Jala menunduk. "Sebenarnya, orang kami pernah mengalahkan orang Penihing sampai kampung mereka habis. Sialnya, keluargaku tinggal di perbatasan wilayah Iban dan Mahakam hulu. Suatu ketika, orang Penihing membalas dendam. Semua laki-laki dewasa di keluargaku mati. Ibu, kakak perempuan, dan anak-anak lain dibawa musuh dan dijadikan budak."[2]"Lalu, kamu hidup sebagai tawanan mereka?"
"Ya. Aku cukup lama menjadi budak di daerah Kaso, di timur."
"Hm, itukah sebabnya tidak ada satu pun tato Iban di badanmu?" ucap Urai.
"Bapaku tidak sempat memberi tato," ucap Jala. Mata yang redup itu jelas menyiratkan kerinduan pada keluarga dan kampung halamannya.
"Apa yang terjadi padamu selama menjadi budak?"
"Aku harus mengerjakan apa pun yang mereka suruh. Sampai akhirnya terjadi kerusuhan di kampung itu."
"Mereka diserang oleh sukumu lagi?"
Jala menggeleng. "Bukan. Para penyerang itu adalah orang-orang suruhan Sultan Kutai yang kesal karena orang Aoheng tidak mau tunduk dan berdagang dengan Kutai."[3]
Deka dan Urai saling menarik napas panjang setelah membayangkan situasi masa itu. "Perseteruan politik di zaman ini ternyata sengit juga," keluh Deka.
"Benar. Orang Penihing dan Aoheng terjepit di antara suku Iban di utara dan Kesultanan Kutai di hilir," imbuh Urai.
Jala menarik napas panjang, seperti mengumpulkan kekuatan untuk menceritakan kepingan masa lalu yang pahit. Sambil mengusap wajah, ia menyibak poni yang basah oleh keringat. Poni itu dipotong mirip belahan batok kelapa dan berakhir di atas telinga. Di belakang telinga, rambut panjangnya tergerai hingga punggung. Tidak ada aksesori apa pun di tubuh itu seperti layaknya lelaki Dayak zaman ini. Tidak ada kalung, gelang lengan atau gelang kaki. Telinganya polos tanpa anting. Bahkan ikat kepala pun tidak. Ewah yang dikenakannya berwarna abu-abu dan sudah sangat lusuh, bahkan robek-robek di bagian ujungnya. Deka dan Urai mulai bisa membayangkan betapa carut marut hidup pemuda ini.
"Aku berhasil kabur dan berusaha kembali ke kampungku, tapi malah tertangkap suku lain dan dibawa ke daerah Sungai Kahayan," lanjut Jala.
"Riun juga berasal dari suku Iban?"
Jala menggeleng. "Dia orang Ot Danum, anak majikanku di Tumbang Mahuroi, hulu Sungai Kahayan."
"Wah, bagus!"
Jala kembali menunduk lesu. "Hubungan kami tidak direstui. Kami melarikan diri, tapi malah ditangkap suku lain."
"Di mana Riun sekarang?"
Jala mendesah lirih. "Sewaktu bersampan melewati sungai, tiba-tiba kami disergap segerombolan orang. Aku sempat melihat Riun dibawa naik ke salah satu sampan mereka. Setelah itu, aku pingsan dan sewaktu sadar sudah dibawa oleh tetua betang ini."
Jala memandang Deka dan Urai. "Kalian pasti bukan orang sembarangan. Tolong aku, tolong Riun. Aku yakin dia sedang sengsara dan kesakitan saat ini."
"Kami ... kami sendiri tidak tahu apa bisa selamat," sahut Urai.
Mata Jala melebar, lalu menuding beras dalam genggaman Deka. "Beras ini! Pasti beras ini bisa memberi petunjuk!" Diambilnya sebutir, lalu dikunyah. Ia memejam sambil mengernyit, lalu ambruk lemas.
Deka berlutut untuk memeriksa pemuda malang itu. "Jala! Jala! Apa yang terjadi?"
"Riun ... dia ... dia sekarat!" rintih Jala.
Deka menatap Urai meminta penjelasan.
"Dia bilang Riun tengah sekarat," jawab Urai.
Setelah mendengar itu, rasa penasaran Deka memuncak. Ia mengunyah lagi sebutir beras, kali ini disertai niat untuk memohon kekuatan alam agar memberi mereka petunjuk. Mata batinnya menjadi tajam. Ia merasakan pergumulan sunyi seorang perempuan muda. Sebuah tangan yang menggapai mencari pegangan, namun hanya menggenggam kehampaan. Sebongkah hati yang menjerit putus asa tanpa mendapat penghiburan. Sepasang bibir yang merintih dalam kegelapan, namun tenggelam ditelan malam. Dada Deka sampai sesak karena dihantam arus emosi dari dunia lain itu.
"Hantu Amnesia, kaukah itu?" bisik batin Deka sambil mengurut dadanya.
Angin berembus menyusup melalui celah-celah dinding. Beberapa butir beras tergelincir dari tangan Deka. Secara ajaib, butiran itu mendarat di pangkuan Jala.
______________
[2] Tahun 1885 terjadi penyerangan besar-besaran suku Dayak Iban ke suku Penihing atau Dayak Aoheng di Kalimantan Timur.
[3] Kesultanan Kutai Kertanegara berdiri di Kalimantan Timur, di daerah hilir Sungai Mahakam
KAMU SEDANG MEMBACA
ANOI 1894 - The Disastrous Ritual
FantasiUrai tak jera mencari perhatian pemuda pujaan hatinya. Sementara Deka selalu sinis dan sarkastis pada Urai yang menurutnya tukang pembuat onar. Sampai akhirnya sebuah anomali alam membuat kedua insan itu terlempar ke dalam portal gaib. Mendadak, mer...