17b. Rahasia Jala (2)

279 75 9
                                    

"Aduh, sudah berapa kali kubilang, aku tidak mengenal mereka!" tukas Jala.

"Tidak mungkin mereka menyerang tanpa alasan," bantah Deka. "Mereka datang bukan untuk membalas dendam atas ngayau sebelumnya. Itu yang dikatakan arwah dari tengkorak di dinding betang."

"Jala, kamu tahu dari mana mereka?" tanya Urai. "Mungkin dari pakaian atau bahasanya?"

"Sekilas aku sempat mendengar omongan mereka. Aku tidak yakin. Bahasa mereka bukan Ngaju, bukan Ot, bukan pula Penihing atau Apo Kayan."

"Lantas dari mana mereka? Orang Dayak Darat mungkin, rumpun Klemantan dari bagian barat pulau?" tanya Urai lagi.

Jala menggeleng. "Pakaian perang mereka banyak memakai hiasan berwarna hitam, putih, dan kuning. Orang dari barat kebanyakan menyukai warna merah. Kemungkinan mereka dari utara."

Deka memeras otak, mengingat kembali segala memori tentang suku Dayak. "Dari utara? Kenyah? Kayan?"

Jala menggeleng. "Kalau bahasa Kenyah dan Kayan, sedikit-sedikit aku tahu karena pernah tinggal lama di daerah mereka. Aku kira mereka orang Punan."

Deka dan Urai kebingungan. Rumpun Dayak Punan berasal dari utara Pulau Kalimantan, terutama di daerah yang sekarang disebut Sabah, Malaysia. Sebagian lagi mendiami bagian utara Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara.

"Mereka kan orang dari utara. Mana mungkin sampai di sini?" tanya Deka.

Jala menggeleng. "Sewaktu aku tinggal di hulu Sungai Kahayan, di wilayah Ot Danum, ada daerah-daerah yang didiami orang Punan. Kalian tahu, mereka itu sering berpindah-pindah di hutan-hutan pedalaman. Ada yang sampai ke wilayah Kahayan." [1]

"Wow! Aku baru tahu itu," ucap Deka. "Ngomong-ngomong, kenapa orang Punan mencarimu?"

Jala melengos dan mengembuskan napas panjang. "Aku tidak tahu."

"Ya sudah. Sekarang ceritakan siapa Riun dan kenapa kalian lari ke selatan," ucap Deka.

"Riun itu anak kepala suku Ot di hulu Sungai Kahayan. Kami pergi ke selatan supaya tidak dikenali orang. Rencananya, kami mau menetap di Banjar."

"Cuma itu aja keteranganmu?" tanya Deka.

"Iya, cuma itu."

Tindak tanduk Jala yang resah membuat Deka sangat yakin ada hal lain yang masih disembunyikan. "Ya, sudahlah. Kalau kamu berbohong, aku yakin akan terkuak nanti," ancamnya.

Jala mendengkus. "Sekarang giliran kalian. Siapa kalian sebenarnya dan dari mana?"

"Kami tinggal di Banjarmasin. Kami dari masa depan, seratus dua puluh delapan tahun dari sekarang," ujar Deka.

Sejenak, Jala tidak bersuara mendengar keterangan itu. Sudah tentu, apa yang dikatakan Deka itu sangat tidak masuk akal. "Kalian orang sakti?" tanyanya dengan ragu.

Urai langsung menggerakkan tangan. "Bukan, bukan! Kami orang biasa. Cuma, temanku ini bisa melihat arwah dan makhluk halus."

"Teman? Bukan saudara?" tanya Jala setengah curiga.

Urai menepuk mulut. Ia keceplosan lagi. "Mm, sebenarnya dia ... ah!" Dengan takut-takut, ia menoleh ke Deka.

"Kenapa, Rai?" tanya Deka.

"Eng-enggak kenapa-napa, Kodeka."

"Aku tahu dia bilang apa," ucap Deka dingin. "Gini-gini, aku tahu sedikit bahasa Ngaju. Udah, katakan apa adanya."

Urai meringis. "Iya, Jala. Sebenarnya kami bukan saudara tapi teman."

"Yah, tak masalah buatku."

"Kamu percaya kami dari masa depan?" tanya Urai lagi.

Jala mengembuskan napas panjang. "Tidak penting lagi percaya atau tidak, bukan? Kalian datang ke tempat ini, pasti karena sesuatu. Aku hanya ingin niat baik kalian saja."

"Jangan khawatir. Kami tidak akan ingkar janji," ucap Urai.

Mereka terdiam kembali. Agaknya, tidak ada lagi yang ingin dibicarakan saat ini. Sesekali mereka mengibaskan kulit kayu gemor untuk mengusir nyamuk hutan yang ganas.

Suasana malam itu terasa panas. Sama sekali tidak ada angin. Kondisi itu diperparah oleh kelembaban rawa gambut yang tinggi. Pakaian Deka dan Urai telah basah akibat keringat dan cipratan air. Pori-pori mereka serasa mengembang maksimal untuk mengeluarkan keringat.

"Aku haus. Bisakah air rawa ini diminum?" tanya Urai.

"Jangan. Siapa tahu banyak kumannya. Sebaiknya menunggu sampai daratan, lalu merebus air," usul Deka.

"Yah, nunggu pagi, dong. Masih lamakah?"

Tidak ada yang menjawab pertanyaan Urai. Gadis itu meringkuk di balik tapih sambil berusaha memejamkan mata. Beberapa menit berlalu dengan hening, sampai akhirnya terpecah oleh suara Urai.

"Kodeka, kamu mencium bau busuk nggak?"

"Sudah dari tadi. Kamu beol di celana?"

"Enak aja! Bukan aku sumber baunya, tapi kamu!" bantah Urai dengan gemas. Wajahnya segera didekatkan ke badan Deka dan mulai mengendus. Tak lama kemudian, ia menutup hidung dengan kedua tangan. "Iiiih, kamu bau, Kodeka!"

Deka menyingkap tapih yang menutupi tubuhnya. "Iya, kok asalnya dari aku?"

"Kamu beol!" tuduh Urai.

"Enggak! Jangan asal menuduh, ya!"

Jala meraih obor yang ditancapkan di haluan sampan, lalu meniupnya sampai terbentuk api kecil. Dengan cahaya dari obor, ia meneliti badan Deka. Terlihat kaus abu-abu yang sebagian ternoda hitam. "Oh, maaf," ucapnya lirih.

"Loh, kenapa minta maaf?" tanya Urai.

"Sewaktu kebakaran di bawah betang tadi, aku menyiram api di jalan keluar dengan lumpur karena dengan air saja tidak padam. Sepertinya, sebagian mengenai badannya."

"Dari mana lumpur itu?" tanya Urai.

"Dari bawah kandang babi ...."

"Hah?" pekik Urai. "Oh, pantas ada lintah sampai di lehernya."

"Apa katanya, Rai?' tanya Deka.

Urai menggeleng, tidak tega menerjemahkan keterangan Jala. "Katanya, kamu besok harus mandi. Bajumu kotor."

"Ini lumpur apa, sih? Bau banget," keluh Deka. "Rai! Jangan diam aja!"

"Lumpur dari kandang babi, Kodeka," jawab Urai kalem.

Mata Deka kontan mendelik. Detik berikutnya, ia melepas kaus itu dan melemparkannya ke air.

"Kodeka, baju jangan dibuang! Kamu nggak punya gantinya!" seru Urai. Dengan gesit diraihnya kembali kaus itu menggunakan sumpitan.

Deka tidak menjawab. Ia muntah-muntah hebat di dinding sampan, walau yang keluar dari usus hanya lendir kuning.

______________________

[1] Rumpun Dayak Punan dahulu sering berpindah dari satu tempat ke tempat lain di hutan-hutan pedalaman. Bahkan sampai hari ini pun, ada kelompok-kelompok Dayak Punan yang masih menerapkan hidup berburu dan meramu. Mereka dikenal sebagai penjaga hutan sejati. Namun, pada abad ke-19, mulai ditemui kampung dan pemukiman orang Punan yang telah menetap.

ANOI 1894 - The Disastrous RitualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang