sempat takjub pada fisik Jala yang sangat kuat. Walaupun habis dipukuli hingga babak belur, pemuda itu masih sanggup mengayuh sampan dengan kecepatan tinggi. Saat dirinya dan Urai terseok berlari di hutan, Jala dengan ringan melesat menembus tetumbuhan tanpa hambatan. Padahal bilur-bilur lukanya belum mengering. Secara ajaib pula, mereka lolos dari serbuan senjata orang Punan dan para Marsose.
Ada satu hal lagi. Bukankah pohon besar itu tumbang pada saat yang sangat tepat? Kini, semua itu masuk akal. Jala pasti memiliki kekuatan batin yang tidak main-main.
"Makhluk apa kamu?" Deka menatap tajam Jala.
"Aku tidak tahu. Aku terlahir seperti ini," jawab Jala lirih.
"Jangan menyembunyikan apa pun! Jelaskan semuanya! Apa yang sebenarnya terjadi di sini?" desak Deka.
Jala membuka mulut sejenak, namun segera terkatup lagi. Agaknya, ia belum sanggup menjawab pertanyaan itu.
Melihat Jala bungkam, Deka mengambil beras ajaib dari kantong. Butiran mungil itu bergetar di telapak tangannya. Atmosfer gaib kawasan ini telah melipatgandakan kekuatan batin hingga ia bisa melihat gambaran samar saat butiran itu tercipta. Dengkusan keras pun tercetus.
"Sial!"
☆☆☆
Jangan lupa memberi bintang dan komen 😊😊😊
Tindakan sepele bagi Pembaca, tapi sangat bermanfaat bagi lapak ini buat menghasilkan karya-karya yang seru.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANOI 1894 - The Disastrous Ritual
FantasíaUrai tak jera mencari perhatian pemuda pujaan hatinya. Sementara Deka selalu sinis dan sarkastis pada Urai yang menurutnya tukang pembuat onar. Sampai akhirnya sebuah anomali alam membuat kedua insan itu terlempar ke dalam portal gaib. Mendadak, mer...