Deka mengayuh dayung secepat mungkin. Ia sempat menoleh untuk memastikan keadaan. Hatinya cukup lega karena ternyata orang-orang Punan itu sibuk bertempur dan membiarkan mereka lolos begitu saja. Seharusnya, ia tinggal mencari cara untuk kembali ke Bukit Matang Kaladan. Namun, sesuatu membuat hatinya serasa dicubiti. Urai tidak berhenti menangis setelah ditinggalkan Riwut dan sama sekali tidak mau menyahut saat dipanggil-panggil. Ia harus bagaimana menghadapi situasi ini? Harus berterima kasih atau membenci Riwut?
Belum lama mereka meninggalkan tempat pertempuran, sebuah rombongan perahu, rakit-rakit berisi kerbau dan babi, serta kapal uap Belanda datang dari arah berlawanan. Iring-iringan panjang itu membelah arus sungai sehingga menimbulkan gelombang yang cukup besar untuk mengguncang jukung Deka. Tak ayal, perahu kecil itu oleng ke kiri dan kanan, bahkan nyaris kemasukan air.
"A-aaaa!" Deka panik dan mencengkeram pinggiran jukung. Jangankan menstabilkan perahu untuk melalui gelombang dengan aman, ia bahkan baru bisa mendayung beberapa hari lalu, saat melarikan diri dari kejaran orang Punan. Celakanya, kapal uap besar itu tidak hanya menimbulkan satu gelombang.
"Raaaai!" panggil Deka panik saat gelombang kedua menerpa.
Urai yang sedari tadi meringkuk mendekap lutut terpaksa meraih dayung dan mengarahkan perahu kecil itu ke pinggir sungai. Isakannya masih terdengar dan matanya membengkak. Junjungannya ternyata tidak berguna sama sekali di saat seperti ini. Riwut jelas jauh lebih baik. Dan itu membuat otaknya korsleting.
Teringat Riwut, dada Urai kembali merasakan lubang yang ditinggalkan pemuda itu. "Riwuuut ...," rintihnya. Begitu sampan mereka aman di tepi sungai, Urai kembali meringkuk dan terisak-isak.
Deka ikut merana. "Rai, Riwut itu kuat. Dia pasti selamat," bujuknya.
Alih-alih menghibur perasaan Urai, ucapan Deka malah semakin membuat gadis itu sesenggukan.
"Rai, kamu masih punya aku," ucap Deka lirih, lalu dengan hati-hati beringsut mendekati Urai. Gerakannya terhenti karena jukung menjadi miring ke belakang. Alhasil, Deka cepat-cepat kembali ke posisi semula sambil mencengkeram pinggiran jukung.
"Rai?" panggil Deka lagi setelah perahu mereka mengapung tenang.
"Apa?" saut Urai tanpa mengangkat wajah.
"Enggak. Aku cuma mau bilang aku sayang kamu," ucap Deka. Semburat merah mewarnai pipinya saat ia sadar mulai merayu Urai. Seumur-umur, baru kali ini kata-kata semanis madu itu meluncur dari mulutnya. Ia ragu kalimat itu akan terdengar romantis bagi Urai. Dan ternyata, dugaan itu tidak meleset. Urai mengangkat wajah sambil menautkan kedua alis.
"Lalu?"
Deka menelan liur diam-diam karena kerongkongannya mendadak terasa kering. "Ya, enggak apa-apa. Kamu kan kepingin kusayang."
Urai mendelik mendengarnya. Nyali Deka langsung menciut. "A-aku salah ngomongkah?"
"Iya, salah! Salah banget!" semprot Urai. "Riwut baru saja berkorban untuk kita dan kamu malah sok-sok romantis!"
"Aku kan mau menghiburmu, biar nggak terlalu sedih, Rai," bujuk Deka.
"Enggak ada yang bisa menghiburku, enggak ada!" Urai kembali melolong.
"Sudah dong, Rai. Nangis terus nggak ada gunanya. Lebih baik kita segera pulang ke Banjarmasin, lalu pergi ke Matang Kaladan."
Urai tidak segera menyahut karena sibuk menghapus air mata. Baru setelah perasaannya lebih tenang, ia balas bertanya, "Gimana cara kita pergi ke sana?"
Deka mengedikkan bahu. "Ya, pakai jukung ini. Kita nggak mungkin naik travel."
"Kamu sudah tahu medannya? Kita harus mendayung ke hilir sampai muara sungai, lalu keluar ke laut. Habis itu, kita harus menyusuri pantai selatan Kalimantan ke arah timur sampai ketemu muara Sungai Barito. Dari situ, perjalanan masih jauh. Kita harus naik ke hulu!"
Deka meringis sambil menggaruk tengkuk. "Auch!" Mendadak, ia mengernyit dan menghentikan gerakan karena luka torehan mandau Silas terasa pedih.
Urai membiarkannya. Entah mengapa, ia malas untuk peduli. "Kamu sanggup?"
"Aku akan berusaha sebaik mungkin." Deka kembali meneguk liur saat menyadari betapa muskil hal itu untuk dilakukan.
Urai mencibir. " Kamu nggak bisa berenang dan nggak pintar mengemudikan jukung. Baru kena gelombang kecil aja jerit-jerit. Apa jadinya di laut nanti?"
"Ya sudah. Kalau begitu, kita jalan kaki aja ke Banjar."
Urai mengangkat kakinya, memperlihatkan luka lecet di beberapa tempat yang berdarah. "Gimana aku jalan jauh dengan kaki seperti ini?"
Hati Deka ikut ngilu melihat luka-luka itu. "Sneakers-mu ke mana?"
"Hilang waktu dikejar Marsose."
Deka mendekat, ingin meraih kaki Urai. Urai menariknya. "Mau apa?"
"Mau kutiup biar nggak perih."
Urai menatap nanar lelaki di depannya. Badannya penuh luka gores dan lebam. Hidung dan bibirnya masih mengeluarkan darah akibat pertempuran tadi. Jauh di dalam hati, ia iba juga. Namun, kali ini perasaannya carut-marut. Ada gundukan emosi yang menuntut untuk disemburkan. "Nggak ada gunanya kalau cuma ditiup!" semprotnya.
"Rai, aku sudah janji mengantarmu pulang dengan selamat, apa pun caranya. Percaya aja, deh."
Bahu Urai melorot. Ia tidak yakin mereka selamat sampai di Matang Kaladan. Selain tantangan alam, mereka bisa saja berpapasan dengan para pengayau atau Marsose.
Melihat itu, Deka mengangkat kepalan tangan. "Semangat, dong! Kamu nggak kepingin konsultasi sama dospem? Kamu bilang skripsimu harus selesai semester ini."
Teringat kuliahnya, mata Urai kembali membasah.
Deka masih belum menyerah untuk membujuknya. "Nanti aku bantu analisis data. Kamu pakai alat apa? SEM, PLS[1]?"
_____________
[1] SEM (Structural Equation Modelling) dan PLS (Partial Least Square) adalah metode analisis statistik yang sering digunakan untuk mengolah data penelitian.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANOI 1894 - The Disastrous Ritual
FantasíaUrai tak jera mencari perhatian pemuda pujaan hatinya. Sementara Deka selalu sinis dan sarkastis pada Urai yang menurutnya tukang pembuat onar. Sampai akhirnya sebuah anomali alam membuat kedua insan itu terlempar ke dalam portal gaib. Mendadak, mer...