"Tunggu sebentar." Damang Batu masukkan tangan ke dalam tas plastik, lalu mengaduknya. Sesaat kemudian, senyumnya merekah. "Dapat!"
Deka menatap tangan Damang Batu yang menggenggam sesuatu dengan penuh tanda tanya.
"Kamu beruntung. Masih ada sisa beras yang belum mencair," ucap Damang Batu lagi. "Kita harus berangkat sekarang juga!"
"Sekarang?" gumam Deka. "Tapi bulannya belum purnama, Damang."
Damang Batu menggeleng. "Saya hanya dapat menahan beras ini agar tidak mencair dengan menggenggamnya. Saya tidak yakin bisa bertahan lama. Kita harus berangkat sebelum beras ini benar-benar hancur!"
Malam itu juga, Deka, Urai, Jala, Damang Batu, serta seorang anak buahnya turun ke lanting di belakang betang. Bulan masih berbentuk setengah lingkaran, namun karena langit cerah, cahaya putih itu cukup untuk menerangi jalan. Untuk berjaga-jaga, mereka membawa obor.
Menurut Damang Batu, upacara itu harus dilakukan di batang pohon ulin yang sama saat pertama kali dibuat. Sekarang, mereka dalam perjalanan menuju lokasi pohon keramat itu di hutan tak jauh dari tempat kediaman Damang Batu.
Mereka menyusuri sungai ke arah hulu. Riak-riak kecil di permukaan air tertimpa cahaya bulan. Mereka tampak seperti peri-peri cahaya mungil yang menari di atas air.
"Kodeka, Nuraini kok nggak kelihatan?' bisik Urai.
Deka mengedikkan bahu. "Kabur. Aku panggil-panggil nggak muncul juga."
"Yah, terus gimana, dong? Pengaruh nggak ke ritual kepulangan kita?"
"Pengaruh pasti," balas Deka. Ia berusaha santai agar Urai tidak kalut.
Mata Urai kontan membulat dan mengisyaratkan kekhawatiran. Deka berdeham sambil meringis lebar.
"Rai, pengaruhnya adalah kamu nggak punya saingan. Jadi sekarang aku satu-satunya harapanmu."
Mulut Urai kontan manyun. "Nggak kebalikkah? Aku satu-satunya harapanmu?"
"Naaah, itu tepat sekali!"
"Kodeka, aku serius! Gimana nasib Nuraini?"
"Tenang, Rai. Dia bisa minta bantuan Damang Batu bulan purnama depan."
"Tapi beras ajaibnya sudah habis," keluh Urai.
"Kali aja nggak perlu beras ajaib. Dia sudah nggak punya tubuh fisik. Pasti lebih mudah pindah ke alam lain."
Urai percaya dan tidak bertanya lagi. Beberapa saat kemudian, jukung merapat ke tepi sungai. Damang Batu mendahului mereka menaiki tebing sungai untuk mencapai tanah kering. Ia mengalungkan gulungan akar kayu berlengkung tiga di bahu.
Mereka masuk ke hutan. Suasana sekarang sangat gelap karena cahaya rembulan tidak dapat menembus pepohonan yang tinggi dan lebat. Mereka sepenuhnya mengandalkan cahaya obor.
Mereka masuk ke hutan. Suasana sekarang sangat gelap karena cahaya rembulan tidak dapat menembus pepohonan yang tinggi dan lebat. Mereka sepenuhnya mengandalkan cahaya obor.
Jalan yang dilalui berkelok dan tidak rata. Berkali-kali Deka dan Urai tersandung. Belum lagi serangan nyamuk. Beruntung asap kulit kayu gemor cukup ampuh untuk menahannya.
Di suatu tempat, Damang Batu berhenti, lalu mengangkat obor tinggi-tinggi. Tampaklah batang pohon besar. Sepertinya, harus lebih lima orang dewasa merentangkan tangan untuk melingkari batang itu. Sebuah guratan berbentuk talawang tertera di sana.
"Ini dia pohon ulin keramat," ujar Damang Batu. Keningnya langsung berkerut saat tahu kulit pohon itu ditoreh. Jala pun segera dihujani tatapan pedang. "Kamu yang melakukannya? Itu pohon nenek moyang saya! Menyentuhnya pun saya tidak berani!" semburnya.
Pemuda kerempeng itu ketakutan dan langsung berlutut. "Ampun, Damang. Saya bersalah."
"Pantas saja upacaranya kacau. Para leluhur tidak merestuinya!" keluh Damang Batu seraya menancapkan obor di tanah. Jala dan Deka mengikuti, menancapkan obor mereka dengan jarak sekitar dua meter dari obor pertama. Area kecil di dekat kaki pohon itu pun menjadi terang.
"Jala, siapkan gambar talawang-nya," perintah Damang Batu.
Damang Batu membuka genggaman dan menjumput beras, lalu memberikannya kepada Jala. Dengan menggunakan butiran kebiruan itu, Jala membentuk gambar talawang besar di area yang dikelilingi obor. Selanjutnya, sang Damang menaburkan sisa beras ajaib melingkar di sekeliling pohon.
"Duduklah di atas gambar talawang itu," ucap sang Damang.
Urai dan Deka pun mematuhinya tanpa bicara. Mereka duduk berimpitan di atas taburan beras, dikelilingi obor menyala.
Damang Batu mengambil gulungan akar, lalu memutarnya di atas kepala Deka dan Urai. Mantra menyerupai nyanyian dilantunkan sang Damang bersama Jala dan anak buahnya. Gemanya menembus kegelapan malam, membuat getaran gaib yang mengguncang pembatas alam maya. Tabir-tabir gaib itu melemah, menipis, dan akhirnya luruh. Tidak ada pusaran angin atau awan hitam. Tahu-tahu, Deka dan Urai merasakan tubuh mereka terisap ke ruang mahaluas tanpa tepi. Sejenak, mereka melayang-layang di kegelapan yang hampa. Tubuh mereka seperti lumpuh, tidak bisa bergerak. Bahkan bernapas pun tidak. Inikah alam keabadian?
Lantunan mantra Damang Batu masih terdengar sayup-sayup, sampai akhirnya lenyap sama sekali. Bersamaan dengan itu, Deka dan Urai tersedot ke bawah. Tubuh mereka meluncur dengan sangat cepat memasuki terowongan cahaya. Saking cepatnya, alam sekitar hanya tampak sebagai kilasan cahaya. Tubuh mereka mati rasa dan menjadi ringan seperti gumpalan kertas di tengah pusaran angin. Di ujung lorong cahaya, mendadak mereka terempas menghantam alas yang keras.
"Aaaaarrrgh!" Deka dan Urai menjerit bersamaan.
Setelah itu, semuanya gelap.
☆☆☆
Buat yang nanyain pohon, ini ada gambarnya
Kayaknya lebih dari 5 orang dewasa ya, wkwkwk
Sumber: https://www.brilio.net/wow/30-foto-langka-dan-jadul-potret-kehidupan-suku-dayak-di-borneo-keren-160530j.html
KAMU SEDANG MEMBACA
ANOI 1894 - The Disastrous Ritual
FantasíaUrai tak jera mencari perhatian pemuda pujaan hatinya. Sementara Deka selalu sinis dan sarkastis pada Urai yang menurutnya tukang pembuat onar. Sampai akhirnya sebuah anomali alam membuat kedua insan itu terlempar ke dalam portal gaib. Mendadak, mer...