29a. Perjalanan Malam

236 63 3
                                    

Setelah makan malam, mereka memutuskan melanjutkan perjalanan. Mengarungi sungai di saat gelap cukup berbahaya karena sewaktu-waktu sampan mereka bisa menabrak batang kayu yang hanyut, lalu terbalik. Namun, Simpei punya keyakinan lain. Sungai yang mereka lewati tidak terlalu besar. Arusnya pun jauh lebih tenang dan kemungkinan terjadi banjir bandang dari hulu sangat kecil. Lagi pula, malam ini cerah berkat sinar bulan. Ditambah penerangan obor, permukaan sungai terlihat cukup jelas.

Deka dan Jala bertugas mendayung di buritan, sedangkan Simpei dan Pandih berdiri di haluan. Malam yang temaram ini membuat hati Simpei terasa kelam. Sekarang mereka hanya berdua, ditambah tiga penumpang yang tidak tahu apa-apa tentang pertempuran melawan orang kulit putih. Desahan sarat beban batin meluncur dari mulutnya. Suara itu menyeruak keheningan hutan dan membuat rekannya menoleh.

"Ada apa?" tanya Pandih.

Simpei menggeleng. "Alui ...."

"Ah!" Pandih ikut menggeleng. "Tak disangka dia bisa begitu."

"Aku kenal anak itu sejak lahir. Rumahnya di samping rumah nenekku."

"Ya. Kamu sudah menceritakannya puluhan kali."

"Apa yang ada di otaknya? Kalau sudah tidak tahan berjuang, tinggal bilang. Aku tidak mungkin menghalangi orang yang ingin pulang kampung." Sekarang suara Simpei dipenuhi kekesalan.

Pandih mengangguk kecil. "Sekitar bulan lalu, dia cerita padaku tentang kakaknya. Katanya, suami kakaknya meninggal tanpa mewariskan harta. Malah tahu-tahu datang penagih hutang. Apa mungkin karena itu?"

"Kakak iparnya berhutang untuk apa?"

"Kurang jelas. Tapi Alui pernah membayarkan hutang si kakak ipar sebelumnya. Katanya hutang judi."

Simpei mendengkus. "Kurang ajar orang itu!"

"Zaman sudah berubah," Pandih setengah tercenung saat mengucapkannya. Kekesalan dan rasa tidak terima atas apa yang terjadi di tanah mereka telah menggunung. Bila dulu ia menggebu dan penuh amarah saat mengungkapkan hal itu, kini hanya tersisa rasa hambar. Perjuangan mereka seolah tanpa ujung dan titik terang. Semangatnya ikut menguap secara perlahan.

"Dulu, ayah dan kakek kita gegap gempita dan penuh gelora saat membicarakan perjuangan," keluh Simpei.

"Oh, ya. Ingat cerita penyerangan gudang garam Belanda di Kuala Kapuas tiga puluh lima tahun lalu?"

"Ya, aku masih bocah ingusan waktu itu. Bapa dan kakekku menceritakannya dengan berapi-api." Ada binar kecil yang memercik dalam mata Simpei saat mengingat kenangan masa kecilnya. "Mereka juga ikut menyerang tambang batu bara di Pengaron."

"Oh, Tambang Oranje Nassau? Ya, aku pernah mendengar. Kabarnya, itu tambang batu bara pertama di yang dimiliki Belanda di tanah ini," imbuh Pandih.[1]

"Itulah cerdiknya Belanda. Mula-mula, mereka menyewa hutan dari Sultan Banjar. Setelah tahu ada batu bara di dalamnya, mereka membuat tambang. Seharusnya, hasilnya dibagi dengan kesultanan. Sudah selayaknya pemilik lahan mendapat bagian besar, paling tidak separuhnya. Tapi apa yang terjadi? Ratoe Anom hanya diberi empat puluh gulden untuk setiap ton batu bara. Masuk akalkah itu?"

"Barangkali orang-orang kesultanan mengira empat puluh gulden sudah besar," ucap Pandih.

"Pastilah mereka tidak tahu harga batu bara di luar negeri."

Pandih mengangguk setuju. "Tidak heran Pangeran Antasari melawan dan ingin menguasai kembali tambang itu."

"Dulu Pangeran Antasari berhasil mengumpulkan lima ratus pasukan untuk penyerbuan itu. Bukan main semangat perjuangan bapa-bapa dan kakek-kakek kita!"

"Lima ratus orang!" Pandih tertawa sumir. "Kita sekarang hanya berdua."

Miris sekali perbandingan itu. Sejenak, keduanya menerawang ke depan, ke ujung sungai yang memantulkan cahaya bulan. Riak-riak kecilnya seolah mentertawakan kegamangan di dalam hati mereka.

"Itulah terbaliknya zaman. Sekarang semakin banyak orang kita bekerja untuk Belanda. Diberi sepatu, dua tiga lembar baju model orang kulit putih, kue-kue kaleng, beberapa keping uang gulden, lalu selesai! Mereka menjadi pengabdi setia para menir."

"Nah itu satu hal yang membuat aku kesal. Kita dianggap manusia tidak beradab hanya karena memakai ewah dan bertelanjang dada," imbuh Pandih yang leluhurnya berasal dari rumpun Ot Danum di hulu Sungai Kahayan.

Simpei serta merta menoleh dan mendelik. "Lihat apa yang kamu pakai sekarang!"

Pandih melirik bajunya, lalu keduanya terbahak bersama.

ANOI 1894 - The Disastrous RitualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang