33b. Riam Mematikan (2)

240 76 4
                                    

Nuraini kontan bersedekap sambil manyun. "Kalau nggak mau gelap-gelapan, ambil aja sebelah kanan yang terang itu. Tapi, jangan salahkan aku kalau kita kesasar di tengah rawa penuh buaya!"

"Iya, iya!"

"Belok kiri," ucap Deka kepada Jala sambil menunjuk anak sungai yang gelap itu.

Jala mengangguk dan kembali mengayun dayungnya. Sementara itu, Nuraini terus memperhatikan Jala yang tampak sangat aneh di matanya.

Beberapa saat melaju di bawah rerimbunan hutan, kondisi sekitar berubah menjadi lebih terang. Kanopi hutan menghilang digantikan jajaran perdu yang tidak lebih dari tinggi dari lelaki dewasa. Sungai pun meluas tiga kali lebar semula. Aliran airnya semakin deras sehingga sampan kecil itu hanyut mengikuti arus tanpa perlu didayung. Mereka bisa mengistirahatkan lengan dan mengatur napas.

"Kita sudah dekat," ujar Nuraini. Bersamaan dengan itu, sampan terseret arus yang entah bagaimana mendadak menjadi kuat. Terdengar bunyi gemuruh dari arah depan.

Jala menegakkan tubuh, lalu berdiri untuk mengamati sungai di depan mereka. Sejenak kemudian, ia terbelalak. Di depan sana, permukaan sungai yang datar dan berwarna kecokelatan menghilang digantikan arus tak beraturan yang kacau, pusaran air, dan riak-riak putih. Bongkahan batu-batu besar kehitaman menyembul di antara aliran yang tampak ganas itu, membentuk barikade yang cukup tinggi. Ia sama sekali tidak berharap menemukan riam di daerah hilir yang kebanyakan berupa dataran berawa. Setahunya, batu-batuan dan arus deras hanya terdapat di hulu dan daerah pegunungan.

"Celaka, riam!" Desah bernada gentar lolos dari bibir Jala. Ini riam terbesar yang pernah ia temui sepanjang hidup. Rasanya mustahil melewati ketinggian bebatuan itu menggunakan sampan kecil ini.

"Riam?" tanya Urai. Ia ikut berdiri dan mengamati pemandangan di depannya. "Astaga, benar ada riam di depan sana, Kodeka!"

"Kita berada di daerah hilir Sungai Kahayan, kan?" tanya Deka. "Masa ada riam di daerah sini?"

"Itu, lihat sendiri!" Urai menepuk-nepuk bahu Deka agar lelaki itu ikut berdiri. Ia sudah lupa dengan aksi mogok bicaranya.

Deka menggeleng. Ia takut kehilangan keseimbangan dan malah membuat sampan bergoyang dan akhirnya terbalik.

"Cepat menepi!" perintah Jala. "Jangan sampai kita membentur batu-batu itu. Jukung ini bisa pecah!"

Kedua rekannya segera mengayuh dayung sekuat tenaga untuk mengarahkan sampan ke tepi sungai.

"Jangan menepi! Kita harus masuk ke riam itu!" seru Nuraini.

"Kamu sudah gila? Kita bisa mati!" tukas Deka.

"Hehe, aku memang sudah mati, Deka," balas Nuraini sambil meringis. "Kamu mau kuantar ke tempat pemilik beras itu atau enggak?"

Deka tidak berniat menyahut. Arus sungai semakin deras dan kuat menyeret jukung mereka. Upaya Jala dan kedua rekannya untuk menepi gagal total. Sampan tetap melaju kencang menuju jajaran bebatuan.

"Tahaaaan!" seru Jala. Ia menancapkan dayung di dasar sungai, diikuti oleh Deka dan Urai. Sungai itu ternyata cukup dangkal karena dasarnya dapat dijangkau dengan dayung yang panjangnya tidak sampai dua meter. Sungguh aneh. Bagaimana mungkin riam sebesar dan seganas itu berada di sungai sedangkal ini?

"Aaah, jukungnya nggak mau berhenti juga!" teriak Urai. Otot-otot leher, bahu dan lengannya sampai menonjol demi menahan dayung tetap menancap di dasar sungai. Sementara itu dari arah depan, gemuruh air yang menabrak bebatuan semakin keras terdengar.

Berbeda dengan ketiga orang itu, Nuraini yang duduk di ujung haluan cuma bersedekap sambil mencibir melihat kekalutan mereka. "Percuma, kalian nggak akan bisa melawan arus ini. Sudah kubilang, masuk aja ke riam itu!"

Benar saja. Beberapa detik kemudian, terdengar bunyi "krak" keras.

"Dayungku patah!" lapor Urai.

Krak!

"Punyaku juga!" seru Deka.

Begitu kedua dayung patah, kekuatan dayung milik Jala menjadi tak berarti. Bunyi "krak" ketiga pun terdengar dan sampan kecil itu kehilangan penahan. Arus langsung menyeretnya menuju pusaran riam.

"Aaaaaaaah!" seru ketiganya manakala dinding bebatuan tiba-tiba hanya berjarak beberapa meter dari ujung haluan. Kematian mengerikan akibat menghantam batu-batu membayang dalam benak ketiganya.

Urai memejamkan mata, tak sanggup melihat tragedi yang beberapa detik lagi akan menjadi takdirnya. Dalam pejam, ia merasakan rengkuhan kuat dari belakang. Sepasang lengan melingkari dada. Sebuah wajah menempel di pipi dan bahu kanan. Desahan napasnya menerobos pendengaran. Tanpa melihat pun, ia tahu itu Deka.

Arus semakin kencang menyeret sampan menuju bebatuan. Air menyapu wajah Urai ketika pucuk haluan memasuki pusaran riam. Tinggal beberapa sentimeter, mereka akan menabrak batu. Terdengar jeritan panik Jala dari belakang.

Urai pasrah. Pelukan Deka membuatnya tenang karena ia tahu pemuda itu melindunginya sampai detik terakhir. Itu saja sudah cukup sebagai kenang-kenangan di akhir hidup.

---Bersambung---

Buat Sobat Pembaca yang kepingin tahu seperti apa kondisi riam, langsung aja, intip video di atas, yaaaa

ANOI 1894 - The Disastrous RitualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang