7b. Tahanan Gubuk (2)

387 86 13
                                    


Melihat Urai menangis, mau tak mau Deka jatuh kasihan. Karena cuma kaki yang bisa bergerak maju, digesernya tungkai itu ke arah Urai. Dengan jemari kaki, dielusnya betis Urai. "Cup, cup. Jangan menangis. Aku selalu menjaga kamu, kok."

Urai semakin terhina karena dibelai menggunakan kaki. "Gimana kamu akan menjagaku? Kamu sendiri terikat!"

"Sampai di sini saja menangisnya, Rai. Memangnya air mata bisa menyelesaikan masalah? Enggak, kan? Lalu buat apa coba air matamu itu?" Deka sudah berusaha lembut, namun tetap saja ucapannya terasa sinis. Buktinya tangis Urai semakin keras.

Entah apa yang terjadi, babi-babi yang berkeliaran di kolong rumah menguik bersamaan.

"Tuh, babi pun ikut menangis. Kamu harus tanggung jawab!" tukas Deka lagi. Kali ini kalimatnya manjur. Urai langsung mengatupkan rahang rapat-rapat.

Tak berapa lama, terdengar kegaduhan dari arah luar. Deka beringsut ke dinding yang kayunya renggang. Dari celah itu, ia berusaha mendeteksi keadaan di luar gubuk. Ia bisa melihat gubuk lain di sisi kanan dan bangunan betang yang memanjang di sebelah depan. Sepertinya, tempat tahanan ini berada di halaman samping bangunan utama.

Betang itu benar-benar besar, memanjang seperti barak. Tiang-tiang penyangganya terbuat dari batang kayu yang tingginya sekitar empat meter. Melihat warnanya yang hitam, Deka yakin itu batang kayu ulin. Ada halaman memanjang di depannya yang dikelilingi pagar kayu hutan. Di halaman depan itu pula berdiri dua sandung, yaitu tempat menyimpan tulang leluhur yang berbentuk rumah-rumahan kecil yang didirikan di atas tiang kayu ulin. Sandung-sandung itu diapit empat sapundu, yaitu tiang tinggi berukir bentuk manusia yang melambangkan leluhur pemilik betang.

Rumah itu terlindung oleh pepohonan besar sehingga suasananya teduh. Deka dapat mendengar deru aliran air. Ia yakin, tempat ini berada tidak jauh dari sungai. Anak-anak yang sebagian telanjang bulat bermain di pelataran yang luas. Deka benar-benar merasa melihat orang-orang dari foto-foto zaman dulu hidup kembali.

Deka juga memperhatikan orang-orang yang berbicara di halaman depan. Ada lima lelaki datang dari arah hutan sambil memikul dua babi hutan. Mereka disambut oleh beberapa perempuan dan anak-anak. Tangkapan itu segera dibawa ke samping rumah, mungkin untuk disembelih.

Deka juga menangkap ada sesuatu yang lain. Suasana riuh oleh datangnya hasil buruan itu seperti tertutup ketegangan. Wajah beberapa lelaki terlihat masam dan suara mereka bernada tinggi.

"Siapa yang bicara itu?" bisik Urai.

Deka menggeleng. "Entah. Ada beberapa laki-laki datang dari hutan. Sepertinya, mereka membawa kabar buruk. Muka mereka kusut semua. Kamu mengerti bahasa mereka?"

Urai ikut mengintip dan berusaha mendengarkan pembicaraan orang-orang itu. "Mmm, kurang jelas karena terlalu jauh. Tapi itu bahasa Dayak Ngaju."

"Kamu yakin bahasa mereka Ngaju?"

Urai mengangguk. "Yakin banget. Kita berada di wilayah Dayak Ngaju."

"Hm, berarti kemungkinannya, kita berada di daerah aliran salah satu dari lima sungai: Kapuas, Kahayan, Katingan, Mentaya, atau Seruyan. Karena setahuku, orang di daerah Sungai Arut memakai bahasa tersendiri. Bener nggak, sih?" ucap Deka.

Dugaan itu pun mendapat anggukan dari Urai. "Bener. Bahasa orang dari daerah Sungai Arut itu mirip-mirip bahasa Melayu gitu."

Deka pun menggaruk kepala yang tiba-tiba gatal. "Astaga, luas banget! Kita harus pastikan berada di sungai mana. Bayangkan kalau kita di Seruyan. Butuh berapa hari buat balik ke Banjarmasin?"

"Bukan cuma itu. Kayaknya ada yang lebih gawat, Kodeka. Mereka mendapat ancaman dari suku lain."

"Ancaman dari suku lain?"

Urai mengangguk kecil untuk meyakinkan. "Mereka bicara tentang kemungkinan pertempuran."

"Jangan-jangan ...." Deka dan Urai menarik napas bersamaan.

"Aaaaaaa, kita berada di zaman tradisi ngayau!" seru Urai dengan panik.

Deka membelalak kaget. "Ngayau? Maksudmu tradisi memenggal kepala musuh itu?"

Urai mengangguk. "Kamu juga tahu, kan? Zaman dulu, kepala musuh itu dibawa pulang ke kampung mereka sebagai simbol kekuatan."

"Hah? Berarti tahun berapa sekarang ini?" tanya Deka. Perasaannya mendadak semakin berkecamuk.

"Yang jelas sebelum perjanjian damai di Tumbang Anoi tahun 1894, Kodeka. Karena setelah rapat damai itu, tidak ada lagi ngayau. Kalau pun ada, jumlahnya kecil sekali."

"Astaga! Kita kembali ke tahun 1800-an?" Deka mendelik maksimal. Kontan, ia memahami mengapa ada tahanan terluka di sudut gelap sana. Ia menoleh pada pemuda malang itu. "Hoi, kamu juga tahanan?"

Orang itu membuka sebelah mata yang tidak bengkak, lalu menoleh dengan lemah, namun tetap diam.

"Mungkin dia nggak mengerti bahasa Indonesia," bisik Urai, lalu berpaling ke orang itu. "Eweh aram?" (Siapa namamu? – bahasa Dayak Ngaju)

Orang itu hanya memandang, namun tidak menjawab pertanyaan Urai.

"Ara, ara! Eweh aram?" Urai sengaja melafalkannya dengan lebih perlahan. Orang itu tetap tidak menjawab. (Nama, nama! Siapa namamu?)

"Waduh, dia juga nggak mengerti bahasa Ngaju, Kodeka."

"Apa bahasa Ngaju zaman dulu berbeda dari zaman sekarang?"

"Bisa jadi. Atau mungkin bahasa dia lain." Urai kembali berpaling ke orang itu. "Dayak narai ikau?" (Dayak apa kamu?)

Orang itu berusaha memahami.

"Da-yak na-rai?" ulang Urai lebih perlahan.

"Iban ...," jawab orang itu dengan suara serak yang lirih. [1]

Deka dan Urai saling pandang. Suku Dayak Iban berasal dari bagian utara Pulau Kalimantan. Mengapa orang itu sampai ditawan di selatan?

"Kamu paham bahasa Iban, Rai?" tanya Deka.

Urai menggeleng. "Aku belum pernah mendengarnya. Kata orang, mirip bahasa Melayu."

"Oh! Coba kutanya memakai bahasa Indonesia," kata Deka. "Bang, siapa namamu?"

Orang itu membuka mulut. "Nama?"

"Iya, nama. Namamu siapa?"

"Jala," jawab orang itu. "Sapa nama nuan?" (Siapa nama kamu? – bahasa Dayak Iban)

"Aku Deka," sahut Deka, cuma menerka-nerka. "Ini Urai."

"Oh, Deka ... Urai," gumam orang itu. "Ari ni penatai nuan?" (Kamu dari mana? – Dayak Iban)

Deka dan Urai melongo karena tidak mengerti. Belum sempat memikirkan jawaban, mereka mendengar langkah kaki mendekat, lalu menaiki tangga gubuk. Pintu kayu kecil dibuka. Cahaya yang tiba-tiba masuk membuat keduanya silau. Seorang pemuda menyeruak ke dalam gubuk sambil membawa sesuatu dalam daun pisang. Orang itu beberapa kali menoleh dengan raut takut ke lelaki yang berteriak di depan gubuk.

____________________

[1] Ngaju dan Iban adalah dua dari tujuh rumpun suku Dayak. Lima rumpun yang lain adalah Klemantan, Ot Danum, Apo Kayan, Murut, dan Punan. Ketujuh rumpun itu memiliki bahasa sendiri yang berbeda satu sama lain.

Mohon maaf bila ada kesalahan penulisan bahasa Dayak 🙏🏻🙏🏻🙏🏻 mohon koreksinya

ANOI 1894 - The Disastrous RitualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang