Simpei memerintahkan semua orang untuk kembali ke sampan. "Tempat ini tidak aman. Kemungkinan besar Belanda akan memburu kita sampai kemari. Kemasi makanannya, kita makan di atas jukung saja."
"Bagaimana kondisi betang?" tanya Tilung.
Simpei menggeleng. "Hangus semua, tersisa tonggak-tonggaknya saja."
"Binatang peliharaan dan isi gudang makanan semuanya ludes," imbuh Pandih.
"Jasad mereka?" tanya Alui.
Simpei tercenung sejenak, lalu dengan wajah sedih menatap ketiga rekannya satu demi satu. "Kita tidak punya waktu untuk menguburkannya. Terlalu banyak jasad."
Wajah Tilung dan Alui kontan berubah keruh saat bayangan kematian penghuni betang berkelindan di dalam benak. Perut yang semula meronta minta diisi, kini terasa penuh.
"Kepalanya ...?" tanya Alui lirih.
Simpei menggeleng. "Pasti dibawa pergi oleh orang-orang Punan itu."
Keempat pejuang itu terdiam. Ada kesedihan bercampur kengerian dalam wajah-wajah mereka. Alui—yang termuda di antara mereka—terlihat gelisah.
"Sebaiknya, kita kuburkan mereka," usul Alui.
"Tidak. Kita harus segera pergi," balas Simpei.
Alui menggaruk kepalanya. Tampak sekali perasaannya terganggu. "Mereka saudara kita, Kak."
Pandih dan Tilung balik menatap Simpei, seolah membenarkan permintaan Alui. Namun, Simpei berpikir logis.
"Aku tahu kalian sedih, tapi jangan lupa Orang Punan sewaktu-waktu bisa kembali ke sini. Kita tidak mungkin menghadapi dua musuh sekaligus."
"Ya, tapi—" Alui masih belum menerima keputusan itu.
"Sudahlah. Aku yakin anggota keluarga yang selamat dan penduduk sekitar akan datang tak lama lagi untuk mengurus jenazah-jenazah itu," pungkas Simpei. Ia masih menahan diri untuk tidak marah.
"Simpei benar," timpal Pandih. "Menghadapi Belanda dan pengayau Punan tidak cukup cuma berempat."
"Nah, dengarkan dia! Aku janji akan membalaskan dendam mereka suatu saat nanti!" tegas Simpei setelah cukup lama berdiam diri.
"Aku rasa, balas dendam bukan penyelesaian terbaik, Kak." Alui akhirnya berhasil mengumpulkan keberanian untuk angkat bicara.
Mata Simpei langsung melibas Alui dengan tatapan pedang. "Apa maksudmu?"
"Kakak mungkin kesal dengan rencana rapat damai, tapi menurut pemikiranku kekacauan seperti inilah yang ingin diakhiri oleh Damang Batu. Berapa banyak nyawa pejuang Dayak terbaik yang mati dalam ngayau? Akan lebih baik membuat semua orang hidup rukun sehingga kita bisa bersatu melawan Belanda."
Simpei kontan berkacak pinggang. "Mau ikut siapa kamu, ha? Aku atau Damang Batu?"
"Kak, aku bukan berniat melawanmu. Aku ingin mengajakmu berpikir dengan cara lain."
"Apa maksudmu cara lain, ha?" Tangan Simpei langsung mencabut mandau yang tergantung di pinggang. Melihat itu, Pandih dan Tilung bergerak cepat menahan tangannya.
"Simpei, ingat! Kita tinggal berempat!" bujuk Pandih dengan nada tegas. "Alui hanya mengatakan isi pikirannya saja. Dia masih sangat muda, belum mengerti arti perjuangan."
Simpei mendengkus, namun menyarungkan mandau-nya. "Awas, kalau kamu berbuat macam-macam!" gertaknya kepada Alui. Pemuda itu langsung mengangguk dan tertunduk.
Pandangan Simpei beralih ke Deka dan Jala. "Hei, kalian! Angkat barang-barang ini ke jukung!"
Deka dan Jala bangkit dan menjalankan perintah Simpei. Anehnya, keempat orang itu tidak segera ikut naik ke sampan, melainkan berkumpul dan membicarakan sesuatu dengan suara pelan.
"Mereka bicara apa?" Sambil mengangkut barang, Deka diam-diam bertanya pada Jala walau tidak yakin rekannya itu mengerti. Sudah pasti, Jala hanya menatapnya tanpa menjawab apa pun.
Deka mulai merasa tak berguna. Biasanya ada Urai yang menerjemahkan hampir semua percakapan. Sekarang, ia seperti orang asing yang tidak tahu apa-apa. Tiba-tiba, ia mendapat ide. Setelah meletakkan panci dan ketel di sampan, diambilnya sebutir beras ajaib, lalu dikunyah. Sembari melakukannya, ia mendaraskan permintaan kepada penguasa alam agar memberinya petunjuk apa yang harus dilakukan.
Deka menunggu sejenak datangnya informasi dari alam lain. Malang, kali ini harapannya tidak dibalas oleh semesta. Hutan itu hening. Padahal belantara perawan adalah tempat makhluk halus segala jenis bermukim. Ditambah banyaknya kematian terjadi di sekitar tempat ini, sungguh aneh bila tidak ada entitas gaib yang menjawab pertanyaannya. Makhluk-makhluk tingkat rendah bahkan pergi menjauh dan bersembunyi. Apa yang terjadi? Mungkinkah sesuatu atau seseorang yang memiliki energi tinggi telah menyegel hutan ini?
Jala rupanya melihat perbuatan Deka. Dengan kode tangan, ia meminta beras itu juga. Deka memberinya sebutir. Jala mengunyahnya sejenak. Butiran kecil itu pecah di dalam mulut, lalu hancur tergerus gigi geligi. Mendadak, ia merasa melihat Riun.
"Riun! Dia masih hidup!" bisik Jala agar tidak didengar Simpei dan teman-temannya.
"Di mana?" tanya Deka, asal menebak.
Jala tidak mengerti perkataan Deka, namun bisa menduganya. "Dia dibawa segerombolan orang ke arah hulu Sungai Kahayan."
"Riun di hulu Sungai Kahayan? Kalau begitu, ke mana tujuan orang-orang itu?" tanya Deka sambil diam-diam menuding keempat orang yang tengah berunding.
Pertanyaan itu terlalu panjang untuk ditebak oleh Jala sehingga ia langsung naik, meninggalkan Deka melongo di sisi sampan.
"Hish! Belajar kek bahasa Indonesia," gerutu Deka. Ia pun membuntuti Jala naik ke sampan.
☆☆☆
Lanjut nggak?
Komen, pleaseee ....
KAMU SEDANG MEMBACA
ANOI 1894 - The Disastrous Ritual
FantastikUrai tak jera mencari perhatian pemuda pujaan hatinya. Sementara Deka selalu sinis dan sarkastis pada Urai yang menurutnya tukang pembuat onar. Sampai akhirnya sebuah anomali alam membuat kedua insan itu terlempar ke dalam portal gaib. Mendadak, mer...