"Kodeka!" panggil Urai begitu melihat wajah junjungannya muncul di depan bedeng. Setelah beristirahat setengah hari, pipinya sudah kembali merah. Rupanya, minyak pemberian paman pemilik jukung tadi sangat mujarab.Deka mendekat dan duduk di sisinya. "Rai, gimana kondisimu?"
"Sudah enakan, Kodeka. Mana makanan buatku?"
Deka memberinya sepotong ubi rebus dan wadi panggang di atas daun. Setelah santapan siang seadanya itu selesai dimakan, Deka mengulurkan tabung bambu berisi rebusan jamu. Urai menenggaknya tanpa protes walau wajahnya mengernyit saat cairan super pahit itu menyapu lidah.
"Pahit, Rai?" tanya Deka.
Urai meringis dan menggeleng. "Kalau minumnya sambil melihat kamu, enggak pahit, kok."
Wajah Deka kontan memanas. Mulutnya gatal, ingin sekali menegur, "Itu omongan dikondisikan ya, Rai!" Sayang, ia sudah telanjur berjanji sehingga yang terucap adalah kalimat bernada lembut, "Jangan bercanda, ya Urai Bungas. Simpan tenagamu, biar cepat sembuh."
Senyum Urai semakin menjadi karena ucapan simpatik itu. "Pasti Kodeka. Aku belum mau mati sebelum kamu lamar."
Deka mendelik. "Oh, ya? Berarti kamu akan jadi makhluk abadi."
"Kamu nggak akan melamarku, begitu maksudnya?" Urai mendelik.
Deka terpaksa mengalah. "Sssst! Tolong dengarkan percakapan orang-orang itu, lalu beritahu aku. Ini penting!"
Urai bergeser ke dinding seberang yang berhadapan dengan tanah kering tempat sampan bersandar. Keempat orang itu masih tegang berunding di bawah sana. Suara mereka semakin keras.
"Mereka mau ke Kahayan hulu, Kodeka," lapor Urai.
"Aku sudah tahu. Lalu kenapa mereka bertengkar?"
Urai diam sejenak, berusaha menangkap pembicaraan yang hanya terdengar sepotong-sepotong. "Sepertinya, mereka berencana membunuh utusan Belanda dan ada yang tidak setuju."
"Utusan Belanda yang mana dan di mana?" tanya Deka.
Urai kembali diam dan memasang kuping. "Mm, aku nggak tahu. Tapi mereka bicara tentang Damang Batu dan Tumbang Anoi."
"Terus apa lagi?" desak Deka.
Urai menggeleng. "Kurang jelas. Sepertinya mereka merencanakan penyergapan."
"Wah, jangan-jangan mereka mau menyergap rombongan Belanda yang diutus ke Tumbang Anoi," gumam Deka.
"Itu bagus atau buruk?" tanya Urai.
"Pasti buruk buat kita. Kita akan menjadi buronan Belanda."
Kini, Urai ikut panik. "Kita harus melarikan diri secepatnya!"
Deka menggeleng. "Kita butuh mereka agar sampai di hulu Kahayan." Deka menunjuk Jala. "Dia mendapat penglihatan Riun dibawa ke sana."
Jala mendekat. "Kita ikuti saja mereka. Nanti saat mereka memulai penyergapan, kita lari."
Urai menerjemahkan perkataan Jala kepada Deka. Pemuda itu menggeleng. "Jangan! Kita bisa dibunuh oleh kedua belah pihak."
"Lalu apa rencanamu?" tanya Jala.
Deka terdiam. Otak cerdasnya berusaha mengumpulkan semua ide. Sementara itu, Urai kembali menguping dan menjadi murung.
"Ada apa? Ada informasi lagi?" tanya Deka.
Urai menggeleng. "Bukan itu. Mereka bicara tentang jasad yang bergelimpangan tanpa kepala dan betang yang hangus," ucapnya lirih, nyaris berupa gumaman.
"Itu kata mereka?" tanya Deka.
Urai mengangguk. Cairan hangat mulai menggenang di pelupuknya. Ia berpaling ke Jala. "Apa mereka tadi bicara tentang Riwut, Jala?" tanyanya.
Jala menggeleng. "Aku tidak mendengarnya."
"Me-mereka nggak menemukan jasad Riwut?" tanya Urai lagi.
"Aku tidak tahu. Mereka tadi tidak membicarakannya."
Urai tercenung. Mungkinkah Riwut selamat? Atau jangan-jangan kepalanya dibawa oleh orang-orang Punan sehingga Simpei dan temannya tidak mengenali jasadnya. Membayangkan tubuh Riwut tidak utuh lagi, Urai menggigil. Ada serpihan tajam yang menyelip di dada dan menoreh organ dalamnya. Tanpa terasa, air mata meleleh, membasahi pipi.
"Apa kita bisa mencari Riwut?" desahnya di sela tangis.
"Rai, kamu ngomong apa? Riwut itu bukan orang dari zaman kita. Kamu jangan terikat padanya," tegur Deka.
"Maksudmu kita nggak perlu kasihan padanya?" tanya Urai. Ada nada kesal terselip dalam kalimatnya.
"Bukan begitu. Aku cuma mengingatkan kamu bahwa kita bukan berasal dari sini dan harus kembali ke zaman kita. Kamu mau tinggal di sini seterusnya demi Riwut?" ucap Deka sambil memelotot. Entah mengapa, nama Riwut menimbulkan korsleting kecil di otaknya.
Urai tidak langsung menjawab. Kata-kata ketus Deka memaksanya menelisik lelaki itu dari ujung kepala hingga ujung kaki. Beberapa saat lalu, ia sempat terenyuh karena Deka berubah lembut. Ternyata rasa senang itu hanya hiburan sesaat. Belum satu hari berlalu, Deka sudah kembali ke sifat aslinya.
"Bilang aja kamu cemburu, Kodeka!" tukas Urai seraya membalikkan badan, memunggungi junjungannya.
"Yah, Rai! Kamu kok—" Kalimat Deka terputus. Ia tidak boleh nyinyir lagi, bukan?
Urai menoleh dengan wajah cemberut. "Apa, apa? Kalau mau ngomel langsung aja, nggak usah sungkan! Biasanya juga begitu, kan?"
Rahang Deka kontan terkatup. Apalagi setelah Urai sesenggukan sambil menyembunyikan wajah di antara kedua paha. Mengapa gadis ini selalu berhasil memicu kejengkelan? Digaruknya tengkuk yang tidak gatal, lalu duduk membelakangi Urai. Rasanya, ia ingin memakan seseorang. Geregetan!
"Kalian sudah mirip suami istri," celetuk Jala. Untung ia mengatakannya dalam bahasa Iban sehingga kedua rekannya tidak mengerti. Mungkin bila diucapkan dalam bahasa Ngaju, kepalanya akan dilempari ubi panggang oleh Deka dan Urai.
☆☆☆
Hubungan Deka-Urai ini klo diibaratkan mirip apa, ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
ANOI 1894 - The Disastrous Ritual
FantasiUrai tak jera mencari perhatian pemuda pujaan hatinya. Sementara Deka selalu sinis dan sarkastis pada Urai yang menurutnya tukang pembuat onar. Sampai akhirnya sebuah anomali alam membuat kedua insan itu terlempar ke dalam portal gaib. Mendadak, mer...