Epilog

714 100 41
                                    


Di sebuah bilik kayu, seseorang terbangun dari tidur panjang. Ia mengerang sejenak, lalu perlahan membuka mata. Ada rasa ngilu bercampur perih menyengat di daerah perut yang membuatnya mendesah panjang.

Ia berusaha mengenali kamar itu, namun hanya menemukan benda-benda asing. Sepertinya, kamar ini milik perempuan. Ada cermin dan alat-alat rias di salah satu sisi. Di bagian lain, ada setumpuk baju beledu merah menyala dan kain tapih. Di dekatnya terdapat hiasan kepala dan manik-manik bahu yang biasa dikenakan pengantin wanita. Namun, ruangan itu kosong. Ke mana pengantin wanitanya?

Ia berusaha duduk sambil menahan rasa sakit. Dirabanya perut dan menemukan ramuan berupa daun ditumbuk menempel di atas luka. Disibaknya sedikit. Ternyata lukanya telah menutup dan mengering.

"Halo, Sayang!" Wajah Nuraini yang telah membesar seukuran nyiru tiba-tiba muncul di depannya.

"Aaaaargh!" Ia kaget sampai terempas kembali ke lampit.

"Oh, oh, oh! Nggak usah takut, Sayang! Aku nggak akan lama menemani di sini, cuma sampai luka-lukamu sembuh." Wajah Nuraini menyusut ke ukuran normal. Sebagai gantinya, jari telunjuk arwah centil itu menggelembung sebesar terung dan disentuhkan ke ujung hidung pemuda tadi. "Aku mau jalan-jalan sebentar. Panggil aku kalau butuh sesuatu, ya!"

Bertepatan dengan lenyapnya Nuraini menembus dinding, seseorang membuka pintu bilik dan berjalan mendekat. Ia menoleh. Matanya seketika melebar tak percaya saat tahu siapa yang datang.

"Kamu?"

"Ah, kamu sudah sadar," sapa orang itu. Senyum menawannya terkembang sempurna. "Untung saya ada di dekat tempat kejadian. Terlambat sedikit, pasti kamu tidak tertolong."

"Kamu yang bertempur dengan orang Punan di tepi sungai itu?"

Pemuda itu mengangguk. "Kita sudah berjumpa, tapi belum berkenalan. Saya Silas."

"Tidak kenal apanya? Kamu nyaris memenggal kepala saya!"

"Sekali lagi, maaf. Tapi, saya sudah menebusnya dengan menyelamatkan nyawamu, bukan?"

Lawan bicara Silas manyun, namun mengangguk juga akhirnya. "Baiklah, kita impas."

Silas tersenyum senang. "Syukurlah bila begitu. Siapa namamu?"

"Saya Riwut. Riwut Harusan."

TAMAT

☆TAMAT☆

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ANOI 1894 - The Disastrous RitualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang