21b. Buronan Belanda (2)

257 73 5
                                    

Kedua orang itu berlari ditengah berondongan tembakan. Pepohonan hutan tropis yang rapat melindungi mereka dari terjangan timah panas. Keduanya berhasil membawa Urai ke balik pepohonan yang batangnya besar.

Seseorang berteriak dari atas menara benteng. Entah apa, Deka tidak mengerti karena menggunakan bahasa Belanda. Teriakan-teriakan itu seperti memerintahkan sesuatu. Benar saja, suara tembakan kembali membahana. Namun kali ini ada yang berbeda. Ia mendengar sesuatu dari arah lain sedang bergerak cepat ke tempat persembunyian mereka.

Jala menghunus mandau dengan sikap tubuh siap menyerang. Deka ikut-ikutan mencabut mandau walau tidak tahu akan akan digunakan untuk apa senjata itu. Ia tidak pernah memakai senjata tajam selain pisau dapur. Mereka menunggu dengan jantung berpacu.

Tiba-tiba dari balik gerumbul perdu, muncul wajah-wajah bulat telur berhidung kecil bulat dan bermata sipit. Empat orang lelaki muda mengacungkan senapan ke kepala Deka dan Jala.

"Eweh ikau?" hardik salah satu dari mereka. (Siapa kamu? – Dayak Ngaju)

Mata Deka melebar. Orang-orang ini jelas bukan petarung Punan yang mengejar mereka. Melihat potongan rambut dan ikat kepala, serta dada yang bersih tanpa tato, kemungkinan mereka orang Kapuas atau Kahayan. Mereka mengenakan celana pendek kain berwarna krem dan kemeja putih lusuh yang modelnya seperti milik orang Banjar.

Berbaju lengkap dan memegang senapan. Celaka!

Otak Deka langsung memikirkan kemungkinan terburuk. Bukankah Belanda mempekerjakan orang lokal untuk menjadi tentara guna melawan sesama suku sendiri? Jangan-jangan orang-orang ini dikirim oleh komandan benteng untuk menangkap mereka.

"Letakkan senjata atau kami tembak!" hardik orang itu lagi.

Jala melempar mandau-nya dan segera mengangkat kedua tangan ke sisi kepala, lalu menjatuhkan diri untuk berlutut. Deka terpaksa mengikuti.

"Kami dari hulu Kapuas. Tolong, lepaskan kami. Adik kami terkena upas," ucap Jala seraya menunjuk Urai yang tergolek tanpa daya.

Orang-orang itu terdiam sejenak menatap Urai. Salah satu dari mereka mendekat, lalu mengulurkan tangan memeriksa nadi di lehernya. Beberapa saat kemudian, ia menggeleng. "Dia memang terkena upas," lapornya kepada seseorang yang terlihat paling berkuasa.

"Kita tidak bisa menolongnya. Kita harus segera pergi dari sini," sahut orang itu.

Keempat orang itu menurunkan senapan, lalu mulai bergerak hendak menyusup ke dalam perdu. Melihat mereka pergi, Jala yakin orang-orang itu bukan kaki tangan Belanda.

"Tunggu! Kalian mau ke mana?" seru Jala.

Keempat orang itu menghentikan langkah dan menoleh. "Bukan urusan kalian. Kalau mau selamat dari Belanda, segera pergi dari sini! Mereka pasti akan mengirim pasukan menyisir tempat ini."

"Boleh kami ikut kalian?" pinta Jala.

"Haish! Kalau bisa mengikuti kami, silakan. Tapi, kami tidak akan menunggu kalian!"

Bersamaan dengan itu, teriakan mirip perintah kembali terdengar dari arah benteng. Sebuah dentuman tiba-tiba menggelegar menggetarkan udara pagi. Detik berikutnya, sebuah ledakan menghamburkan tanah, pohon, dan perdu ke udara, hanya berjarak beberapa meter dari mereka.

"Kanoooon!" seru orang-orang itu. Mereka berlari menyusup di antara rumpun perdu dan dengan cepat menghilang dalam padatnya hutan.

"Kita ikuti mereka!" seru Jala. Ia menyuruh Deka jongkok, lalu mengangkat tubuh Urai ke punggung Deka. Ia sendiri segera mengangkut semua senjata, lalu berlari menuju arah perginya rombongan tadi.

Deka berusaha sekuat mungkin berlari sambil merunduk. Teriakan-teriakan dari arah benteng kembali terdengar.

"Cepat!" seru Jala. "Mereka akan menembakkan meriam lagi!"

Sebuah peluru meriam ditembakkan. Asap mengepul dari moncong meriam yang menyembul dari lubang di dinding benteng.

"Merunduuuk!" seru Jala sambil mengangkat talawang ke atas kepala mereka.

Peluru itu meledak di belakang Deka dan Jala. Seketika, udara dipenuhi serpihan kayu, ranting, asap, bau mesiu, dan tanah yang terlontar ke atas. Beruntung posisi mereka cukup jauh dan hutan itu cukup rapat sehingga mereka selamat dari ledakan itu.

Mereka menunggu beberapa detik hingga yakin tidak ada lagi tembakan. Setelah itu, mereka lari secepatnya ke dalam hutan. Saat yakin situasi lebih tenang, Jala memindai sekitar. Keempat lelaki tadi tidak terlihat lagi.

"Kita kehilangan mereka," keluh Jala.

"Kita ke mana? Kembali ke tempat jukung tadi?" tanya Deka sambil terengah. Lumayan juga berat Urai.

"Jukung? Jangan! Orang-orang Punan itu kemungkinan sudah mengambilnya," sahut Jala, hanya mengira-ngira saja.

Tiba-tiba, rumpun perdu di sisi mereka terkuak. Seorang lelaki muncul. "Hei, jangan berhenti! Ikuti kami!"

☆☆☆

Komen please ...

Kalau suka dengan cerita ini, mohon share ke teman-temannya, atau tag temannya di kolom komentar.
Makasiiih.
Fura luv u!

ANOI 1894 - The Disastrous RitualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang