48. Kembali

334 77 10
                                    


Keduanya pergi ke tepi sungai dan menemukan batang pohon roboh. Tempat itu teduh karena berada di bawah naungan pohon kecapi yang besar. Mereka duduk berdampingan di batang itu.

Deka melirik Urai. Harus diakui bahwa garis wajah Urai sangat imut bila dipandang dari samping. Hidung mungil runcing dan bulu mata lentiknya manis sekali.

"Rai," panggil Deka, lirih.

Urai menoleh dan kembali keheranan menemukan sorot mata syahdu. "Apa?" sahutnya ketus.

"Apa sih, yang nggak kamu suka dari aku?" tanya Deka. Ia juga bingung mengapa malah melontarkan pertanyaan, padahal seharusnya merangkai kata-kata rayuan, bukan?

Urai mengernyit. Jujur, ia hanya kesal karena Deka pernah menolak cintanya. Setelah Deka serius ingin meminang, sebenarnya sudah tidak ada masalah apa pun.

"Rai, jawab dong!"

"Nggak ada yang perlu dijawab," ucap Urai datar tanpa menatap Deka.

"Semua pertanyaan itu ada jawabannya, Rai," bujuk Deka.

Urai menoleh karena kesal Deka tidak mengerti bahwa ia ingin dirayu. "Kamu nggak peka!"

Deka tertegun. "Nggak peka sama apa?"

Urai memicing dan semakin kesal. "Tuh, kan! Ini nih yang namanya nggak peka!"

Bahu Deka melorot. "Yaelah, Rai. Udah tahu aku lemot, kenapa pakai kode Morse? Mana aku ngerti? Kamu ngomong aja terus terang, minta apa."

Urai tidak percaya pada perkataan Deka. "Males. Paling ujung-ujungnya pehape."

"Jangan asal menuduh, deh. Kamu minta apa sekarang? Minta dilamar? Ayok!"

Urai ingin protes, tapi mulutnya malah membentuk senyuman lebar. Akhirnya, ia merenggut rumput di dekat kaki, lalu melemparnya ke Deka. "Apaan, sih?"

Deka kontan berbunga-bunga. Kepercayaan dirinya melambung. Tanpa menunggu lagi, ia menggeser duduk merapat ke Urai. "Minta dipeluk? Ini!" Lengan Deka merengkuh tubuh Urai hingga gadis itu rebah di dadanya.

"Kodeka, ih!" protes Urai manja, tanpa bisa menutupi kebahagiaan.

"Ih, ih apaan? Minta apa lagi?"

Urai mengerjap, tidak menyangka cara Deka menyalurkan kemesraan sangat di luar perkiraan. Tidak romantis sama sekali.

"Kok cuma kedip-kedip, Rai? Kamu nggak minta dicium?" tanya Deka lagi. Kali ini, ia nyaris tidak dapat menahan gemuruh hatinya.

Urai membuka mulut, ingin menjawab. "A—"

Belum selesai Urai membentuk kata, mulutnya telah diraup oleh Deka. Ia membeku sejenak karena kaget, namun kemudian membalas sentuhan Deka dengan melingkarkan lengan di pinggang lelaki itu. Bibirnya pun bergerak lembut menyampaikan rasa sayangnya. Tepi sungai yang sepi memberikan ruang seluas-luasnya kepada sejoli itu untuk menyatukan rasa.

☆☆☆

Deka mengecup sekali lagi bibir bulat Urai sebelum merenggangkan pelukan. Ia berjalan ke tepi sungai untuk mengamati kondisi sekitar. "Kok lama nggak ada kelotok lewat, ya?"

Urai belum mau melepaskan pandangan dari sosok junjungannya. "Sabar, deh. Pasti nanti ada yang lewat."

Deka kembali duduk di sisi Urai. Sambil memandang langit, ia menghirup udara yang masih bebas polusi sebanyak mungkin. "Langit tetap sama, ya Rai, sekarang atau seratus dua puluh delapan tahun lalu."

Kalimat Deka membawa ingatan Urai ke masa lalu. "Badanku masih ngilu dan perih-perih, tapi aku nggak menyesal mengalami semua ini."

Deka setuju. "Aku rasa, kita jadi lebih mengenal jati diri dan leluhur kita."

"Mereka orang-orang hebat. Damang Batu, Simpei dan pasukannya, Jojang dan prajurit Punan, Riwut ...." Urai berhenti sejenak karena seberkas rasa perih menyelip di hatinya manakala menyebut nama pemuda ber-ewah merah itu. Air matanya menggenang di pelupuk.

Deka yang mulai memahami perasaan Urai segera mengelus lengannya. "Diikhlaskan aja, Rai. Biarkan dia beristirahat dengan tenang."

Urai mengangguk. Deka benar, ia harus merelakan kepergian pemuda itu. "Iya. Aku sudah ikhlas, kok," jawabnya dengan suara serak.

Keheningan kembali mengisi area itu ketika lamunan tentang masa lalu menguasai pikiran.

"Kodeka, ada satu hal yang bikin aku terkesan banget," ucap Urai setelah beberapa waktu berdiam diri.

"Apa, tuh? Aku waktu pakai ewah?" tebak Deka karena jujur, ia merasa sangat seksi saat mengenakan kain tradisional itu.

"Narsis! Bukan itu!" bantah Urai.

Deka meringis lebar. Dadanya berguncang karena tawa. "Ya, deh. Apa?"

"Orang-orang itu, biarpun banyak kekurangan, mereka berupaya semaksimal mungkin buat menghadapi tantangan zaman," lanjut Urai. "Kalau dipikir-pikir, Jala pun orang yang luar biasa."

"Luar biasa absurdnya maksudmu?" cibir Deka. Ia masih menyimpan kedongkolan tersendiri terhadap pemuda itu.

"Dia melakukan semua itu demi cinta loh, Kodeka," bantah Urai. "Paling nggak, Jala mau bertindak, nggak cuma nyinyir."

Deka mengangkat dagu karena tidak terima. "Kamu nyindir aku? Aku juga bertindak, tahu!"

Kekesalan Urai kembali terpicu. "Mana buktinya? Kalau nggak kepepet mau dipenggal pasti kamu nggak akan bilang suka sama aku!"

"Yang penting kan akhirnya bilang suka!"

"Kamu harus belajar dari Jala. Sejelek-jeleknya, dia aktif, nggak pasif!"

"Apanya yang perlu ditiru? Jala itu melakukan ritual terlarang, ya Rai!" tukas Deka, kembali geregetan karena dibandingkan dengan Jala.

"Pasti tujuan utamanya untuk membahagiakan Riun."

"Tetap aja, niat baik harus diimbangi dengan cara yang baik juga. Kalau enggak, lihat aja gimana jadinya."

Urai tertegun saat menyadari hal itu. "Iya, bener. Kalau zaman sekarang, cara yang baik itu sering nggak diingat lagi. Orang suka main tabrak sana-sini."

Keduanya terdiam untuk waktu yang lama. Apa yang mereka hadapi saat ini ternyata tak kalah banyak. Kemajuan teknologi, pengaruh asing, serta pergeseran nilai-nilai menjadi tantangan tersendiri.

"Apa kita bisa survive di zaman ini, Kodeka?" bisik Urai.

"Pasti, dong. Aku rasa, mereka bisa bertahan karena dituntun oleh hati nurani. Dengan begitu, mereka bisa memilih tindakan yang tepat biarpun masa depan kelihatan gelap. Kita juga diberi hati nurani yang sama canggihnya, Rai."

Urai menatap lekat-lekat wajah Deka. Ia sungguh tidak menyangka junjungannya bisa berbicara senormal ini. "Kamu sehat? Ada yang kerowak di otakmu setelah dua kali melewati lorong waktu?"

Deka mendelik. "Harusnya aku yang tanya begitu!"

"Ih, bawel!" Urai pun balas mendelik.

"Udah deh, diem!" Deka kembali menarik Urai ke dalam pelukan.

Mulut gadis itu benar-benar terkatup kali ini.

☆☆☆

ANOI 1894 - The Disastrous RitualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang