18b. Keluar Rawa (2)

281 71 5
                                    

Deka mengangguk. "Sepertinya begitu. Nanti kita kunyah lagi satu butir seperti kemarin. Sekarang, kita harus menemukan anak sungai."

Sesuai petunjuk beras, mereka membelok ke kiri. Jalur itu seperti labirin rumit berdinding tumbuhan dengan banyak kelokan dan percabangan. Mereka menggunakan insting untuk memilih belokan. Di beberapa tempat, jalinan sulur rotan membentuk atap yang sangat rendah sehingga harus ditebas dengan mandau agar sampan bisa lewat. Sungguh sangat sulit untuk bergerak cepat di tempat itu.

Setelah nyaris kehabisan tenaga, mereka akhirnya menemukan area yang tidak terlalu rimbun. Permukaan air yang tenang bagai cermin berganti dengan arus yang mengalir.

"Anak sungai!' seru Jala. "Kita belok kiri, ikut arus. Nanti pasti ketemu sungai yang lebih besar."

Sampan kembali meluncur memasuki arus. Benar saja, setelah beberapa kali kelokan, mereka menemukan anak sungai. Bertepatan dengan itu, alam mulai terang. Langit biru tua berubah menjadi biru muda. Ketiga orang itu semakin bersemangat menemukan sungai. Akhirnya, mereka melihat tanah kering.

"Kita istirahat di situ," saran Jala yang langsung disetujui oleh kedua rekannya.

Sampan dibawa menepi di sebuah tanah berumput. Hari masih agak gelap, namun kondisi sekitar telah terlihat jelas. Mereka bahkan bisa melihat daerah terang di antara rerimbunan pohon yang merupakan ujung anak sungai itu.

"Kita harus memeriksa daerah sekitar, apakah aman dari musuh," ucap Jala. Pemuda itu kemudian meloncat ke daratan. Setelah Urai dan Deka turun, ia mengikat jukung pada sebuah pohon. Dengan dipersenjatai dengan mandau, talawang, dan sumpitan, ketiganya berjalan menyisir daerah itu.

"Nggak ada tanda-tanda ada orang. Kita bisa istirahat di sini," ucap Jala setelah beberapa menit berkeliling.

"Aku akan masak air dan nasi," kata Urai.

"Kamu bisa bikin api?" tanya Jala.

"Akan kucoba. Bara di obor masih menyala, kan?"

"Iya, masih. Kamu juga bisa menggunakan ini." Jala mengambil batu pemantik dari kantung di pinggangnya, lalu memberikannya kepada Urai. "Jangan masak nasi. Kita makan keladi saja."

"Keladi?"

Jala mengangguk sambil menunjuk sebuah rumpun keladi. "Kamu dan Deka mengambil keladi. Aku akan mencari burung, kelinci, atau ikan." Ia melirik sumpitan sekilas. "Sudah saatnya benda ini dipakai."

Jala menghilang ke dalam hutan. Urai dan Deka mendatangi rumpun keladi di dekat situ, lalu mulai menggali.

"Loh, nggak ada apa-apa di bawah tanaman ini," ucap Deka saat satu tanaman berhasil dicabut. Ia pikir keladi seperti ubi kayu atau ubi jalar. Ketika tanaman induknya dicabut, umbinya ikut terangkat.

"Umbinya bukan di bawah pangkal pohon, Kodeka. Kita harus menggali di sekelilingnya." Urai meraih mandau Deka, lalu mengaduk tanah. Benar saja. Lima umbi keladi yang cukup besar berhasil dikeluarkan dari dalam tanah.

"Ini, gantian!" Urai menyerahkan mandau kepada Deka.

"Kok aku juga? Sudah, kamu aja. Kamu kan wanita super," tolak Deka.

"Hih! Kamu kan laki-laki. Masa cewek kerja keras kamu cuma melihat?"

"Emansipasi, Rai!" seringai Deka. Senang sekali melihat mata bulat di depannya melebar. "Semalam, aku sudah memberi bahu dan lenganku buat bantal. Pegel, nih." Digerakkannya bahu sambil pura-pura mengernyit kesakitan.

Urai jadi memperhatikan bahu Deka, termasuk lehernya. Mendadak, matanya semakin lebar. "Ya ampun, Kodeka! Lehermu merah sekali!"

Deka mengusap luka akibat lintah. Darah sudah berhenti mengalir, tapi sekarang terasa gatal dan nyeri. Ternyata ada tiga bekas gigitan. Pantas darahnya banyak.

"Wah, kamu sangat dermawan, Kodeka. Pasti lintah-lintah itu sedang tidur pulas kekenyangan," olok Urai.

"Ck!" protes Deka. "Makanya aku lemas semalam!"

Urai kembali mengamati bekas luka Deka. Ternyata liur lintah bisa menimbulkan peradangan pada kulit. "Sepertinya infeksi, Kodeka. Ya sudah, kamu balik ke jukung aja. Aku selesaikan dulu mengambil keladi. Tolong bikin api dan masak air. Nanti kita kompres lukamu dengan air hangat."

Deka menurut. Ia membuat api dari ranting dan daun kering, lalu memasak air menggunakan panci. Setelah Urai datang, mereka membungkus beberapa keladi dengan daun rotan, lalu dimasukkan ke dalam api. Beberapa waktu kemudian, Jala datang. Tangannya memegang seekor binatang berwarna hitam kecokelatan. Di pinggangnya tergantung tumbuhan merambat yang setelah diamati, ternyata sirih.

Jala memberikan sirih kepada Urai untuk dihaluskan dan digunakan mengobati luka Deka.

"Kamu dapat apa?" tanya Urai.

"Bangamat [1]," jawab Jala. (kalong – Dayak Ngaju)

Wajau Urai semringah. Sedangkan Deka langsung mengerutkan kening. Ia sungguh tidak tega memakan binatang yang memiliki bentuk wajah mungil dan bertaring itu.

"Kamu nggak doyan bangamat?" tanya Urai.

"Enggak! Aku nggak tega. Wajahnya mirip anjing," sahut Deka cepat-cepat.

"Syukurlah! Jatahmu buatku saja."

Beberapa waktu kemudian, ketiganya menikmati sarapan keladi bakar dan bangamat rebus. Deka akhirnya tergiur untuk mencicipi daging gurih itu. Mereka juga menyimpan air minum dalam panci sebagai bekal. Urai menghaluskan daun sirih, lalu airnya dioleskan ke luka Deka. Setahunya, daun sirih mengandung zat antiseptik.

Mereka menyempatkan diri mandi di sungai sebelum kembali naik ke jukung. Sisa-sisa keringat semalam langsung larut dan badan terasa lebih segar.

"Kita jalan pelan-pelan saja. Sampai di ujung hutan nanti, jangan langsung masuk ke sungai induk. Kita harus melihat situasi dulu," ucap Jala.

Deka tiba-tiba mematung. Indra batinnya menangkap sesuatu yang tak biasa di balik rerimbunan pepohonan rawa. Wajahnya seketika tegang saat menyadari apa yang datang menghampiri mereka.

"Cepat naik ke jukung!" perintahnya. "Mereka mengejar kita!"

___________________

[1] bangamat atau kalong adalah sejenis kelelawar berukuran besar dan pemakan buah. Banyak terdapat di hutan-hutan Kalimantan. Saat ini, jumlahnya terus berkurang karena kerusakan habitat dan perburuan oleh manusia.

ANOI 1894 - The Disastrous RitualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang