40b. Gencatan Senjata (2)

230 71 6
                                    


"Tentu saja, Damang! Dia menculik istri saya dan sekarang istri saya terluka parah!"

"Tahu apa akibatnya bila kamu membunuhnya sekarang?" telisik Damang Batu. Mata tuanya yang tajam memindai isi hati kepala suku muda itu. Jojang terdiam sehingga kata-kata Damang Batu kembali meluncur, "Suatu hari nanti, keluarganya akan mendatangi rumahmu untuk menuntut balas. Setelah itu, keturunanmu yang tidak terima akan menyerbu kampung mereka. Sampai kapan lingkaran kematian itu akan berakhir, Jojang?"

Jojang menunduk dan terdiam. Damang Batu mengedarkan pandangan ke semua orang yang berada di pantai kecil itu. "Lihat, orang luar pulau sudah membuat kapal-kapal uap yang mengarungi samudra, membangun tambang batu bara dan emas, membuat sekolah-sekolah, memintal kain sutra, dan pandai membaca dan menulis. Kita bisa apa? Bisakah adat saling membunuh itu membuat kita maju?"

Jojang mengangkat kepala, namun tetap bersikap sopan. "Tapi, Damang, kejahatan tidak bisa dibiarkan begitu saja. Saya minta penculik ini dihukum selayaknya!"

"Tentu saja semua yang bersalah harus dihukum! Tapi, kita akan menyelesaikan sengketa itu dalam persidangan, bukan pertempuran. Begitulah adab bangsa yang berbudi luhur. Pahamkah kau?"

Jojang terdiam kembali, namun beberapa detik kemudian mengangguk. "Sujujurnya, saya pun lelah bertempur. Bila ada cara damai untuk menyelesaikan masalah, saya pasti memilih cara itu," ucapnya tegas.

Damang Batu menepuk bahu kepala suku muda itu sambil tersenyum. "Oleh karena itu, kalian harus ikut dalam rapat damai di tempatku."

"Baik, Damang."

"Sudah, sudah. Istrimu sekarat. Kita selamatkan dulu nyawanya," usul Damang Batu, layaknya perintah yang tak terbantah.

"Saya juga menuntut keadilan!" Riwut tiba-tiba mendekat sambil menatap Jojang dengan tatapan petir.

"Hoh, apa permasalahanmu?" tanya Damang Batu.

"Seisi betang saya dihabisi olehnya, Damang!" Riwut menuding muka Jojang yang segera melengos dengan wajah merah padam.

"Benarkah itu?" cecar Damang Batu kepada Jojang. Pemuda itu seketika salah tingkah.

"Oh, itu ... salah paham." Jojang memberi alasan dengan suara lirih dan dipenuhi penyesalan.

"Salah paham apanya?!" semprot Riwut. Mukanya tak kalah merah padam. "Kalian menyerang tanpa berunding terlebih dulu!"

"Sabar, Ken." Damang Batu menepuk bahu Riwut. Aura wibawa yang kuat berhasil membuat kemarahan Riwut surut. ( ken, singkatan dari aken yang berarti keponakan - Dayak Ngaju)

"Apa yang telanjur terjadi tidak bisa diulang kembali. Kamu juga harus hadir di rapat itu. Di sana nanti, selain menyelesaikan semua sengketa antar suku, ada hal  lebih penting menyangkut masa depan orang Dayak. Kita akan membahas hukum adat untuk semua suku Dayak agar kita semua bisa hidup berdampingan dengan tertib dan aman."

"Baik, Damang," ucap Riwut akhirnya.

Semua orang mematuhi Damang Batu. Riun dinaikkan ke kapal Belanda. Kebetulan, mereka membawa serta dokter kulit putih dari Banjarmasin. Ia segera mendapat penanganan medis ala barat. Sebuah infus dipasang di lengan. Dokter juga memberikan suntikan.

Jala mengintip dari balik pintu. Ia sempat melihat dokter memasang verban pada luka Riun, namun hanya itu. Gadis itu sempat siuman. Pandangannya beredar ke sekitar. Saat menemukan wajah Jala, air matanya meleleh.

"J-Jala ...," panggil Riun, lirih.

Jala menerobos masuk, walau anak buah Jojang menghalangi. "Riun, ini aku!" serunya.

"Mau apa kamu?" hardik Jojang. Tentu saja  ia masih sangat marah pada Jala. Istrinya mendadak hilang sebelum sempat melakukan malam pertama. Saat ditemukan kembali, kondisinya terluka parah dan sekarat. Suami mana yang tidak mengamuk? Andai tidak segan kepada Damang Batu, ia pasti sudah menebas leher Jala.

Jojang memberi isyarat dengan tangan kepada anak buahnya. Dua orang prajurit Punan menyeret Jala keluar kabin dan meninggalkannya di sana. Pemuda itu hanya bisa meringkuk di geladak kapal dengan tatapan kosong.

☆☆☆

Kapal uap Belanda kembali melaju mengikuti iring-iringan yang sekarang semakin panjang karena mendapat tambahan tiga sampan prajurit Punan. Kincir air besar di kedua sisi lambung berputar, menimbulkan bunyi kecipak yang nyaring dan berirama. Asap putih mengepul dari ketel air raksasa yang didihkan menggunakan api dari pembakaran batu bara. Kendaraan air dengan teknologi canggih di masanya itu menjadi pemandangan menakjubkan bagi penduduk pedalaman, layaknya keajaiban yang mengapung di atas air.

Di atas kapal, suasana muram mewarnai bilik kayu sempit di mana Riun dirawat. Dokter telah menyatakan luka Riun tidak bisa diobati dan nyawanya tinggal menunggu waktu untuk kembali ke alam roh.

Damang Batu sedari tadi mengamati Riun dan mendapati hal yang sangat tidak wajar. Getaran energi Riun sangat aneh, seperti energi orang mati.

"Jojang, bawa anak itu kemari," pintanya.

Jojang mendekat. "Penculik itu, Damang?"

Damang Batu mengangguk. "Istrimu tidak bisa bertahan lebih lama."

Jojang sudah menduga hal itu. Namun, tetap saja, saat kabar itu sampai di telinga, ada kepingan hati yang berguguran. Walau hanya mengenal Riun sesaat, cintanya telah meresap ke seluruh jiwa. Ketika Riun menghilang, ia nyaris gila. "Tapi Damang, obat orang kulit putih itu sangat ampuh, bukan?"

Damang Batu menepuk bahu kepala suku muda yang matanya mulai membasah. "Mereka tidak sanggup mengobati istrimu."

Desahan panjang keluar dari mulut Jojang. Perjuangannya mencari Riun harus berakhir pahit. "Kalau begitu, saya akan membawanya pulang," ucapnya, lirih dan getir.

"Tidak semudah itu. Istrimu sudah pernah meninggal, lalu dihidupkan kembali dengan upacara terlarang."

Jojang tampak kaget. "Apakah maksud Damang hidup dia sekarang hanya palsu?"

Damang Batu menatap Jojang dalam-dalam. "Rupanya, kamu belum tahu kejadian sesungguhnya. Pejamkan matamu." Damang Batu mencabut mandau, lalu memutarnya di depan wajah Jojang. Dari mulutnya, keluar gumaman mantra.

Mata batin Jojang terhubung ke kejadian beberapa waktu lalu. Rangkaian peristiwa terbentuk dalam benaknya. Dimulai dari lamaran yang ternyata membuat dua hati patah. Pernikahan yang berakhir tragis. Lalu pelarian dan sebuah upacara gaib yang berantakan. Dua hal terakhir itu sangat mengejutkan. Jojang sampai lemas dan terduduk dengan dada naik turun.

Damang Batu kembali bersuara ketika Jojang sedikit lebih tenang.  "Dia harus dibebaskan dari ikatan gelap. Kalau tidak, dia tidak bisa kembali ke alam roh dan akan menjadi makhluk terkutuk."

Jojang ternganga. "Saya harus melakukan apa, Damang? Saya tidak mau istri saya berubah menjadi hantu gentayangan."

"Kamu harus merelakannya kembali ke takdirnya. Dia sudah meninggal. Biarlah kali ini jiwanya kembali dengan sempurna ke alam roh."

Jojang tertunduk dan air matanya berlinangan. Namun, ia sepenuhnya mengerti bahwa kematian Riun tak bisa dihindari. Ia harus menerimanya dengan jiwa besar. "Bagaimana caranya agar dia meninggal dengan sempurna, Damang?" bisiknya dengan suara serak.

"Panggil anak itu dan kumpulkan semua yang orang terkena tulah akibat perbuatannya," ujar Damang Batu.

"Siapa maksud Damang? Orang dari desa gaib?"

"Bukan. Pemuda yang menculik Riun dan dua orang yang bersamanya tadi. Mereka membawa sesuatu yang dibutuhkan agar jiwa Riun kembali dengan sempurna."

☆Bersambung☆

Jangan lupa memberi bintang, komen, dan share 😊😊😊

Tindakan sepele bagi Pembaca, tapi sangat bermanfaat bagi lapak ini buat menghasilkan karya-karya yang seru.

ANOI 1894 - The Disastrous RitualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang