Urai menggapai tubuh Deka yang duduk di belakangnya dengan kalut. "Kodeka! Mereka mengejar kita!"Sontak, Jala dan Deka menoleh ke belakang. Malam yang kelam menutup penglihatan sehingga sosok orang yang mengejar mereka tidak terlihat. Di tepi anak sungai tempat mereka mengambil jukung tadi hanya terlihat dua pucuk obor.
"Tenang dulu. Belum tentu mereka musuh. Bisa saja itu penghuni betang yang selamat," ucap Deka. "Duduk gih, diam dan tenang. Kalau kamu heboh begitu jukung ini bisa terbalik, tahu!"
Ditegur ketus seperti itu, Urai terpaksa duduk dan kembali mendayung. Namun, matanya beberapa kali menoleh ke belakang untuk mengawasi obor-obor itu.
"Tenang, mereka nggak punya jukung," ucap Deka. "Ayo, dayung sekuat mungkin!"
Ketiga pelarian itu kembali mengayuh dayung melawan arus sungai. Pekatnya malam membuat pandangan ke sekeliling nyaris mustahil. Jala yang duduk paling depan mengarahkan jukung mengikuti cahaya obor dari sampan rombongan anak-anak tadi. Mungkin karena tenaga anak-anak itu banyak dan beban muatan tidak seberapa, sampan mereka melaju dengan cepat. Tidak membutuhkan waktu lama, cahaya obor mereka menjauh, redup, dan akhirnya lenyap sama sekali. Sekarang hanya ada kegelapan tanpa batas di sekeliling ketiga pelarian itu. Jala terpaksa hanya mengandalkan insting.
Iseng, Urai kembali menoleh ke belakang. Ia kaget. Pemburu berobor tadi bergerak cepat menyusuri tepian sungai dan semakin dekat dengan sampan mereka. Nyala obor telah bertambah menjadi lima buah. Sekarang, terlihat samar-samar sosok orang-orang itu. Yang jelas, mereka mengenakan rompi perang. "Kodeka, aku rasa mereka musuh! Mereka memang mengejar kita!" bisik Urai panik.
Jala ikut menoleh. Dalam minimnya pencahayaan, ia sempat melihat gerakan musuh yang berbahaya. Seketika itu juga, diraihnya talawang. "Sssst! Jangan bersuara! Semua merunduk!" serunya.
"Ap-apa?" gagap Urai. Tubuhnya mendadak ditarik ke dasar jukung dengan keras oleh Jala, lalu ditutupi talawang.
Bertepatan dengan itu, terasa udara di sekitar mereka bergerak halus. Anak-anak sumpitan berdesing di atas sampan. Bahkan ada yang menancap di sisi luarnya. Sumpitan itu benar-benar senjata yang efektif. Batangnya dibuat khusus sesuai tinggi badan pemiliknya. Bila kekuatan peniupnya bagus, anak sumpitan sanggup menempuh jarak 200 meter.
Deka baru sadar nyawanya terancam saat beberapa anak sumpitan mengenai talawang yang ia selempangkan di punggung. Ia segera rebah di lantai jukung.
Sampan kayu yang hanya muat untuk empat orang itu dibiarkan mengapung sendiri. Karena semula mereka bergerak melawan arus, tanpa dayungan, mereka mulai hanyut ke hilir.
"Celaka! Kita hanyut ke arah mereka!" bisik Jala.
Sementara itu, rombongan pengejar rupanya mendengar suara percakapan ketiganya. Kelima obor itu pun bergerak cepat menyusuri tepian anak sungai. Bila tadi mereka hanya menembakkan sumpitan secara coba-coba, sekarang dengan adanya suara itu, mereka mendapat petunjuk arah. Anak-anak sumpitan pun kembali menyerbu sampan kecil itu.
"Dayung lagi, cepat!" ucap Jala. "Mereka semakin dekat!"
"Gimana caranya? Kita semua rebah di lantai," bisik Urai.
"Urai, Deka, kita harus merapat ke tengah. Lalu letakkan talawang di belakang dan atas," usul Jala.
Urai segera menerjemahkan perintah untuk kepada Deka.
"Aku hitung tiga kali, lalu kita sama-sama bangun!" ucap Jala lagi. "Satu ... dua ... tiga!"
Mereka berhasil duduk berlindung talawang. Beberapa anak sumpitan menancap di sisi luarnya.
"Dayung!" seru Jala.
Ketiga orang itu mendayung sekuat tenaga. Sampan kecil itu pun bergerak kembali ke hulu. Namun, para pemburu itu jauh lebih gesit dari dugaan. Kaki-kaki mereka berlari lincah di tanah yang becek dan penuh perdu berduri. Sebentar saja, jarak mereka semakin terkikis.
☆☆☆
Bersambung hari Jumat.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANOI 1894 - The Disastrous Ritual
FantasíaUrai tak jera mencari perhatian pemuda pujaan hatinya. Sementara Deka selalu sinis dan sarkastis pada Urai yang menurutnya tukang pembuat onar. Sampai akhirnya sebuah anomali alam membuat kedua insan itu terlempar ke dalam portal gaib. Mendadak, mer...