Rombongan kecil Deka berangkat ke Matang Kaladan setelah menyelesaikan sarapan. Setelah berkendara 30 menit melewati jalanan yang berkelok dan menanjak, mereka tiba di Desa Tiwingan yang merupakan desa wisata di tepian Bendungan Riam Kanan. Bukit Matang Kaladan terletak di belakang desa tersebut.Mereka memarkir kendaraan di muara jalan masuk ke desa, lalu melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Di ujung jalan desa, mereka membelok ke jalur khusus untuk mencapai puncak bukit. Jalan itu agak gelap karena berada di bawah naungan pohon-pohon besar. Selain itu kondisinya menanjak dan curam. Karena jalur itu merupakan jalan alternatif untuk mencapai puncak Matang Kaladan yang merupakan obyek wisata, penduduk setempat telah membuat anak tangga dari kayu dan tanah yang dipadatkan sehingga mereka lebih mudah menapakinya.
Mereka tidak berpapasan dengan pejalan kaki lain. Barangkali karena saat ini bukan hari libur. Kondisi lengang itu mendatangkan suasana aneh. Apalagi sebelumnya mereka telah mengalami peristiwa gaib dan nyaris kehilangan nyawa di tempat ini.
"Kita naik sampai puncak?" tanya Urai. Napasnya mulai pendek-pendek karena kelelahan. Pipi bulat putihnya telah merona kemerahan. Keringat membulir di kening dan leher.
Deka menajamkan indra keenam. Hutan di lereng bukit itu tidak menyimpan makhluk aneh seperti sewaktu portal neraka masih berada di situ. Hanya tampak satu dua makhluk astral penghuni pohon dan ceruk bukit tengah mengamati mereka dari tempat persembunyian. Deka merasakan kegelisahan di balik rasa ingin tahu mereka yang besar.
Rupanya, Dehen juga merasakan hal yang sama. "Sesuatu telah terjadi di sini."
Deka mengangguk. "Kita ambil jalan ke kiri setelah tikungan di depan itu."
Mereka berhenti sebentar di kelokan jalan setapak untuk mengatur napas dan minum. Jalan setapak di tempat itu dibatasi hutan di sisi kanan dan lereng curam di sisi kiri. Dari situ, mereka bisa melihat Bendungan Riam Kanan yang berkelok-kelok mirip kepulauan Raja Ampat, Papua.
Mereka mengamati kaki bukit tanpa berbicara. Deka dan Dehen sudah mendapat firasat arah yang harus dituju. Tempat itu adalah lereng curam yang ditumbuhi pepohonan besar dan lebih rapat dari tempat lain.
"Wah, jalannya curam sekali," ucap Deka sambil melirik Urai. Ia tidak yakin gadis itu bisa melewatinya.
"Aku bisa, Kodeka," sahut Urai seperti tahu isi hati Deka.
Mendengar itu, Dehen kontan tersenyum simpul. "Nanti kalau tidak kuat jalan, Om bisa menggendongmu."
"Sudah besar minta digendong," gerutu Deka pelan, namun cukup keras untuk didengar Urai.
"Apa kamu bilang?" Mata Urai kembali membulat.
"Enggak! Aku nggak bilang apa-apa!" Deka segera mendahului Urai dan Dehen melangkah keluar dari jalur jalan setapak, menerobos perdu pembatas jalan. Kakinya segera menapak pada tebing yang curam.
Mereka terpaksa berpegangan tangan saat menuruni tebing itu. Namun ajaib, beberapa saat kemudian mereka menemukan jalan setapak lain yang cukup lebar dan datar. Padahal dari atas tadi, tidak terlihat jalan selebar ini di bagian bawah lereng.
Mereka mengikuti jalan itu. Udara terasa sejuk karena naungan pohon-pohon besar, namun cukup terang. Anehnya, jalan itu benar-benar nyaman karena lurus, datar, dan lebar.
Langkah mereka terhenti saat menemukan ujung jalan. Ternyata jalur itu berakhir di deretan pohon yang batangnya besar dan lurus. Dehen segera menghampiri jajaran pohon itu.
"Pohon ulin? Wah, saya baru tahu di sini ada hutan ulin setua ini." Lelaki itu kemudian berjalan berkeliling di antara pepohonan.
"Sepertinya ada yang aneh dengan pohon ini," bisik Deka sembari membuntuti Dehen berjalan di antara batang-batang kokoh yang besar. "Tempat ini datar. Padahal kita seharusnya berada di lereng bukit yang curam."
"Perasaan saya tidak enak. Cepat, cari guratan talawang itu, Deka," pinta Dehen.
Deka kembali menajamkan pandangan batin. Tak lama kemudian, ia menunjuk ke suatu arah. "Ke sana, Pak."
Mereka bergegas mendatangi tempat yang ditunjuk Deka. Ada satu pohon yang memiliki batang paling besar. Anehnya, batang yang ini melengkung sehingga daun-daunnya menjuntai ke bawah setinggi kepala orang dewasa. Deka menyusup untuk melihat sisi yang melengkung itu.
"Ini guratannya!" seru Deka.
Gambar talawang itu digoreskan dengan benda tajam ke batang tersebut. Lebarnya sekitar lima puluh sentimeter dan tingginya lebih dari satu meter.
"Leherku panas," keluh Urai tiba-tiba sambil mengusap tengkuk.
Deka pun ikut meraba tengkuk karena merasakan panas. Begitu kedua insan itu meraba gambar talawang di tengkuk mereka secara bersamaan, guratan di batang pohon mengeluarkan cahaya kuning terang yang menyilaukan mata.
Dehen yang berdiri agak jauh dari kedua orang itu menyadari bahaya yang mengancam. "Jangan diusap!"
Terlambat.
Cahaya dari guratan talawang membesar, warnanya berubah menjadi putih, dan akhirnya membentuk bulatan cahaya yang terang benderang. Deka dan Urai memekik bersamaan ketika cahaya itu merambah tubuh mereka. Keduanya ingin melarikan diri, namun cahaya itu membekukan semua gerakan, kemudian menyeret mereka ke dalamnya. Tahu-tahu, keduanya telah ditelan bulat-bulat.
Dehen bergerak cepat untuk menangkap tangan Deka dan Urai, namun tidak sampai. Sebelum keduanya benar-benar lenyap bersama sinar putih, Dehen teringat kantong beras di tas pinggangnya. Dengan cepat diraihnya benda itu, lalu dilemparkan ke dalam cahaya. Bungkusan beras pun ikut lenyap bersama Deka dan Urai.
☆---Bersambung---☆
Suka dengan cerita ini?
Bantu Fura dengan vote dan komen, ya. Kalau boleh share juga ke teman-temannya (uhuk🤭🤭🤭)
KAMU SEDANG MEMBACA
ANOI 1894 - The Disastrous Ritual
FantasiUrai tak jera mencari perhatian pemuda pujaan hatinya. Sementara Deka selalu sinis dan sarkastis pada Urai yang menurutnya tukang pembuat onar. Sampai akhirnya sebuah anomali alam membuat kedua insan itu terlempar ke dalam portal gaib. Mendadak, mer...