Tak lama kemudian, sebuah kelotok datang dari arah hilir. Penumpangnya tiga orang. Sepasang suami istri dan satu anak balita. Deka dan Urai melambai-lambai memanggil mereka.Kelotok itu menepi. Penumpangnya keheranan menemukan dua orang yang berpakaian ala zaman dulu. Karena baju pemberian Tambi Dohong dicuci, Urai membalut tubuhnya dengan tapih pinjaman dari menantu Damang Batu. Sedangkan Deka bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek model kuno yang ia dapat dari Bue Dohong.
"Kak, kami boleh menumpang?" tanya Deka dengan sopan dalam bahasa Indonesia.
"Kalian dari mana?" tanya lelaki muda pemilik kelotok.
Deka senang karena orang itu juga menggunakan bahasa Indonesia. Berarti mereka benar telah kembali ke masa kini. "Kami tersesat. Ceritanya panjang. Kalau boleh tahu, desa apa di dekat sini?" tanya Deka lagi.
"Tumbang Anoi, Dek." Orang itu menunjuk kelokan sungai di arah hilir, dari mana kelotok itu datang.
Deka dan Urai saling pandang. "Tumbang Anoi?"
Orang itu mengamati Urai dan Deka bergantian. "Semalam, ada orang dari Banjarmasin mencari keluarganya. Apa itu kalian?"
"Siapa namanya, Kak?" tanya Urai.
"Aduh, saya lupa. Orangnya tidak terlalu tinggi. Kira-kira berumur empat puluhan."
"Om Dehen?" Urai seakan tak percaya.
Mata orang itu berbinar. "Nah, itu namanya. Dehen."
"Om saya masih di Tumbang Anoi?" tanya Urai lagi.
"Masih. Dia menginap di rumah kepala desa. Mari saya antar."
Urai dan Deka pun naik ke perahu. Pemiliknya memutar arah ke hilir hanya demi mengantar mereka.
"Terima kasih, sudah membuat Kakak repot."
"Sama-sama, Dek."
Perahu kecil bermesin satu bergerak lebih cepat dari perahu bertenaga dayung. Hanya membutuhkan waktu setengah jam, mereka sudah sampai di lanting belakang rumah Damang Batu.
"Sudah pernah ke sini?" tanya pemilik kelotok.
Deka dan Urai mengangguk. Mereka masih takjub pada tempat ini. Suasana zaman sekarang tentu saja sangat berbeda. Rumah-rumah tamu sudah tidak ada. Balai adat dan kompleks tempat rapat damai sudah tinggal tonggak-tonggaknya. Yang masih terpelihara bagus adalah betang Damang Batu. Dinding bangunan itu sekarang dicat rapi berwarna cokelat tua. Saat mereka tiba di samping rumah, tampaklah ukiran di tangga naik, sandung, dan sapundu telah diperbarui dengan warna-warni cerah. Halamannya pun dipugar dan diperkeras dengan pasir, serta diberi pagar keliling.
"Ya, ampun, Kodeka. Kita kembali ke tempat yang sama, tapi dalam kondisi yang sangat berbeda," ucap Urai dengan haru. Baru beberapa saat lalu, mereka berbicara dan bahkan makan bersama Damang Batu. Sekarang, tokoh besar itu hanya tinggal nama, namun warisannya terus dirasakan hingga saat ini.
"Rasanya seperti mimpi," ucap Deka. Suaranya dipenuhi rasa kagum. "Di tempat terpencil seperti ini, orang-orang dari seluruh penjuru Kalimantan datang dengan semangat perdamaian. Hebat nggak, sih?"
"Hebat banget!"
Deka sangat setuju. Semangat persatuan seluruh Dayak itu tetap dirasakan hingga hari ini. Biarpun Belanda menganggap rapat damai Tumbang Anoi sebagai penaklukan, tapi berkat semangat persatuan itu perlawanan terhadap penjajah terus berlanjut. Sejarah mencatat bahwa pada tahun 1919 berdiri Sarikat Dayak—di kemudian hari berganti nama menjadi Pakat Dayak—yang melanjutkan perjuangan mengangkat harkat dan martabat rakyat Dayak. Di masa perang revolusi, pejuang-pejuang Dayak bermunculan demi mengembalikan kedaulatan Republik Indonesia di Kalimantan dari tangan Belanda. Salah satunya seorang bernama Tjilik Riwut, pemimpin operasi terjun payung pertama AURI tahun 1947 di desa Sambi, Kotawaringin.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANOI 1894 - The Disastrous Ritual
FantasiUrai tak jera mencari perhatian pemuda pujaan hatinya. Sementara Deka selalu sinis dan sarkastis pada Urai yang menurutnya tukang pembuat onar. Sampai akhirnya sebuah anomali alam membuat kedua insan itu terlempar ke dalam portal gaib. Mendadak, mer...